"Hueekkk... Ukhukkk... Ukhukkk... Hueekkk..."
"Tuh kan, Vel! Gue bilang juga apa! Lu itu lagi musim-musimnya morning sickness alias mual muntah. Ngapain sih lu ikutan gue sama Rania ke pasar Klewer? Gini deh jadinya!" kesal Meisya, mengurut tengkuk belakang Vella.
"Maaf, Mei. Aku cuma pengen ikutan nyari daster atau baby doll yang pas aja. Nggak maksud buat nyusahin kalian kok."
"Iya, tapi kan--"
"Udah-udah! Kamu ini apa toh, Mei? Biarin ajalah Vella mau ikutan. Dia itu bosen dalam kosan terus. Wong kamu nggak biarin dia main ke rumah kok. Ya bosan lah dia. Ibu hamil itu perlu udara segar, Mei. Apalagi dia kabur kayak gini dari cowoknya, tiba-tiba bunuh diri dalam kosan giman-- Auwww...! Sakit, Mei!" teriak Rania mengelus lengannya.
"Biarin sakit! Lu tuh kenapa ngomong bunuh diri segala?" kesal Meisya memarahi sepupunya, "Awas lo dengerin kata-kata dia ya, Vel? Gue itu bukan maksud mau kurung lo dalam kosan. Tapi kalau lo ikutan main ke rumah sebelah tempat si Rania ini? Bisa tau Bude ku kalau kamu hamil. Nah, apes deh aku kena omel Mama ku karena kabur ke Solo buat anterin lo. 'Kan gue izinnya tiga hari ikutan mahasiswa bimbingan di puncak. Ini aja aku udah bilang Bude jangan bagi info ke Mama. Bener nggak tuh, Ran?" ujar Meisya mencubit perut datar Rania.
"Aduhhh... Tangan apa capit kepiting sih?! Sakit tau!"
"Lo kasih tau ke Vella maksud gue barusan! Bener nggak apa yang gue bilang?!"
"Udah, jangan bertengkar. Aku percaya kok sama kamu, Mei. Aku juga nggak pikiran atau marah kali kamu kunci di dalam kosan selagi kamu main di rumah Rania. 'Kan cuma di depan kosan aja. Masa gitu aja aku harus merasa terkurung. Nggak lah. Aku nggak gitu, Mei," sahut Vella, masih memegangi perutnya.
"Good! Itu baru temen gue. Ya udah kalo gitu kita makan dulu aja deh, ya? Di depan sana ada penjual bakso Solo tuh. Yang di bawah pohon beringin besar, depan toilet sama lapak-lapak celana jeans itu loh, Ran. Masih ada, kan?"
"Ck! Masih ingat aja kamu, Mei," kekeh Rania seketika, "Ayo deh," ajaknya, lebih dulu berjalan di depan dan menuntun kedua wanita lainnya.
"Kamu mau makan bakso 'kan, Vel? Aku lagi pengen soalnya. Atau kamu pengen makan apa?" tanya Meisya dan Vella bingung harus menjawab jujur atau tidak.
"Dia lagi pengen makan lain kali, Mei. Atau mau minum es campur aja, Vel?" tawar Rania yang langsung di beri anggukan cepat oleh Vella.
"Ck! Lo kok ajarin dia yang macem-macem sih, Ran! Mendingan juga jajan ice cream kali dari pada es campur! Lo niat buat dia melahirkan dengan cara di operasi? Atau biar nanti Vella kelahirannya di klinik tempat lo magang?" amuk Meisya dan Rania membalikkan tubuhnya.
"Egh, Mei! Jaga mulut kamu itu. Ini di pasar tau. Wong aku baikin Vella kok malah di tuduh yang ndak-ndak sih? Dasar kamu itu pikiran jahat terus sama aku!" kesal Rania, berjalan memajukan bibir bawahnya.
"Lo nggak tau sih, Ran. Duit dari Neneknya anak si Vella yang dua ratus juta ini, harus dipakai irit-irit. Bapaknya si dedek bayi itu 'kan nanti nggak ikut kasih nafkah dia sampai besar, boro-boro kasih nafkah! Gendong aja belum tentu bisa ya, kan? Jadi kalau bisa Vella harus jaga pola makan biar anaknya nggak besar dalam perut, terus bisa lahiran normal tanpa operasi! Elo malah sarankan makan es campur! Lo mahasiswi kesehatan bukan sih? Gue yang mahasiswi ekonomi aja tau soal ibu hamil jangan banyak minum es, selain ice cream. Dasar!" jawab Meisya dan Rania langsung terdiam.
Sementara Vella lekas berlari ke arah toilet umum, yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri saat itu.
"Egh, Vel! Lo mau ke manaaa...!" teriak Meisya, yang ingin ikut berlari.
KAMU SEDANG MEMBACA
I LOVE YOUR MOUTH [END]
RomanceCinta datang tiba-tiba tanpa bisa ditebak. Kata-kata itu tampaknya kini bernaung dalam perasaan Jorge Luis de Olmo, seorang CEO muda yang sejak dulu selalu menganggap wanita adalah pelampiasan hasrat seksualnya. Kecintaan pada oral seks sejak remaj...