Part 19

2.9K 127 10
                                    



Hampir satu bulan aku tidak mendapatkan kabar dari Yudhi, karena semua kontak Yudhi sudah tidak aktif lagi. Rasanya aku sangat sedih sekali, karena aku harus kehilangan teman seperti dia, teman yang beberapa bulan terakhir ini yang bisa kuajak hangout bareng serta sebagai tempat curhat yang asik. Namun, kini dia entah ke mana, aku cuma berharap di mana pun dia berada, dia akan selalu baik-baik saja.

Berangsur-angsur aku mulai melupakan Yudhi, walaupun kadang-kadang terbesit dalam hatiku ada rasa kerinduan yang kerap menghampiriku. Dan rasa kerinduan ini pulalah yang membawa tubuhku berjalan ke sebuah taman di mana pertama kali aku bertemu dengan sosok Yudhi. Sebuah taman remang-remang yang banyak dikunjungi oleh pasangan muda-mudi.

Di taman ini aku duduk sendiri di bangku yang sama seperti dulu, saat aku berkenalan dengan Yudhi. Sambil menerawang jauh, aku mengingat kejadian waktu itu saat kehangatan tangan Yudhi menjabat erat tanganku. Desiran lembut dan aliran kehangatannya menjalar seperti ada percikan bunga api yang dapat membakar gelora asmaraku.

Beeepp!!! ... Beeppp!!! ... Beeepp!!!

Terdengar suara klakson mobil sedan yang perlahan menghampiriku, saat berhenti pas di depanku, jendela mobil itu terbuka dan nampaklah seorang pria paruh baya dengan mengenakan kaca mata hitam, setelan jas yang rapi dan dandanan rambut yang klimis. Pria itu melempar senyuman tipis ke arahku seolah hendak meyakinkan bahwa dia sedang ingin berkomunikasi dengan aku. Aku membalas senyuman orang asing ini dengan anggukan kepala yang pelan.

''Orang baru, ya?'' ujar laki-laki yang usianya berkisar setengah abad itu, ''berapa tarifmu?'' lanjutnya yang membuat aku jadi sedikit bingung, karena tidak tahu maksudnya.

''Maaf, maksud Om apa, ya?'' tanyaku benar-benar polos.

''Hehehe ...'' Om ini cuma cengegesan, "ah ... kura-kura dalam perahu nih! Udah ikut Om aja sini!'' imbuhnya yang membuatku bertambah bingung.

''Ikut ... ikut ke mana sih, Om?'' Aku mengkerutkan kening.

''Hehehe ... masih sok jaim!''

Aku menggeleng-gelengkan kepala.

''Aku perhatiin kamu ternyata manis juga ... Om kasih 500 ribu, deh!''

''Hah!'' Aku kaget karena aku baru ngeh dan sadar sebenarnya ke mana arah obrolan si tua-tua keladi ini.

''Kayaknya Om salah target, deh!'' sindirku halus.

''Ala ... sok jual mahal nih, kucing!'' timpal Om ini dengan nada ketus.

''Maaf ya, Om ... saya bukan kucing, saya manusia!''

''Beruntung kamu ... aku tawar gopek biasanya kucing seperti kamu cuma gocap atau cepek palingan dapet!''

''Om ... maaf ya, saya ini bukan kucing seperti apa yang Om pikirkan!'' ujarku penuh dengan penekanan.

''Hahaha ...'' Laki-laki tua ini ngakak, ''bukan kucing tapi gigolo bin lonte lanang. Hahaha ...'' katanya masih tertawa penuh dengan nada meledek. ''Tampilan kamu aja udah mencerminkan kalau kamu itu cowok sakit, Nak ...'' imbuhnya.

''Terserah, deh ... tapi yang jelas Om ngajak orang yang tidak tepat! Saya bukan orang yang murahan seperti yang Om bayangkan!'' terangku rada kesal juga.

''Heyyy ... kalau kamu bukan kucing, ngapain kamu mangkal di sini!'' Om ini meringis manja.

''Lho ... terserah saya dong mau nongkrong di mana? Itu hak saya!''

''Memang kamu tidak tahu kalau di sini tempatnya para maho jual diri?''

''Apa?'' Aku mendelikan mata.

''Hehehe .... dasar sok jual mahal, munafik!'' ujar Om ini dongkol sambil menutup jendela mobil sedannya dengan kasar, lalu dia membunyikan telolet-nya dengan keras dan pergi meninggalkan aku yang masih berdiri terbengong.

Jujur saja aku masih shock, karena mendengar penjelasan laki-laki setengah baya itu kalau taman ini merupakan tempat terselubung sebagai ajang prostitusi gay. Aku belum sepenuhnya percaya dengan omongan om-om genit itu. Namun ucapannya ini membuat aku jadi penasaran dan ingin mengungkap kebenarannya.

Kembang LelakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang