18. Papi Mertua

8.5K 747 59
                                    

Seakan berlalu lebih cepat dari hari di kalender, tanpa sadar kini sudah 2 hari sejak Stella meminta izin pada mama untuk membawaku ke rumahnya. Yang mana artinya, kini adalah hari dimana aku benar-benar akan bertemu dengan orangtuanya. Huft. Kok tiba-tiba jadi deg-degan gini yah. Haahh...

Pagi-pagi sekali kami berangkat ke stasiun menggunakan bus. Setelah itu kami menaiki kereta api menuju ke kota. Dan sekarang kami tengah berada di dalam taksi menuju ke rumahnya.

"Tes.."

"Hmm?"

Kulihat sedari tadi ia agak berbeda dari yang biasanya. Stella hari ini sedikit pendiam. Beberapa kali sewaktu di dalam kereta aku memergokinya sedang melamun. Dan kini bahkan dia hanya menunduk disampingku.

"Kamu... Kenapa sih Stell?" tanyaku saat ia tak kunjung berbicara.

"Hmm.. Ntar kalo ketemu papi, kamu ngikut aku aja aja ya. Kamu nggak perlu kenalan sama dia, aku cuma mau bilang ke papi kalo aku punya kamu sekarang." ucapnya setelah beberapa saat.

Aku mengangguk sedikit ragu.

"Papi kamu orangnya gimana sih?" tanyaku penasaran.

"Dia tipe orang yang cuek. Satu-satunya yang dia cinta cuma pekerjaannya. Dia ga pernah peduli sama aku. Tapi karena jabatannya di perusahaan, dia selalu nge-push aku biar bisa nerusin nama besarnya."

Aku hanya diam dan mendengarkan penjelasan Stella.

"Bahkan pas aku kabur dari rumah pun dia sama sekali nggak nyari aku. Padahal kalo dia nyuruh anak buahnya buat nyari aku, nggak sampe sejam pun aku pasti udah ketemu. Tapi nyatanya sampe sekarang ga ada yang ngebawa aku pulang kan."

Stella menyandarkan tubuhnya ke kursi dan sedikit mendongak ke atas.

"Karena selama aku nggak ganggu atau ngerusak reputasinya, dia gaakan pernah peduli."

Ia mulai memejamkan matanya.

"Dulu orang-orang pada kenal aku sebagai anaknya papi, sebagai penerus perusahaannya. Makanya aku sering di-push untuk jadi 'sempurna' di mata orang. Tapi sejak aku kabur, dia juga diem aja. Bahkan mungkin orang-orang taunya aku mati. Nggak ada jejak eksistensinya lagi. Nggak ada yang peduli."

Setetes air mata mengalir di pipinya.

"Terus dari situ aku mulai mikir, 'aku dianggep apa sih sama papi?'. Dan jujur aku juga nyesel. Harusnya dulu aku seneng di-push sama papi. Cuma waktu itu aja papi bisa kasih perhatian ke aku. Walaupun perhatiannya sekedar marahin aku yang gabisa dapet nilai bagus di pelajaran matika, tapi seenggaknya dia masih nganggep kalo aku itu ada."

Nafasnya mulai tak beraturan. Yang bisa kulakukan hanyalah mengusap air matanya dan sedikit menenangkannya.

"Kamu itu kuat. Aku percaya itu." ucapku.

Stella mulai mengusap kasar sisa air matanya. Ia berusaha tersenyum di hadapanku.

"Aku emang harus jadi kuat. Biar bisa jagain kamu." ucapnya.

"Ish, jangan mulai ah." sungutku.

Ia terkekeh.

"Hmm.. Ngomong-ngomong, mami kamu...." tanyaku hati-hati.

"Hm? Dia baik. Sangat baik. Aku aja bingung kok bisa mami kepincut sama papi."

Aku mengangguk beberapa kali. Sepertinya nggak masalah kalo ngebahas maminya.

"Mami sekarang tinggal di apartemen kecil, di tempat yang agak jauh dari rumah. Kalo sempet, nanti kita kesana juga." ucap Stella.

"Eh?" heranku.

Zona Nyaman✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang