22. Hikmah Di Balik Gosip

1.9K 238 46
                                    

SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA bagi yang merayakan 🙏🙏🙏

....

Ini hanya perasaanku saja atau aku memang sedang diperhatikan saat ini? Sejak memasuki lobi hotel, sampai tiba di meja resepsionis, aku mulai merasakan perasaan seperti sedang diperhatikan. Dari House keeper yang membersihkan lantai, resepsionis yang saling bergosip sambil memperhatikan aku, atau bahkan karyawan dari bagian lain yang tidak aku kenali yang berjalan sambil melirikku. Dan itu terjadi bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi beberapa kali hingga membuatku risih.

Oke, itu juga bukan sekedar argumen atau tuduhan, sebab ketika aku mengarahkan pandanganku pada mereka, saat itu juga pandangan kami bertemu dan tidak sampai sedetik mereka mengalihkan padangannya dariku lalu bercerita lagi.

Aku berhenti sejenak, lalu menilai diri sendiri. Mulai dari pakaian sampai aksesoris yang kupakai, tapi tidak ada yang aneh. Sama seperti biasa, tidak sama sekali mencolok. Apa dari riasan? Tapi tidak kok, karena saat aku berjalan dekat dinding yang memantulkan bayangan, aku juga tidak melihat pantulan wajahku ada riasan yang aneh. Lalu apa?

"Bu Aria!"

Itu seperti suara Jessi yang memanggil dan aku tidak mau berhenti berjalan untuk bisa beriringan dengannya, bisa-bisa mood-ku jadi jelek. Pagi ini aku sudah merasa buruk dan tidak ingin semakin buruk dengan kehadirannya di sisiku.

"Bu."

Aku berbalik pada house keeper yang memanggil, "Ya? Saya?" aku menunjuk diri sendiri.

House keeper itu mengangguk, "Bu Jessi memanggil Ibu." katanya dan aku tersenyum seraya berterima kasih.

Yang dibalas dengan anggukan, "Iya Buk."

Aku berbalik demi untuk melihat Jessi yang perlahan mendekat dan membuat jarak antara kami menipis. Ia tersenyum. Dan aku merasa ia ingin menunjukkan pada house keeper atau pada siapa pun yang berada di lobi betapa cantik dirinya ketika tersenyum. Eh, apa ia ingin menggunakan aku sebagai pembanding?

Aku menggeleng pelan. Astaga, seberapa besar rasa tidak sukaku pada perempuan ini sampai-sampai di pikiranku hanya ada kejelekan tentang dia. Tapi, serius. Sejak kejadian semalam dan beberapa malam sebelumnya, pertemuanku dengannya selalu berdampak buruk bagi kesehatan emosionalku.

"Aku panggilin loh tadi." Jessi mulai berbicara. Masih tersenyum ketika kami sudah beriringan.

"Oh ya?" Aku pura-pura terkejut. "Aku tadi fokus sih jadi gak dengar." ringisku.

Jessi mengangguk lantas tersenyum lagi. Dan aku merasa senyum itu terlalu kelewatan lebar.

"Iya gak apa-apa." Dan suaranya pun terdengar lembut. Ala-ala pemeran protagonis dalam serial bolywood yang tokoh utamanya selalu di buli tapi tetap tegar dan tersenyum.

Aku melirik dia sekilas. Ia masih tersenyum. Pada karyawan yang sedang berpapasan dengan kami atau para penghuni yang menyewa kamar hotel yang baru datang atau pun yang sudah ceck out. Aku juga tersenyum, tapi senyum kami tampak berbeda. Dan aku merasa Aura yang ia pancarkan seolah-olah berkata, ayo lihat ke sini, ada wanita cantik yang lewat. Coba bandingkan dengan perempuan yang ada di sampingku.

Aku menghela. Mungkin karena pengaruh masa laluku dengan dia dan teman-temannya, aku jadi berpikiran buruk terus tentangnya.

"Oh, ya Bu..." dia memulai bicara, menggantung beberapa detik ucapannya dan melihatku dengan tatapan meringis.

"Bisa gak kita bicaranya gak terlalu formal? Yah sama seperti bicara ke Mbak Tari dan Riska."

Aku mengangguk. Benar sih apa yang ia bicarakan. Aku dan dia terlalu formal kalau berbicara, meski kami tidak membahas masalah pekerjaan. Tapi, sebenarnya itu sengaja. Aku malas berurusan dengan dia. Dan berbicara formal biasanya akan membuat cepat mengakhiri obrolan karena membosankan.

RESTARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang