Setelah menunggu sekian lama, lampu ruang operasi itu akhirnya mati. Hinata dan Naruto langsung mendongakkan kepalanya dan memfokuskan pandangannya pada sosok dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi.
"Bagaimana keadaan paman saya dokter ?" Tanya Naruto tidak sabar. Dokter yang bernama lengkap Orochimaru itu baru saja melepaskan maskernya.
Hinata tidak peduli dengan obrolan antara Naruto dan dokter Orochimaru. Dirinya terfokus dengan sosok ayahnya yang terbaring lemah diatas brangkar. Beberapa gulungan kapas tampak terlilit di area muka dan lengan sang ayah. Beberapa suster tengah berdiri disebelah kanan dan kiri.
"Beliau baik baik saja. Ia berhasil melalui masa kritis. Beliau perlu dirawat beberapa hari dirumah sakit agar kami dapat mengawasi perkembangan beliau. Untuk sekarang, mungkin beliau belum sadar karena efek obat bius. Kemungkinan efek obat bius itu akan hilang dalam beberapa jam," jelas Orochimaru. Naruto bernafas lega. Ia menolehkan perhatiannya pada Hinata yang menangis sambil memegang pinggiran kasur ayahnya yang sedang tertidur pulas.
"Terima kasih dokter," Naruto menundukkan badannya sejenak sebagai rasa terima kasih.
Dokter itu mengisyaratkan beberapa suster tersebut untuk membawa pasian ke ruang rawat inap. Hinata hanya bisa merelakan hal tersebut sambil memainkan jari tangannya gelisah.
Dengan tekat kuat, Naruto merangkul bahu Hinata dan mengusap usapnya pelan.
"Kuatkan dirimu. Your father gonna be okay," kata kata penyemangat itu keluar dengan tiba dari mulut Naruto. Hinata merasa tenang setelah mendengar perkataan Naruto. Ia menghela nafas panjang guna menenangkan kekhawatirannya akan ayahnya.
Ia percaya Naruto. Ayahnya pasti baik baik saja.
***
Selesai mengurus admininstrasi rumah sakit untuk biaya pengobatan ayah Hinaga, Naruto langsung memasuki kamar no 2009. Tempat ayah Hinata dirawat.
Begitu ia masuk, ia langsung disungguhkan pemandangan haru antara sang ayah dengan anaknya. Hinata terus menggengam erat tangan sang ayah yang tertidur. Dirinya juga ikut terlelap. Mesti rasanya hatinya masih terasa tak nyaman.
Lampu kamar yang remang remang itu seakan menjadi dekorasi adegan haru antara sang ayah dengan sang anak.
Dengan tekad kuat, Naruto berjalan menuju sisi Hinata dan mengusap bahu Hinata pelan. Ia mengelus dengan sayang helaian rambut lavender milik Hinata. Senyum kecil itu perlahan terukir di wajah tampannya.
Dengan masih berbalut seragam sekolah, Naruto mencondongkan kepalanya ke dahi Hinata dan mengecupnya pelan dan penuh perasaan. Takut bidadari kesayangannya merasa terganggu dan akhirnya terbangun.
"Jangan takut Hinata. Kini, ada aku disampingmu," kata Naruto pelan usai memberikan kecupan selamat malam kepada sang bidadari.
"Maafkan aku yang terlalu pengecut mengucapkan ini ketika kau tengah terlelap. Tapi, aku takut aku tak akan memiliki keberanian lain untuk mengungkapkan ini--"
"Aku mencintaimu Hinata,"
Naruto berjalan dengan senyum yang terkesan sedih. Ia memang pengecut. Hanya berani mengungkapkannya ketika Hinata tengah tertidur dan tidak mengetahui apa apa. Ia hanya takut. Setelah kata itu terdengar oleh Hinata, ia takut justru itu malah membuat hubungannya dan Hinata renggang karena kecanggungan.
Blam !
Pintu kamar inap itu tertutup dengan pelan meskipun sedikit menimbulkan suara debuman. Naruto keluar dengan senyum sendu. Entah bahagia atau tidak, Naruto setidaknya dapat mengungkapkan perasaan yang terpendam dalam dalam di lubuk hatinya.
"N-Naruto.... T-tidak m-mungkin..."
***
Pagi itu, Temari tampak gelisah. Ia terus menggigiti kuku jarinya. Sekujur badannya gemetar secara terus menerus.
Tadi pagi, ia baru saja mendapat sebuah surat ancaman yang menyuruhnya untuk pergi ke gedung belakang sekolah saat bel sekolah tengah berbunyi. Dan tidak ada siapapun yang boleh ikut bersamanya. Jika Temari tidak datang, maka si pengirim surat itu jelas akan berlaku macam macam kepada Temari
Temari panik. Ia gelisah dan tak tau mau bercerita dengan siapa. Ia tak mau menambah beban pikiran yang menumpuk di benak sahabatnya itu.
Entah masalah ayah Hinata, urusan terror Sakura, ataupun persiapan untuk tampil yang menyibukkan Ino dan Tenten. Cukup sakit baginya ketika mendengar keluh kesah sahabat sahabatnya.
Temari terus menanamkan pikiran positif dalam benaknya. Semoga memang tidak terjadi apa apa nantinya saat pulang sekolah.
***
Oh Tuhan... Sungguh Temari kini ingin mengutuk Kabuto sialan itu. Tenyata yang memanggil dirinya itu adalah si Kabuto tidak jelas yang menyatakan perasaannya beberapa hari lalu.Dengan langkah kesal, Temari melangkah kearah Kabuto yang menyambutnya dengan senyuman manis yang justru membuat Temari jijik. Kabuto berdiri persis di depan pintu gudang tempat mereka bertemu sebelum ini.
Temari mengangkat tangannya tinggi bersiap menampar Kabuto. Ia menatap sengit mata Kabuto yang menyipit karena senyuman.
Kabuto mundur dua langkah tepat ketika Temari baru saja mengayunkan tangannya. Sehingga dirinya tidak terkena pukulan Temari. Ia tersenyum aneh lalu meraih pundak Temari dan memeluk Temari dari belakang.
"Mau kutunjukkan sesuatu yang luar biasa ?" Bisik Kabuto. Temari bergidik ngeri dan mencoba melepaskan Kabuto. Tapi usahanya jelas gagal.
Kabuto merubah posisi Temari menghadap kearah pintu gudang dan membuka pintu tersebut dengan sebelah tangannya.
Bau minyak mendominasi gudang ini saat Temari masuk.
Temari mengerjabkan mata berkali kali. Tidak ada yang aneh. Tampak seperti gudang biasa. Lalu, apa yang mau ditunjukkan Kabuto ?
Temari berbalik dan ia melihat dengan jelas sosok Kabuto yang sedang menyeringai dengan sebuah korek dibelakangnya.
"I...It...u"
^^^
Maafkan Nao yang kelamaan update karena nunggu reades yang *sorry* tidak menghargai cerita Nao :)Nao Luv bngt sama kalian yang sudah mau mendukung Nao melalui Vote. Makannya Nao cepetin 😁.
Maafkan perlu waktu sebulan buat update 😅
Luv u minn-na 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Gangster Boy (✔)
FanfictionDisclamer : Masashi Kishimoto Cover By : Occlunancy Ketika sebuah perjodohan yang membuatmu harus menjadi calon pengantin dari musuhmu sendiri. Start : 4/9/2017 End : 1/12/2018 ©2017/Natasya.A