8● Cangung

3.1K 347 13
                                    

Part barunya sudah ada. Jadi, sebelum di baca ada baiknya kalau kalian klik (⭐) bintangnya, yah 😊 lalu komen. Beritahu saya kalau ada typo atau ada yang mengganjal di benaknya kalian 😁.

Ket :
- garis miring (italic), artinya percakapan dari telepon atau sosmed
- garis miring (italic), artinya masa lalu atau percakapan dalam mimpi

🔹🔹🔹

"Ar!"

Aku berbalik dan menatap Basuki yang menghampiriku. Laki-laki itu tersenyum manis dan membuat beberapa orang menatap kami penasaran, bukan beberapa sih, tepatnya banyak, terutama para karyawatinya.

"Jadi benar kamu kerja di sini? Aku kira kemarin kamu pura-pura." sahutku. Mataku melirik beberapa karyawati yang secara terang-terangan menatap kami.

Lucu. Tidak tahu kenapa melihat tatapan penasaran mereka kepadaku membuatku ingin tertawa.

"Memang tampangku seperti pria yang suka berbohong yah?"

Aku mengangguk. "Di Jakarta, tampang-tampang baik pun tidak bisa dipercaya. Tahu sendiri bagaimana kerasnya hidup di sini. Beda banget dengan di Sulawesi. Eh, gak ding. Semuanya sama saja deh, tergantung dari pribadi orang masing-masing. Dan tergantung caramu menyikapi orang lain. Kalau terpedaya berarti masih kurang waspada. Tapi, meski kamu sudah waspada tapi tetap terpedaya, artinya kamu kurang beruntung. Hahaha..." kekehku sambil melanjutkan langkah yang diikuti oleh Basuki.

Laki-laki itu kemudian menggeleng jenaka, "Bisa yah kamu."

"Bisa dongs." kataku sambil menyengir dan memperlihatkan gigi-gigi putihku yang tersusun rapi.

Para karyawati lain masih menatap kami dengan muka penasaran sambil menyiapkan gosip-gosip baru buat santapan pagi ini.

Dan aku semakin geli karenanya.

"Tapi sebenarnya aku juga gak percaya kalau kamu kerja di sini, Ar."

Aku memutar bola mata bosan, "Yah... yah... yah... tampang seperti mukaku memang gak cocok dengan kantoran. Singgunganmu tepat sasarn, Bung."

"Bukan akuloh yang bilang."

"Tapi niatnya kan memang begitu." cibirku.

Langkah kami berhenti tepat di dalam lift. Bayangan buruk kembali menghantui kepalaku, kejadian-kejadian mengerikan yang sering kutonton tiba-tiba terlintas. Seperti kaset rusak yang terus mengulang. Bagaimana jika lift tiba-tiba berhenti dan membuat kami mati karena kehabisan oksigen, atau ketika lift berguncang dan langsung jatuh, terbakar dan menghanguskan kami semua.

Aku memejamkan mata dan merapal doa untuk keselamatan. Tidak peduli mereka yang menatapku aneh, pun dengan Basuki yang menegurku beberapa kali.

"Ar, kamu ngapain?" Basuki dan tatapan menyerngitnya adalah santapan yang menambah semangat di pagi hari. Sayangnya, dia sudah punya anak dan istri.

"Berdoalah. Ngapain lagi?" aku angkat bahu. Masa bodoh pada mereka yang menertawaiku atau menatapku seperti anak kampungan yang baru menginjakkan kota.

Basuki geleng-geleng kepala setelah mendengar jawabanku. "Kamu terlalu banyak nonton film horor, Ar."

Aku mendengus, memang berdoa itu salah? Aku memang paranoid, dan itu tidak bisa disangkal. Lagipula, berdoa adalah kelebihan kita. Bukti kalau kita percaya pada Sang Pencipta.

"Bodo amat." sahutku apatis.

"Yah, itu urusanmu sih." aku berdehem masih sebal dengan ucapannya barusan. "Oh ya Ar, katanya Putri, Tari, Jesi, dan Intan ada di Jakarta. Mereka juga kerja di kota ini."

RESTARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang