28● Ternyata Dia

2.2K 209 7
                                    

"Lo dari mana, Ar?"

Baru saja aku mau duduk, Riska sudah menodongku dengan pertanyaan. Tatapannya benar-benar menyelidik. Aku rasa Mbak Tari dan Riska sudah menggosipkan diriku tadi.

"Ngantar pesanan." sahutku malas lalu duduk. Membuka komputer dan mulai mengerjakan tugas.

"Lo ngantar pesanan atau pacaran? Lama amat."

Aku mendengus mendengar sindiran Mbak Tari. Tapi, tidak memasukkan dalam hati juga. Mengangkat bahu cuek, aku melanjutkan pekerjaan. Sampai beberapa jam berlalu, aku berhenti untuk meregangkan tubuh. Mbak Tari dan Riska masih fokus pada komputer di hadapan mereka sambil memakan cemilan sesekali.

Pekerjaanku belum selesai, tetapi kantuk dan bosan tiba-tiba kurasa, padahal waktu masih jauh dari jam istirahat kantor. Melihat Mbak Tari dan Riska yang serius membuatku enggan mengganggu mereka.

Menghela nafas, aku berdiri untuk ke pantry dan membuat minum.

"Kopi susu satu." Mbak Tari menyelutuk tiba-tiba seperti tahu aku mau tujuanku, tetapi pandangannya tetap fokus pada komputer.

Aku tahu dia hanya akting.

"Gue cokomamamia. Ada di rak dua di kantong hitam." Dan Riska ikut-ikutan.

Aku memandang mereka jengkel. Itu bokong mereka yang keberatan atau dosa mereka yang kebanyakan? Susah amat berdirinya. Sukanya menyusahkan junior. Ah, nasibnya junior.

"Udah deh. Lo kan emang mau ke pantry. Jadi, sekalian aja."

Sekali lagi aku mendengus mendengar suara Mbak Tari.

"Bisa gak sih sekali-kali kalian yang buatin gue minum? Perasaan gue mulu deh." protesku.

Sayangnya, mereka tidak begitu peduli. Mereka malah sok sibuk dengan pekerjaan. Padahal aku yakin sekali, di balik komputer itu ada yutub yang menyala.

Aku jadi ingin pindah jabatan rasanya. Barangkali teman-teman sekantorku nanti lebih baik dari mereka. Tapi kalau begitu, aku tidak akan sesering ini bertemu Sean dong? Aish, apa sih yang kupikirkan?

"... Ada hidayah yang turun ke kita." Aku menatap Mbak Tari, bingung. Tadi, apa yang dia katakan yah? Tidak mau ambil pusing aku segera berlalu.

Beberapa menit kemudian, aku kembali. Mbak Tari dan Riska tidak lagi fokus pada pekerjaan mereka melainkan sibuk melihat ponsel. Aku menaruh minuman di atas meja Riska termasuk minumanku sendiri lalu ikut nimbrung.

"Kalian sibuk liat apa?"

"Astagfirullah, lo ngagetin aja, ah. Lo gak pernah diajari kalo masuk tuh bilang salam dulu? Jangan kayak ular dong. Astagah..."

Keningku mengkerut, ini Mbak Tari lagi kerasukan apa gimana? Macam nini yang diganggu lagi main gesek-gesekan sama brondong saja.

Kutatap Riska. Gadis cantik itu menghela nafas kemudian menunjukkan ponselnya padaku.

"Manjat aja."

Mbak Tari melihat ponsel itu seperti musuh bebuyutannya yang ingin dia binasakan. Aku jadi makin penasaran.

Tidak mau ambil waktu, aku menuruti perkataan Riska dan mulai membaca tiap kata yang tertara di sana. Satu per satu chat dari karyawan mengisi layar masuk dalam kepala. Dan ....

"Bangsat!" Pesan itu sukses memancing emosiku. Rasanya aku ingin memutilasi seekor serangga pengganggu. "Apa-apaan mereka?" Kutarik kembali kata-kataku tadi untuk pindah jabatan. Astaga, kayaknya hampir semua populasi di Paradise ini mulutnya kayak comberan. Munafik. Sialan. Uh, andai ada kata yang lebih buruk lagi, akan kusematkan pada mereka.

RESTARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang