Part 11

3.6K 129 5
                                    

Coffee Break Time.

Putri datang ke ruang kerjaku sambil membawa secangkir kopi mocca di tangannya.

''Kopi, Mas Tian!'' kata Putri sembari meletakan cangkir tersebut di atas meja kerjaku.

''Terima kasih, Put!'' timpalku datar.

Putri masih berdiri di depanku, nampaknya ada yang ingin dia sampaikan kepadaku, tapi dia masih ragu-ragu.

''Ada apa, Put? Kok ... sepertinya gelisah,'' tanyaku yang memperhatikan sikap Putri yang terlihat agak gugup, matanya terpekur memandang lantai dan jemarinya mengepal membentuk formasi pertahanan.

''Katakan saja, jika memang ada yang ingin kamu sampaikan!'' tambahku.

''Mas Tian ... hari ini ...'' Putri memandangku dengan tatapan yang sedikit aneh, ucapannya pelan bahkan cenderung di potong-potong.

''Ada apa, Put ... kok malu-malu begitu?''

Putri menghela nafas panjang, lalu dia memegang tanganku dengan sangat erat, matanya terlihat berbinar.

''Hari ini ... mmm ... Ari melamar Putri, Mas!'' ungkap Putri dengan senyuman lebar di bibirnya, namun senyuman manis itu nampak pahit bagai empedu di pandangan mata hatiku, ucapannya barusan seperti sembilu yang menyayat kalbu.

''A-Ari ... me-melamar Putri?'' Aku melepas genggaman tangan Putri.

''Ya, Mas Tian ... tapi, aku masih ragu, aku takut orang tuaku tidak merestuinya ... tapi aku sangat mencintai Ari ... Mas!"

''Putri ... jika kamu dapat hidup dengan orang yang kamu cintai, itu adalah anugrah yang tak terhingga, jangan hiraukan orang lain, Jika kamu tak enak hati pada orang lain atas hubungan kalian itu pun cuma berlaku hanya sebentar, setahun, dua tahun mungkin mereka akan lupa ... namun jika engkau bisa hidup dengan cinta sejatimu dan berumah tangga dengannya, kamu akan mendapatkan kebahagian berpuluh-puluh tahun lamanya .... jadi tak perlu ragu dengan hubungan kalian!''

Entahlah ... bagaimana aku bisa menyusun dan mengungkapkan kata-kata yang sok bijak demikian, padahal jauh di dalam hatiku ada goresan luka yang menganga.

Wajah Putri mendadak memerah, senyumannya yang manis itu kembali merekah setelah mendengar perkataanku, lagi-lagi dia memelukku dari belakang, pelukan hangat yang sangat erat.

''Terima kasih, Mas Tian ... Mas Tian emang teman Putri yang paling baik ... tidak sombong ... dan mau mengerti Putri.''

''Selamat, Putri ... semoga kamu bahagia!''

Aku berdiri terpaku menatap langit-langit dengan mata berkaca kaca, ada segumpal rasa perih yang menyelimuti batinku, namun apalah dayaku seorang lelaki yang terlihat tegar di luar, tapi rapuh di dalam. Aku menangis bukan karena Putri akan menjadi milik orang seutuhnya, tapi aku menangis karena aku tidak kuasa menerima permainan nasib yang kadang menyesakan jiwa.

Kembang LelakiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang