Detik-detik

1K 101 0
                                    

Shavero menatap pistolnya yang tergeletak di lantai setelah terlepas dari genggamannya. Kini ia beralih menatap Jaden. "Aku memang melanggar ucapanku, itulah sebabnya kau tidak bisa percaya padaku."

"Kau tak perlu ingatkan aku pada kesalahan yang aku lakukan. Aku sudah mempelajarinya sendiri!" Jaden mendorong Shavero dengan keras hingga keseimbangan Shavero menjadi hilang.

Sebuah kotak permen mint terjatuh keluar dari saku celana Shavero. Melihat kotak itu membentur lantai hingga terbuka mengeluarkan isinya, Jaden langsung teringat pada kotak permen yang ditemukannya di ruangan Ny. Sofie hari itu.

"Kotak permen mint," ujar Jaden dengan tatapan menerawang.

Shavero mengambil kotak permennya yang terjatuh. "Kau menemukannya di ruangan Sofie, bukan?"

"Kau ada di sana hari itu. Sosok yang Rapholen kira sebagai hantu sebenarnya adalah dirimu." Jaden membuat kesimpulan.

"Kau sangat pandai, Jaden," ujar Shavero lalu memakan dua butir permen mint. "Selama ini aku selalu menolak untuk berbagi dengan kalian, tetapi sepertinya hari ini aku akan berbaik hati." Tangan Shavero menyodorkan kotak permennya ke arah Jaden.

Jaden tak menggubris, ia teringat pada penemuan lain setelah kotak permen mint. "Celah peti matimu itu ..."

"Celah peti itu untuk aku bernapas. Aku benar-benar dikubur. Aku membuat celah untuk udara masuk. Tinggal di dalam peti itu sangat tidak nyaman," ujar Shavero menjawab misteri yang lainnya.

"Kau tidak mungkin bisa melakukannya sendiri tanpa ada yang mengetahuinya." Jaden mencengkeram kerah pakaian Shavero kuat-kuat. "Siapa yang membantumu?"

"Tentu saja anak-anak buah ayahmu yang setia, Jaden," jawab Shavero memberikan penekanan pada kata "setia". Ia pun mendorong Jaden menjauh darinya.

"Apa mereka juga yang mengeluarkanmu dari sana?" tanya Raph.

"Iya, Raph. Tentunya bersama Nyonya Sofie. Semua itu rencana Nyonya Sofie dan Shavero," jawab Erick.

"Seharusnya kau tetap terkubur sampai benar-benar mati, Shavero!" ketus Raph.

"Kelihatannya kalian sudah cukup pintar untuk menjawab pertanyaan kalian sendiri. Berarti kalian bisa mati dengan tenang sekarang." Shavero berbalik hendak mengambil pistolnya kembali.

Menyadari hal tersebut, Jaden tak membiarkan Shavero sampai berhasil menyentuh senjata api itu. Ia pun menendang punggung Shavero dengan keras hingga tubuh mantan sahabatnya itu tersungkur ke lantai. Terdengar suara menggeram sembari Shavero susah payah berdiri. Dahi pelukis andal itu berdarah. Shavero menyentuh lukanya dan terlihat sangat marah.

"Harus kuakui, kau memang lebih hebat daripada aku, Jaden. Aku kesulitan untuk menghadapimu."

Tangan Shavero memberi isyarat untuk memanggil pasukannya mendekat. Para pria yang berada di bawah kekuasaan Shavero pun merapat mengikuti perintah sembari mengeluarkan pistol masing-masing. Mereka juga memberikan pistol baru kepada Shavero. Bersama dengan pasukannya, Shavero langsung mengarahkan senjata api tersebut kepada Jaden.

Keadaan berbahaya itu membuat jantung Raph dan Erick berdebar-debar. Tangan Erick begitu ingin menggapai Jaden dan menariknya dari todongan senjata itu, tetapi tentunya hal tersebut tidak berarti apa-apa. Berbeda dengan respon ngeri yang ditunjukkan oleh Raph dan Erick, Jaden tetap tenang dan terlihat santai saja. Ia bahkan melipat tangan dan mulai tersenyum geli.

"Hahaha, kau mengancamku dengan senjata bersama pasukanmu? Apa kau pikir aku takut?" Jaden melanjutkan tawanya dengan kencang. "Hahahaha! Sepertinya kau lupa siapa aku. Aku ini putra dari Andreas Rooclas, Kepala Kepolisian Negara. Bahkan sebelum menjabat posisi tinggi itu, nama ayahku sudah tersohor di seluruh negeri. Rumahku pernah disergap oleh musuh yang bersenjata lengkap saat usiaku delapan tahun. Kau ingat cerita itu, kan? Lalu apa menurutmu aku akan takut ditodong seperti ini oleh kalian semua?"

E37BTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang