Pagi itu Jinan dan Jennie mengantar Jiwon ke bandara karena pria bergigi kelinci itu akan kembali ke Seoul. Kehamilan Dongi kini telah menginjak usia kandungan ke-9 membuat wanita manis itu ingin selalu berada dekat suami dan orang tuanya. Jennie dari kemarin sore masih menangisi kepergian Uncle Bunny-nya itu. Hanya tiga hari pamannya menemani Jennie di Jeju, mengantar-jemput sekolah, berjalan-jalan, membelikan baju dan banyak makanan. Sekarang gadis kecil itu harus ditinggalkan, membuatnya tak bisa berhenti menangis. Bahkan Jinan juga sudah membujuk puterinya itu dengan liburan ke kakek neneknya di Jepang, namun Jennie tetap tak mau berhenti. Yang ia inginkan saat ini hanya tinggal bersama Jiwon. Bukannya tak ingin ikut ke Seoul, hanya saja Jiwon memiliki banyak kesibukan disana dan dia tak ingin merepotkan keluarga Dongi juga. Apalagi saat ini kakak iparnya itu sebentar lagi akan melakukan persalinan. Dia takut Jennie banyak merepotkan keluarga disana.
Penerbangan tinggal 35 menit lagi dan Jennie masih belum bisa ditenangkan. Padahal Jiwon sudah menggendongnya, berjalan berkeliling di lobi bandara. Jinan merasa tak enak pada kakaknya itu, maka dielusnya dengan lembut rambut cokelat Jennie dan meminta Jiwon untuk mendudukan Jennie di kursi. Gadis kecil itu masih terisak dengan ingus yang keluar dari hidungnya.
Jinan berjongkok di depan Jennie yang kini tengah duduk di kursi. Menatap sayang puteri semata wayangnya sambil menghapus air mata di pipi gembil itu. Membersihkan ingusnya dengan tisu. Dengan lembut Jinan memegang bahu kecil Jennie.
"Jendeuki tidak mau bersama Mama disini, hm?" Tanya Jinan lembut.
Jennie menggeleng cepat. "Tentu s-saja Jen-deuki ma-u sama Mama. Hiks." Suaranya terbata. "Tapi sama Uncle Bunny juga. Hiks."
Jinan mengelus surai Jennie, merapikan anak rambutnya yang berantakan. "Jendeuki sayang Uncle Bunny?"
Dengan cepat gadis kecil itu mengangguk. Sedangkan Jiwon yang sedari tadi duduk di samping Jennie tersenyum.
"Jadi, Jendeuki tidak mau membuat Uncle Bunny dimarahi oleh aunty Dongdong kan?"
Mata Jennie mengerjap. "Kenapa Uncle Bunny dimarahi aunty Dongdong?"
"Karena aunty Dongdong juga rindu Uncle Bunny, sayang.. Lagipula, sebentar lagi kan uncle dan aunty akan memiliki baby. Bukankah Jendeuki mau bermain dengan baby nanti, hm?"
Dengan cepat Jennie mengangguk. Jinan dan Jiwon saling memandang lalu tersenyum menatap Jennie. Jinan meraih tangan kecil Jennie dan menggenggamnya.
"Nah, Bncle Bunny harus ke Seoul karena sebentar lagi aunty akan melahirkan baby. Nanti kalau uncle tidak pulang ke Seoul, aunty akan menangis karena uncle tidak bersamanya ketika baby lahir. Uncle juga akan dimarahi oleh aunty dan nenek kakek. Jendeuki mau uncle dimarahi lalu menangis, hm?"
Jennie tentu saja menggeleng. Sedangkan Jiwon mengomel tanpa suara karena dia bukan anak kecil yang akan menangis jika dimarahi. Jinan terkekeh lalu mengisyaratkan kepada Jiwon untuk tak protes.
"Jadi.. Jendeuki harus membiarkan Uncle Bunny pergi?" Kedua mata polos itu menatap Jinan dan Jiwon bergantian.
Jinan mengangguk seraya tersenyum. "Tentu! Nanti setelah baby lahir, kita akan ke Seoul untuk bertemu dengannya dan memberinya hadiah. Jendeuki mau memberi hadiah untuk baby, kan?" Wanita itu berbinar.
"Ya! Jendeuki mau memberi baby hadiah!" Seru Jennie dengan binar di kedua matanya yang sudah tak basah lagi itu.
Jinan mengecup pipi gembil Jennie gemas. "Good girl." Dia berdiri dan menarik Jennie untuk berdiri juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Memory ✔
Fanfiction"Ma, seperti apa wajah Papa? Kenapa Mama tidak mau memperlihatkan foto Papa?" - Kim Jennie "Aku adalah ibu sekaligus ayah bagi puteriku. Kebahagiaan Jennie adalah segalanya bagiku." - Kim Jinhwan "Aku mencintai kalian, selamat tinggal.." - Kim Hanbi...