Part 13

2.4K 223 10
                                    

Malam semakin larut dan aku belum juga menemukan burung itu, aku merasa sedikit frustrasi. Bagaimana jika aku tidak bisa menemukan burung api itu? Dan juga pikiran negatif tentang keadaan Bibi Lucynda sekarang. Aku harap Bibi Lucynda masih bisa bertahan, dan aku berulang kali berdo'a kepada Moon Goddes agar bisa membantu ku sekarang.

Agar tidak membuang banyak waktu, aku kemudian ketempat terakhir yang diberitahukan oleh Tabib. Yaitu ditempat sang penguasa, aku sangat berharap banyak semoga aku bisa menemukan burung api itu ditempat ini. Sebab ditempat pertama dan kedua yang kira-kira ada burung api itu, aku tidak juga menemukannya. Sekarang aku berada didepan kastil sang penguasa yang dijaga oleh dua orang lelaki dari bangsa penyihir.

Namun saat aku meminta izin untuk bertemu dengan sang penguasa, jawaban dari salah satu penjaga itu tambah membuatku frustrasi dan sedih. "Maaf nona, sang penguasa sedang tidak ada dikastil! Dia sedang pergi keluar dan kami tidak tahu kapan dia akan kembali." ujar salah satu penjaga itu dengan sopan dan aku bisa merasakan apa yang dikatakannya adalah sebuah kejujuran.

"A-apa?" ucapku tergagap dan tanpa kusadari air mataku berjatuhan. Aku merasa begitu lemah dan tidak berdaya sekarang, dengan langkah gontai aku berbalik dan berjalan untuk pulang. Aku sangat bingung sekarang! Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku malu jika harus pulang dengan tangan kosong. Aku yakin Bibi Geraldine sangat berharap banyak padaku dan nasib Bibi Lucynda pun ada ditangan ku saat ini.

Tiba-tiba saat aku sudah berada jauh dari kastil sang penguasa, aku menabrak seseorang. Hampir saja aku terjungkal kebelakang, namun dengan sigap seseorang yang menabrak ku langsung menangkap tubuhku. Aku tahu, aku yang bersalah karena tidak memperhatikan jalan didepanku. Aku pun meminta maaf kepada orang yang kutabrak sambil menatap kearah orang itu. Aku sangat terkejut dan aku langsung bangkit dari posisiku sekarang untuk berdiri.

"Kau? Kenapa aku harus bertemu dengan mu lagi?" ucapku dengan setengah berteriak kepada orang yang kutabrak, yang tidak lain adalah lelaki vampire yang sangat kubenci.

"Mungkin karena kita berjodoh." jawab lelaki itu dengan enteng dan sukses membuat mulutku terbuka. "Kau kenapa menangis dan tampak sangat sedih?" lanjutnya saat melihat wajahku dan saat dia hendak mengusap air mataku. Aku segara menepis tangan pucatnya yang terasa sangat dingin.

"Jangan menyentuh ku! Memangnya apa perdulimu? Aku mau tertawa atau menangis pun itu bukan urusanmu" ucapku dengan ketus.

Dia tersenyum diwajahnya yang aku akui memang tampan, sebelum dia berucap. "Mungkin aku bisa membantumu."

"Aku tidak butuh bantuan darimu! Aku yakin makhluk berdarah dingin sepertimu tidak akan memiliki burung api phoenix. Sebab aku lagi membutuhkan air matanya untuk menyembuhkan Bibiku!" ucapku meceracau, hingga aku kelepasan mengatakan isi dihatiku. Mungkin itu terjadi karena aku sedang merasa frustrasi dan kacau sekarang.

"Aku memang tidak memiliki burung api itu, tapi aku punya air matanya."

Aku melebarkan mataku saat mendengar perkataan terakhirnya. "Benarkah?"

Dia menjawab dengan anggukan, "Aku akan memberikan air mata burung itu padamu! Asalkan kau mau memenuhi syarat dariku."

"Syarat?" ulangku dan tanpa berpikir panjang lagi aku mengatakan. "Baiklah aku akan memenuhi apapun syarat darimu yang penting Bibiku bisa disembuhkan!"

"Benarkah?" ujarnya dengan nada seperti setengah percaya.

"Aku tidak pernah ingkar janji, kau bisa pegang kata-kataku! Aku harap kau pun seperti itu."

"Tentu, kau bisa percaya padaku!"

"Kalau boleh tahu apa syaratnya?"

Lelaki vampire itu lagi-lagi tersenyum diwajah tampannya. "Aku ingin kau jadi temanku dan aku ingin kau jawab setiap pertanyaan dariku agar aku bisa lebih mengenalmu!"

Aku terdiam mendengar syarat yang diinginkannya. Apa dia sedang bercanda? Sebab syarat yang diinginkannya tidak seperti yang aku pikirkan. Aku kira dia akan minta harta benda atau kehormatan ku, seperti apa yang aku pikirkan. Tapi ternyata dia tidak seburuk yang aku kira! Kataku dalam hati.

"Kenapa kau diam saja? Apa syarat itu terlalu berat buatmu? Dan apa seseorang yang bisa membantu mu dalam kesulitan, masih tidak pantaskah untuk jadi temanmu?"

Aku menghela napas ku saat aku mendengarkan pertanyaan terakhirnya. Ternyata dia masih ingat perkataan ku dulu saat pertama bertemu dengannya. Bahwa, dia harus cukup pantas untuk bisa menjadi temanku! Lalu aku mendekatinya dan berkata sambil mengulurkan tanganku. "Evelyn Wildblood, dan kau?"

"Nama yang cantik, secantik orangnya." ujarnya sambil menyambut uluran tanganku untuk berjabatan. "Aku Hans William dan kau bisa memanggilku, Hans!" lanjutnya.

"Oke Hans, sekarang apalagi?" ujarku melepaskan tangan pucatnya yang dingin setelah menjabat tanganku.

"Aku ingin tahu. Hal apa yang kau benci dan hal apa yang kau suka?"

"Aku benci vampire dan aku paling suka memukul vampire."

"Itu kasar sekali, tapi aku hargai kejujuran mu!" ujarnya yang kemudian melanjutkan perkataannya. "Terus apa makanan kesukaan mu, Evelyn?"

"Buah apel, pai apel, puding apel dan makanan yang ada apelnya."

"Sepertinya kau suka sekali dengan buah apel ya?"

"Sangat."

"Oke, sepertinya cukup dulu!" ujarnya lalu melanjutkan perkataannya. "Aku akan mengambil air mata burung api yang kau inginkan. Tunggu ya!"

Tanpa menunggu jawaban dariku, vampire yang bernama Hans itu pergi dengan secepat kilat dan kembali juga dengan secepat kilat. Aku sempat melongo melihat kemampuan yang dia miliki tersebut.

.

To be continued...

The Half-Blood GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang