16

2.3K 404 12
                                    


















Rumah itu, rumah kecil dengan beranda didepannya sekarang penuh sesak orang-orang berpakaian hitam.

Rose yang rambutnya dikepang dua dalam balutan jubah hitam berdiri disamping peti kayu bersama seorang wanita yang tak lain adalah ibu Lisa.

Terlalu lelah atau semacamnya, air mata itu tak lagi mengalir. Lebih terlihat mengering disekitar kelopak mata mereka. Rasanya tak bisa dijelaskan, seperti separuh jiwamu pergi dan tak akan pernah kembali lagi. Seperti burung gereja yang meninggalkan sarangnya. Dan seperti debu yang mengudara di angkasa.

Mulut mereka bagai terbungkam, tak mampu berkata. Melihat gadis itu terbaring tanpa jiwa dengan gaun nirmala yang membalut tubuh manusia eloknya.

Lalisa diam tak bergerak. Tidur dengan nyenyak tanpa menghiraukan raungan ibu dan sahabatnya.
Semua tak menyangka jika gadis semanis Lisa akan pergi mendahului mereka. Dia tak punya musuh atau semacamnya namjn barang bukti terbesar, menunjukkan bahwa ada seseorang yang mencoba untuk meracuni gadis itu.

"Sampai jumpa Lice, semoga kau tenang disana"

Rose menunduk dalam, menyejajarkan tubuhnya dengan peti kayu Lisa sembari mengelus tangan sahabatnya yang terasa dingin dengan balutan sarung tangan putih berenda.

Selaras dengan gaun yang ia pakai, bahkan kalian tak akan menyangka itu adalah Lalisa yang mana telah terbujur kaku didalam sana. Dia lebih mirip putri salju yang tertidur dengan damai, menanti pangeran berkuda putih menghampiri.

Sekarang ataupun selamanya, Lisa masih tetap sama. Dengan poni dan sebuah lengkungan indah terpatri dibibir sang gadis begitu pilu menyayat hati.

"Ibu akan sangat merindukanmu nak. Jadilah gadis baik disana, ibu merasa~" Ucapannya tak berlanjut. Wanita itu kembali menangis, dan gadis disampingnya berusaha merengkuh tubuh rapuh itu kedalam dekapan.

"Ahjumma"

"Ya, aku tahu~ aku akan coba untuk merelakannya"

***











Semua menunduk, melapalkan doa dengan setulus jiwa. Meminta segala permintaan maaf, ataupun penebusan dosa atas apa yang telah dilakukan.

Tanah lapang ini adalah saksi bisu dimana gadis yang dicintai semua orang akan dikremasi. Ia terbaring diatas tumpukkan kayu yang tersusun apik menyerupai tempat tidur. Entah apa yang dipikirkan dua orang itu, tapi yang jelas mereka berusaha mencari pijakan yang tetap, saling menguatkan, dan memeluk satu sama lain.

Rose bersama ibu Lisa tengah mencoba untuk tak meneteskan air mata kembali dikala seorang biksu perlahan memutari tumpukkan kayu itu sembari membawa sebatang kayu yang telah tersulut api.

Terhitung hingga tujuh putaran, lelaki berkepala botak tersebut berhenti, menoleh kebelakang, mengisyaratkan seorang ahjushi untuk melakukan tugasnya. Menyiramkan minyak tanah dipembaringan Lisa.

Sang biksu menghela napas pelan mengingat proses terakhir adalah ritual yang paling menyedihkan. Ia menoleh kembali kebelakang, menghampiri seorang wanita yang lagi-lagi tak mampu membendung tangis yang terdengar pilu itu.

"Ini giliranmu, kau yang harus pertama kali menyulut apinya"

Ibu Lisa menggeleng, menunduk dalam saat biksu itu berbicara dengan tegar. Bahkan hati atau pikirannya pun masih belum sanggup untuk menerima kenyataan ini. Meskipun dirinya ingin menangis sebanyak apapun, gadis itu tak akan pernah bangun lagi. Kenyataan pahit mau tak mau ia telan mentah-mentah. Hidup sebatang kara tanpa siapapun. Berduka sendiri tanpa sandaran dan tersenyum sendiri saat kebahagiaan datang.

Roda kehidupan selalu berputar, tinggal menunggu saja dimana waktu yang tepat kau akan berhenti. Terkadang kau memang harus dibawah untuk merasakan bagaimana hidup sendiri tanpa pernah kau perhitungkan.

Kenyataan itu, mendorongnya keluar. Menuntun jiwa rapuhnya untuk menerima sebatang kayu dari sang biksu. Ia melangkah gontai, tak bertenaga dan lemah. Meninggalkan seorang gadis yang terisak dibelakang. Pegangannya menguat, menaruh segala atensi dari netra sayunya pada api diujung kayu.

Dan untuk yang terakhir kalinya, mata itu melukiskan sebuah paras nan ayu milik putri tidur dengan gaun indah membalut Lisa. Sebagai kenangan yang akan selalu ia kenang dalam benak dan juga hatinya. Sekali lagi, sebagai pengingat. Disentuhnya pipi sang gadis yang terasa dingin ditangan, mengelus rambutnya sayang, dan menggenggam tangan kaku itu dengan penuh kasih.

Andai waktu bisa diulang, wanita itu tak akan membiarkan Lisa jauh dari manik elangnya, mengikuti kemanapun dia pergi dan melarang apapun yang gadis itu lakukan. Tapi sayang beribu sayang, itu hanyalah lamunan belakang. Sesuatu yang melintas sesaat meminta dunia ini untuk melawan poros tanpa mengembalikan waktu yang lalu.

Tungkai itu melangkah mundur, mengarahkan kayu dalam genggaman pada pembaringan Lisa.

Ya, inilah ritual nya. Membakar jasad gadis manis itu untuk mengirimnya kepada sang pencipta. Dari alam dan kembali ke alam.

Perlahan namun pasti api itu mulai tersulut, menjilat kayu lain satu-persatu disamping kanan kirinya. Dari bawah terus merambat keatas menciptakan kobaran besar yang membuat sekelilingnya merasakan panas begitu hebat. Benda merah itu melalap segala yang menghalangi, dan perlahan menutupi semua yang terlihat dari luar.

Ibu Lisa jatuh terduduk setelah memundurkan tubuhnya, dan seorang gadis berlari menghampiri seraya terisak dengan keras. Mencoba tetap merengkuh tubuh rapuh itu walau dirinya sendiri mungkin tak sanggup melihat pemandangan pilu didepannya.

Gadis dengan rambut dikepang dua tersebut samar-samar menatap sahabatnya yang berbaring di sana. Diam, menanti api melahapnya. Satu hal yang ingin Rose katakan hanyalah.

"Lari Lisa! Selamatkan dirimu"

Meskipun kalimat itu sama sekali tak berarti. Gadis itu kini meraung, menangis memeluk erat sesosok wanita yang akan jadi satu-satunya tumpuan dalam sisa hidup. Mereka sama-sama saling membutuhkan sekarang.

Orang-orang menatap sedih wanita dan gadis itu. menghampiri dan sedikit memberi nasihat segera merelakan Lisa.

"Aku turut berduka nyonya Kim, ikhlaskan lah Lisa, dia anak yang baik. Jangan membebaninya disana."

"Terima kasih ahjumma," Rose yang berucap saat merasa tak ada balasan dari wanita disampingnya.

Disana, sekarang, api itu menutupi setiap pandangan yang melihat. Benar-benar membakar habis apa yang menjadi makanannya. Abunya berterbangan melingkupi sebagian awan yang terlihat lebih mendung dari yang terakhir kali dilihat. Hujan akan turun, seakan dunia ikut menangis menyaksikan semua ini.

Benda kecil berwarna abu itu, mengudara di angkasa, berputar-putar disana sebagaimana bunga poeny favoritnya.

"Ahjumma"

"Seharusnya aku satu langkah lebih maju dari takdirnya, mengatakan segala kebenaran, asal-usul ataupun tentang pemuda itu"

"Tidak. Biarkan dia beristirahat dengan tenang disana,"

'sampai jumpa Lalisa, aku akan selalu menyimpanmu disini, didalam hati sebagai sahabat terbaik dalam hidupku'

















THE TRUTH UNTOLD

THE TRUTH UNTOLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang