TAWMTW 27

413 81 18
                                    

Silence is the best reply to a fool.

Diam bukanlah sebuah kesalahan.

Diam bukan berarti kita kalah.

Diam juga bukan berarti kita tidak mampu untuk melawan.

Tapi diam adalah sebuah tindakan luar biasa.

Luar biasa benar.

Ada yang bilang "diam itu emas"

Bukan, bukan berarti jika kita diam kita akan mendapatkan emas.

Tetapi emas yang dimaksud adalah sesuatu yang jauh lebih berharga.

Contoh, jika kita sedang bertengkar dengan seseorang, ada dua pilihan yang bisa kita ambil. Melawannya atau tetap diam.

Pilihan pertama, melawannya. Kepala kita sama-sama sedang panas, tidak ada yang bisa mengambil jalur tengah, lalu apa yang akan terjadi setelahnya? Masalah akan semakin runyam, tidak ada yang bisa mengambil keputusan, dan di akhiri dengan kita yang saling menjauhi satu sama lain.

Dan pilihan kedua adalah tetap diam. Jika kita berada dalam sebuah pertengkaran, cobalah untuk diam. Lalu pikirkan asal mula masalah ini secara logis, darimana asal usulnya kenapa pertengkaran itu bisa ada. Lalu setelah kepala dingin, kita bisa membicarakannya lagi. Pasti, masalah itu akan terselesaikan.

Sama dengan apa yang sedang Leo lakukan, dia hanya sedang menunggu. Menunggu sampai khalayak umum yang mengenalnya sedikit lebih tenang. Ia tidak ingin salah mengambil keputusan. Maka ia terus diam sampai sekarang.

Dia bukan pecundang.

Bukan juga pengecut.

Dia adalah seorang Leo. Yang di setiap tindakannya kini ia menanggung hidup orang lain. Dua orang kini bergantung padanya, maka ia memikirkan cara bagaimana ia bisa melindungi orang-orang yang ia sayangi, sekaligus mengungkapkan kebenaran yang ada.

Dan sekarang, tepat satu minggu setelah berita Leo yang menyatakan bahwa dirinya adalah seorang gay, dia beserta agensinya baru akan mengadakan konferensi pers hari ini.

Kilat sorot kamera terus memantul bergantian, membuat perih mata siapa saja yang melihatnya.

Padahal Leo masih menunggu di belakang panggung, tapi kamera-kamera itu sudah sibuk memotret. Entah apa yang mereka ambil gambarnya.

"Kita sudah membicarakan ini sebelumnya. Semua keputusan ada ditanganmu, dan sekali lagi aku minta maaf atas emosiku minggu kemarin."

Ketua Jang menepuk pelan bahu kiri Leo, lalu setelahnya pergi meninggalkan artisnya untuk melakukan sesi konferensi pers seorang diri.

Leo semakin gugup, ia menarik dalam napasnya. Matanya menatap pada mata Ravi lalu kepalanya mengangguk, menandakan bahwa ia sudah siap.

.

.

.

.

.

"Leo-ssi, apakah benar bahwa anda adalah seorang penyuka sesama jenis?" Tanya salah seorang wartawan.

Jemari wartawan itu dengan lihai terus mengetik diatas keyboard laptopnya, tapi kedua matanya terus fokus menatap Leo yang duduk dengan nyaman dibalik meja.

"Ya, benar."

Seisi ruangan terasa lebih ricuh saat Leo menjawab pertanyaan dari wartawan itu dengan tegas. Para wartawan saling melirik pada teman yang duduk disebelah mereka. Menggunjing atas jawaban Leo barusan.

"Bagaimana bisa?" Tanya wartawan yang berbeda, sebelumnya ia mengangkat tangannya terlebih dahulu.

"Pertanyaanmu sedikit membingungkan. Bagaimana bisa untuk apa? Untuk menyukai sesama jenis? Jika itu, aku tidak memiliki jawaban yang pasti. Tapi yang jelas, karena rasa cinta, dan aku pikir rasa cinta bisa datang pada siapa saja, mau itu wanita atau pria." Lagi-lagi Leo menjawab pertanyaan itu dengan cukup santai, padahal hatinya cukup berdebar saat ini.

"Berarti kau masih bisa menyukai seorang wanita?" Seorang wartawan perempuan mengangkat tangannya lalu bertanya setelahnya.

"Kurasa tidak. Karena aku sudah terlalu buta untuk hanya menyukai priaku."

"Apa kau tidak takut untuk kehilangan karirmu?"

Leo tersenyum saat pertanyaan itu akhirnya mendatangi dirinya. Lalu ia segera berdiri, mengambil mic sedari tadi tertempel dimeja lalu menggenggamnya.

"Pertama-tama aku ingin meminta maaf untuk semua penggemarku, atau siapapun yang dekat denganku yang mungkin merasa dirugikan dengan masalahku ini. Aku benar-benar meminta maaf." Leo membungkuk dengan dalam. Bahkan pegangan pada mic-nya semakin mengerat.

"Lalu yang kedua, aku tau bidang ini yang sudah membesarkan namaku, membuatku disayangi oleh begitu banyak orang. Tapi aku tidak takut jika karirku harus berhenti disini, aku hanyalah orang yang bekerja saat orang-orang masih mendukungku, dan masih menyayangiku. Tapi jika kalian ingin aku berhenti dari dunia ke-artisan aku akan mundur."

"Tapi jika kalian masih bisa menerima kekuranganku, aku akan tetap berada disini, memberikan penampilan yang lebih baik lagi dari sebelumnya, dan lebih bisa mengungkapkan bahwa aku menghargai kalian semua yang sudah mendukungku selama ini."

Leo menarik napasnya, menundukan kepalanya sebentar lalu kembali mendongak. Menatap tepat pada lensa kamera yang menyorotnya.

"Yang ketiga, kumohon jangan usik priaku. Dia tidak salah, aku yang membawanya dalam segala kerumitan ini. Jika kalian masih ingin mendukungku, maka kumohon dukunglah hubungan kami juga.

Aku tidak meminta kalian untuk merestui hubungan kami, yang kuminta adalah, tolong hormati keputusan kami ini. Karena kedepannya kami berdua yang akan menjalani kehidupan kami.

Aku tau masih banyak dari kalian yang menganggap bahwa hubungan sesama jenis ini masih begitu tabu. Tapi sekali lagi ku katakan, cinta yang membuatku yakin untuk terus melangkah dalam jalan ini. Terlepas itu benar atau salah."

"Aku meminta tolong pada kalian!" Leo kembali membungkuk dengan dalam, lalu meninggalkan panggung, membuat para wartawan kembali ricuh.

Tetapi ada beberapa dari mereka yang terdiam, seperti sedang mengolah apa yang barusan Leo ucapkan. Bahkan ketikan pada keyboard laptopnya ikut terhenti begitu Leo menyuarakan pendapatnya tadi.

.

.

.

.

.

"Kerja bagus hyung, kita lihat bagaimana hasilnya nanti." Ravi meremat bahu kanan Leo yang sudah terduduk lemas diruang tunggu.

Pikirannya tiba-tiba kosong, ia sendiri ragu dengan apa yang ia katakan tadi. Apa pilihannya kali ini sudah benar, apa keputusannya ini akan berdampak baik untuk dirinya dan orang-orang disekelilingnya, atau malah sebaliknya.

Ia tidak bisa memikirkan apa yang akan terjadi untuk ke depannya. Kepalanya terasa ringan, matanya memberat. Ia pusing. Ia lelah. Ia cemas. Dan ia ragu.

"Leo hyung! Astaga, bangunlah, hei!"

Ravi terus menepuk pipi Leo dengan cukup keras karena pria itu yang tiba-tiba jatuh pingsan.

.

.

.

.

.

TBC

THE ACTOR WHO MEETS THE WIDOWERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang