Part 9

547 122 7
                                    

Yong Hwa menepikan mobilnya ke trotoar saat dilihatnya Shin Hye. Sekali ia menekan klakson membuat Shin Hye kaget dan menengok ke mobil yang menepi. Kaca jendelanya diturunkan hingga ia bisa melihat siapa orang itu.
"Naiklah! Aku akan mengantarmu ke apotek terdekat." perintah Yong Hwa dari belakang kemudi.
Shin Hye memang tidak bisa menolak, meski sebenarnya malas. Sebab kesehatan Hyun Joon lebih penting. Ia tidak tahu dimana apotek terdekat, ditambah udara yang panas sangat menyiksanya dan bayinya tentu saja. Padahal Hyun Joon sedang kurang sehat.
Ia membuka pintu mobil tanpa menunggu ditawari 2 kali. Seketika panas matahari yang menyiksa berganti dengan sejuknya AC. Shin Hye merasa hidup kembali. Hyun Joon pun berhenti merintih.
"Kau tahu dimana apotek terdekat?" tanya Yong Hwa sambil melajukan lagi mobil.
"Aniyo."
"Rencanamu kau akan terus berjalan sambil mencarinya?"
"Iya."
"Apotek terdekat itu dari sini dekat Bank samping kantor kejaksaan. Harus naik bus. Kalau berjalan kapan kau akan sampai. Makanya aku mengantarmu sebab sangat khawatir dengan bayimu." tutur Yong Hwa.
"Kamsahamnidha." angguk Shin Hye.
"Kau yakin tidak akan membawanya ke dokter?" Yong Hwa menuding Hyun Joon yang tampak nyaman setelah dibuka bungkusnya.
"Nde. Panasnya baru tadi. Kalau sudah dikasih obat penurun panas tapi tidak turun-turun demamnya, baru aku bawa ke dokter."
"Oke, semoga memang hanya demam biasa saja. Karena cuaca bukan karena infeksi." harap Yong Hwa.
"Amin." gumam Shin Hye.

Benar saja, cukup jauh apotek terdekat itu dari rumah. Diantar naik mobil saja hampir 20 menit, tidak terbayang bila harus naik bus terlebih berjalan kaki... Pasti Hyun Joon akan sangat menderita.
Yong Hwa turun tangan sendiri membeli obat itu, hanya bertanya nama obatnya saja.
"Aku sendiri tidak tahu namanya. Tn Jung bisa bertanya obat penurun panas untuk anak ke apotekernya." tukas Shin Hye sama tidak tahu.
"Ya sudah. Kau tunggu saja disini, biar aku yang turun. Kasihan anakmu." larang Yong Hwa.
"Ini uangnya, Tn Jung."
"Kau pikir aku tidak punya uang?" belalak Yong Hwa.
"Arrayo, pasti punya." balas Shin Hye.
Yong Hwa meninggalkannya. Shin Hye menghela napas.

Aku tidak akan melupakan semua kebaikanmu ini, Tn Jung. Meski kau selalu tampak kesal padaku, tapi kau sebenarnya sangat baik. Tuhan memberkati, Tuan! Kau benar-benar dewa penolongku. Bisik Shin Hye sambil tak terasa matanya berkaca. Benar yang dikatakan Pendeta Cho, bahwa Tuhan itu tidak tidur. Tanpa Seo Joon yang menghilang seperti uap disaat ia sangat membutuhkannya, ada pria berhati malaikat ini. Jangan berharap dia harus ramah bersikap terhadapnya, sebab siapa yang sudi dititipi wanita beranak yang hanya merepotkan. Sekaligus membuat malu. Karena Shin Hye bukan wanita baik-baik.
Shin Hye segera mengusap matanya saat dilihatnya Yong Hwa keluar dari apotek.

Tangannya membawa kantong plastik berisi obat dan air mineral.
"Ini. Minumkan langsung sekarang supaya dia cepat baik." perintahnya.
"Nde." Shin Hye menerima obat.
Hyun Joon menangis menolak meminum obat.
"Diminum, Sayang. Biar demamnya turun. Kalau Hyun Joon sakit, Eomma tidak akan bisa pergi kerja." oceh Shin Hye sambil berusaha meminumkan obat.
"Sebaiknya nanti malam pun kau jangan tinggalkan dia. Anak sakit itu butuh ibu untuk memeluknya." saran Yong Hwa.
Shin Hye menudingnya. Tapi tidak membantah.
"Ayo diminum, Sayang! Kalau Eomma bolong-bolong kerjanya, kapan Eomma bisa mengumpulkan uang untuk deposit." lagi oceh Shin Hye berusaha meminumkan obat satunya lagi.
"Kau ini yang dipikirkan uang untuk deposit melulu. Sekarang yang harus kau pikirkan kesehatan anakmu. Kalau kau tidak mau aku usir dari rumahku, perhatikan kesehatan dia. Sampai dia betul-betul sehat baru pikirkan lagi tentang pekerjaan." bentak Yong Hwa.
Shin Hye seketika mengunci mulut. Kedua macam obat sudah ditelan Hyun Joon meski ada yang tumpah-tumpah sedikit. Setelah itu Shin Hye memangkunya dalam posisi berdiri, dada Hyun Joon ditempelkan ke pundak sambil punggungnya diusap-usap. Supaya tidak muntah. Hyun Joon belum berhenti menangis.

Yong Hwa mulai menyalakan mobilnya siap pulang.
"Tidak ada yang akan kau beli lagi?" tanyanya sebelum melaju.
"Tidak. Sudah cukup, Tuan." tukas Shin Hye.
Mobil kemudian melaju meninggalkan pelataran apotek. Kembali pulang.

Karena Shin Hye tidak pergi ke klub, ajhumma tidak menginap. Di rumah itu hanya mereka bertiga. Shin Hye tidak keluar dari kamar membuat Yong Hwa bertanya-tanya. Apa Hyun Joon baik-baik? Dia bolak-balik ke dapur untuk mengintip. Tapi nampaknya keduanya sama-sama pulas. Yong Hwa merasa lega.
🎑

Siang itu Yong Hwa janji makan siang dengan Seo Hyun. Mereka memilih western food di sebuah restoran Eropa. Entah apa yang Eun Hye katakan kepada Seo Hyun sebab gadis itu tetap saja ingin berkunjung ke rumahnya.
"Weekend nanti apa bisa?" tatap Seo Hyun.
"Mwoga?"
"Aku main ke rumah Oppa?"
Yong Hwa mengurai senyum. "Apa yang ingin kau lihat di rumahku? Di rumahku tidak ada yang istimewa."
"Aku hanya penasaran saja rumah seorang lajang. Apa tidak boleh?"
Yong Hwa tidak segera bicara. "Apa Eun Hye Noona tidak mengatakan sesuatu padamu?" tanyanya setelah terdiam sejenak.
"Tentang apa?"
"Tentang rumahku."
"Iya."
"Apa?"
"Di rumah Oppa sekarang tinggal seorang wanita dengan bayinya titipan pendeta. Karena ada dia, Oppa tidak mengijinkanku berkunjung ke rumahmu." urai Seo Hyun membuat mata Yong Hwa seketika terbelalak lebar.
"Mwoga? Eun Hye Noona mengatakan itu padamu?" tanyanya kaget.
"Jika alasannya karena ada dia, aku tidak masalah. Aku mengerti Oppa tidak bisa menolak titipan pendeta." ucap Seo Hyun.
"Ani... bukan begitu, Seo Hyun-ah. Aku tidak mengijinkanmu ke rumahku, karena..." Yong Hwa mati kutu.

Eun Hye, dasar! Sulit diajak kompromi. Masalahnya bukan sekedar itu jika dirinya tidak bersedia mengajak Seo Hyun ke rumahnya. Tapi kondisi Shin Hye yang ia sendiri merasa kasihan sekaligus malu melihatnya. Ia tidak mau Seo Hyun mengetahui hal itu.
"Bagaimana Oppa?" desak Seo Hyun.
"Kau bisa bersabar bukan, Seo Hyun-ah? Kau bisa menunggu hingga dia pergi dari rumahku?" tatap Yong Hwa.
"Dia hanya menempati kamar ajhumma di rumah Oppa itu bukan? Dia tidak mungkin bersaing denganku sebab dia telah melahirkan seorang anak tanpa menikah dan hanya pekerja klub malam. Jadi apa yang Oppa khawatirkan?" 
Yong Hwa speechless, ia tidak bisa bicara sepatah kata pun.

Eun Hye benar-benar tidak bisa dipercaya. Kondisi Shin Hye yang sengaja ia sembunyikan, bukan seperti yang dipikirkan Seo Hyun. Sama sekali bukan. Tapi kenapa Seo Hyun berpikir ia menyembunyikannya karena khawatir Seo Hyun cemburu terhadap Shin Hye.
Pernyataan Seo Hyun itu jadi membuatnya geli kemudian sebal. Apa mungkin perempuan seperti Shin Hye dapat ia pilih? Jika di dunia ini perempuan yang tersisa hanya Shin Hye seorang pun, Yong Hwa memilih untuk tidak memiliki pasangan. Itu artinya tidak ada peluang sedikit pun bagi Shin Hye untuk sekedar ia perhitungkan dalam memperebutkan hatinya.

"Jangan memaksa, Seo Hyun-ah. Eoh? Saat ini aku sangat malu padamu dan akan semakin malu bila kau sampai datang ke rumahku. Jika kau mau bersabar, kesempatan itu pasti datang. Bahkan mungkin rumah itu akan jadi tempat tinggalmu juga nanti." putus Yong Hwa.
"Jeongmalyo, Oppa?" mata Seo Hyun berbinar cantik.
"Dia memang bukan seseorang yang akan berdiri sejajar denganmu, tapi menolong sesama itu adalah kewajiban setiap umat bukan? Aku hanya melakukan perintah agama sebagai umat yang taat terhadap perintah-Nya."
"Nde, aku percaya padamu, Oppa. Eun Hye Eonni pun mengatakan Oppa tidak mau mengecewakan pendeta dengan melakukan ini semua. Walau Oppa bisa menyewa sebuah apartemen untuknya. Nde, aku mau menunggu, Yong Hwa Oppa." angguk Seo Hyun akhirnya.
"Gomowo, Seo Hyun-ah!"

Bagaimana Yong Hwa tidak kesal terhadap Shin Hye, niat baiknya jadi disalah-artikan orang-orang. Gadis yang lebih cantik darinya banyak, yang kondisinya lebih baik dan bukan pendosa seperti dia, tak terhitung. Dimata Yong Hwa, melahirkan tanpa menikah adalah dosa. Tidak peduli Shin Hye yang hanya sebagai korban. Dan ia sangat benci hal itu.
🎑

TBC

When Love GreetsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang