33. The Story of Another Us

2.4K 221 68
                                    

Dengan segala keberanian yang sudah dia kumpulkan, Jovi melangkah dengan penuh tekad ke arah ruang keluarga, dimana seluruh anggota rumah sudah berkumpul di sana. Ada Papa, Mama dan dua kakak perempuannya.

Tarik nafas dalam-dalam, kemudian hembuskan.

Jovi, fighting!! Jeritnya dalam hati.

"Ma, formulir study tour-nya Jovi belum ditanda-tanganin nih," ucapnya seraya menyerahkan amplop berisi formulir kegiatan study tour yang akan dilaksanakan 10 hari lagi.

"Nekad pengen ikut, Dek? Minggu kemarin Mama udah larang kan?" Jovi menghela nafas panjang mendengar ucapan kakak perempuan pertamanya yang membuatnya merasa terintimidasi.

"Pa, gimana?" Tidak berhasil mendapat respon dari si Mama, Jovi beralih pada Papanya yang sangat pro dengannya.

"Ya kalo gak boleh yaudah lah Dek, akhir tahun aja berangkat sendiri bareng keluarga," ujar kakak perempuan keduanya, nadanya tidak ketus, terdengar normal tanpa emosi tapi tetap saja itu membuatnya kecewa.

"Tapi kan pengennya bareng sama temen-temen sekelas, Kak, kapan lagi sih bisa pergi bareng satu kelas? Satu angkatan malah," cebiknya.

"Ya kalo Mama Papa gak kasih izin gimana lagi coba? Masak mau maksa?" Jika tidak ingat bahwa gadis di depannya ini adalah kakak sulungnya, mungkin sudah Jovi ikat bibirnya agar tidak mengoceh lagi.

Kakak pertamanya bisa disebut satu genk dengan si Mama, sama-sama tidak suka Jovita pacaran apalagi setelah tau pacar adiknya adalah model cowok seperti Bobby.

"Kalian masuk kamar sana, Papa mau ngobrol sama Jovi." Perintah mutlak yang tidak bisa dibantah oleh dua gadis lain yang ada di dalam ruangan tersebut.

"Kalo besok ada yang mendadak budeg, berarti ada yang ngumping di belakang lemari," sindir si Papa setelah menyadari bayangan dua anak perempuannya yang lain nampak di sisi lemari kaca. Debam pintu membuat mereka yang tersisa di ruang keluarga tau bahwa tidak ada lagi yang berusaha menguping di balik lemari.

Jovi terkekeh, Papanya ini benar-benar idolanya!

"Sini, duduk sini deh Jov," Papanya menepuk sisi sofa di sebelahnya yang kosong, tanpa beban Jovi menjatuhkan diri di sisi sang Ayah yang menyambutnya hangat—seperti biasa—berbeda dengan sang Ibu yang mulai memasang wajah masam sejak pertama Jovi bergabung di ruang keluarga.

"Boleh ya, Pa?" Jovi menangkupkan kedua tangannya di depan dada tanpa lupa memasang wajah yang dibuat semelas mungkin.

"Ma??" Kemudian berpaling pada Mama, menatap wanita cantik di sebelahnya dengan alis naik turun.

"Gini nih, kebanyakan gaul sama temen-temenmu yang badung semua makanya jadi ketularan ngeyelan kan kamu," sahut si Mama.

Papa Jovi terkekeh, merangkul bahu Jovi erat-erat seolah Jovi baru saja melakukan sesuatu yang membanggakan.

"Berarti jelas dong ya Jovi anaknya Mama. Mamanya kan ngeyelan juga, Papanya aja dieyelin terus," lagi-lagi kalimat sindiran keluar dari mulut si Papa, membuat Jovi ikut terkikik.

"Pa, boleh ya?" Lagi Jovi memohon dengan sungguh-sungguh, berharap kali ini acara memelasnya berbuah hasil seperti yang dia harapkan.

Laki-laki dalam rangkulan Jovi mengangguk dengan senyum lebar, Jovi melebarkan mulut dan matanya sebagai reaksi pertama dari jawaban sang ayah.

"Beneran Pa?" Teriaknya setelah melompat dari posisi duduknya.

"Iyaaa, boleh!"

"Ma? Beneran ini Jovi boleh pergi?" Pertanyaan serupa Jovi lontarkan pada si Mama yang sejak tadi sok fokus pada tayangan berita di tv.

NEW KIDS ; iKONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang