Pesawat komersil dari salah satu maskapai penerbangan swasta dengan rute Jakarta-Solo, kini telah mendarat dengan selamat di Bandar Udara Internasional Adi Soemarmo.
Para penumpang kelas ekonomi maupun kelas bisnis pun sudah mengantri keluar dari dua pintu pesawat tersebut, termasuk Liely Fransiska.
Akan tetapi pikiran ibu satu anak itu kacau bukan main, karena ternyata ia lupa mengkondisikan segalanya.
Ia tidak membawa pakaian ganti apa pun dan tentu saja ia lupa dengan Pak Tono yang tadi mengantarnya ke Bandara Soetta-Jakatra.
"Huft ... Aku kok bisa bodoh begini, sih?!" umpat Liely mulai merogoh tas tangannya.
Dari dalam sana ia mengambil ponsel, lalu menghidupkan benda pipih itu di antara langkah kakinya masuk ke pintu kedatangan Bandara, kemudian lekas mencari nomor kontak sang belahan jiwa.
Tuttt... Tuttt... Tuttt... Tuttt... Tuttt... Tuttt...
"Juan Alexanderrr...! Kamu di mana? Kok lama banget sih angkatnya?!" tapi sekali lagi ia harus mengumpat, akibat sambungan yang tak kunjung dijawab oleh sang Suami. "Haduhh... Gimana ini? Aku kan cuma modal alamat yang ku rekam dari omongan si bocah tadi? Mana udah tengah malam gini lagi. Yakin di sini nggak ada begal? Aku naik taksi bandara sendirian emangnya aman tuh?" batinnya sangat khawatir.
Wanita paruh baya itu lekas mematikan panggilan teleponnya, ketika suara operator telepon menyuruhnya meninggalkan pesan.
Tuttt... Tuttt....Tuttt...
Sekali lagi ia mencoba peruntungan untuk menelpon sang Suami, dan gayung pun bersambut.
"Halo, Mam? Egh... Maaf Papa ketiduran di mobil ini," sahut Juan berbohong.
"Pa, Gege belum sadar ya? Kok tidur di mobil?" kaget Liely tak percaya.
"Belum, Mam. Masih di Intensive Care Unit. Ruangannya kan nggak belum bisa dimasukin siapa-siapa dulu itu, Mam. Jadi ya, mau nggak mau Papa tidur aja di mobil. Nggak ada Mama juga, kan? Jadi biarin aja deh gini," lagi-lagi Juan terus membohongi Liely, agar sang istri merasa bersalah.
"Maafin Mama ya, Pap? Ini Mama baru aja mendarat di Solo."
"Oh, gitu! Terus, Mam?" kini Juan yang merasa penasaran.
"Iya, gitu deh. Terus apaan?" tanya Liely sedikit bingung.
"Maksud Papaaa... Mama itu udah ketemu sama Vella, belum?"
"Cepet banget ketemunya. Ya belum dong, Pap. Mama tapinya udah punya alamat Vella di Solo. Dia tinggal di kos-kosan dan ya, gitu deh," desah Liely tak kuasa menjelaskannya.
"Gitu gimana?"
"Hamil beneran, Pap. Mama jadi nggak tega. Dulu aja Papa pulang ke Madrid buat minta izin nikahin Mama terus nggak diizinkan, Mama nyusul dan seret Papa kembali ke Jakarta. Egh, ini si Vella udah tau hamil malah nggak ngelawan apapun pas Mama suruh pergi jauh dari Jakarta. Bodoh banget."
"Itu bukan bodoh, Ma. Tapi dia kasihan sama Gege, karena memang Mama kasih alasan perusahaan bakalan gulung tikar dan Gege harus nikahin Kiara biar Bapaknya mau kasih dana besar ke kita. Ya, jelaslah dia relain Gege. Orang dia cinta dan sayang sama anak mu! Mana mau Gege hidup susah. Itulah definisi mencintai dengan tulus, Ma. Harusnya Mama bangga bakalan punya anak mantu yang nggak matre kayak si Vella itu. Bukan malah sibuk carikan jodoh yang kaya raya. Nanti pas Gege benar-benar melarat, apa Mama yakin anak mu nggak cepat menduda?" nasihat Juan, begitu panjangnya tanpa jeda.
"Maafin Mama ya, Pap? Kali ini Mama janji bakal bawa Vella pulang kembali ke Jakarta. Semoga aja anak dalam kandungannya itu perempuan ya, Pap? Jadi biar Mama yang merawatnya."
"Mama! Kasihan kali sama Gege dan Vella kalau anaknya Mama yang mau rawat," sahut Juan dan Liely pun langsung terkekeh.
"Suruh aja bikin lagi kali, Pap. Asal aja melahirkannya dengan cara normal? Maka setelah selesai masa nifas empat puluh hari, Vella bisa hamil lagi. Nah kalau lahiran lagi, itu urusan mereka deh. Kan Mama udah kasih restu. Masa dia nggak mikir kebaikan Mama?" dan Juan menghela nafas beratnya di ujung telepon, setelah mendengar penjelasan istrinya.
"Mama masih aja egois walaupun sudah mulai berubah. Jadi memang ide ku sama Pak Dokter kemarin itu harus benar-benar dilakukan, biar Mama jera sedikit!" geram Juan dalam batinnya.
"Pap? Papaaa...? Mama tutup yah teleponnya? Mama nggak pergi sama Pak Tono. Cuma sendirian aja ini, jadi--"
"Mama terlalu keburu-buru dan nggak mau dengerin kata-kata Papa sih. Ya udah, sana deh cari hotel dulu. Hati-hati di jalan ya, Ma? Pake aja limited card-nya buat kemudahan Mama, asal jangan dalam jumlah besar sekali seperti kemarin dua ratus juta itu ya? Keterlaluan sekali namanya!"
"Yeee... Dasar bule pelit! Udah ah, Bye my beloved Papap Juan. Muachhh..." jawab Liely menutup sambungan telepon.
Ia pun kembali meletakkan ponsel itu ke dalam tas tangan dengan maksud melangkah keluar pintu Bandara, dan mencari hotel untuk beristirahat.
Akan tetapi baru dua kali kakinya melangkah, benda pipih tadi kembali berdering keras dan Liely mwngambilnya.
"Kenapa lagi nih si Papap?" batinnya, melihat layar ke ponsel, "Egh, bukan. Nomor siapa nih?" lanjut Liely membatin.
Ia hendak membiarkan panggilan itu terus terjadi, namun bunyi handphone yang berisik membuatnya mengalah.
"Halo, siapa nih?" jawab Liely, setelah menggeser tombol hijau di layar.
"Malam, Tante. Ini Akbar, Tan. Yang tadi Tante kasih duit, karena udah kasih alamatnya Bude Ratmi di Solo itu tuh. Masih ingat?" sahut sang penelpon yang ternyata adalah Akbar, kakak kandung Meisya.
"Oh, iya. Ada apa ya? Apa alamatnya salah?"
"Oh, bukan. Maksud saya menelpon bukan itu, Tan. Alamatnya udah bener kok. Cuma kata Mama, saya di suruh memastikan aja gitu. Kapan Tante mau ke Solo-nya? Kali aja nanti saya bisa suruh Bude saya untuk jemput di Bandara atau--"
"Nggak usah, Bar. Tante udah sampai kok di Bandara Adi Soemarmo-Solo. Ini lagi mau nyari taksi."
"Wah, pas banget tuh. Bagaimana kalau Akbar arahin aja di telepon ini, sampai Tante tiba dengan selamat dan benar ke rumah Bude Ratmi? Kasihan kan Tante udah ngasih uang ke Akbar banyak banget, eh malah sibuk nyari sendiri alamatnya. Kata Mama itu mah nggak amanah. Gimana, Tan?" jelas Akbar mencoba bersandiwara lagi.
Bodohnya Liely pun segera membenarkan pendapat Akbar dan sambungan telepon itu pun tidak dimatikan.
Liely segera keluar hingga ke koridor Bandara dan mencari taksi. Kemudian saat ia sudah naik ke dalamnya, mulailah Liely bertanya lagi pada Akbar ke mana alamat yang harus ia tuju.
"Halo, Bar. Tante udah dalam taksi nih. Jadi harus ke alamat mana? Soalnya kamu lagi telepon, kan? Jadi Tante nggak bisa hidupkan voice recorder yang isinya rekaman suara kamu beberapa jam lalu pas masih di Jakarta itu deh," ujar Liely bertanya.
Akbar pun memberi jawaban, "Alamatnya di Kecamatan Banjarsari, Tan. Nanti kalau sudah masuk Banjarsari, baru deh Akbar kasih tau lagi," lalu meluncurlah taksi tersebut ke sana.
Lantas setelah kurang lebih dua puluh menit mobil melaju ke Kecamatan Banjarsari, Pak sopir pun meminta Liely untuk bertanya lagi pada Akbar di ujung telepon.
"Halo, Bar? Ini Tante sama taksinya udah sampai di Kecamatan Banjarsari nih. Di Kelurahan apa kata Pak Sopirnya, Bar?" suara Liely menyontohkan perkataan sang sopir taksi.
"Di Kelurahan-- Tuttt... Aduhhh...! Pulsa handphone Akbar habis, Tan! Ya ampun... Giman-- Klik," sahut Akbar sengaja menekan salah satu tombol di keyboard handphone-nya dan memutuskan panggilan telepon secara sepihak.
Tanpa pikir panjang, Liely pun memeriksa layar ponselnya dan ia berinisiatif untuk segera menelpon Akbar kembali.
"Jadi gimana ini, Bu? Saya antarnya ke mana?" celetuk sopir taksi lebih dulu berbicara.
"Sabar, Pak. Duh, ini masih saya telepon ulang karena pulsanya anak tadi habis," sahut Liely sekenanya.
Alhasil kedua orang dalam taksi itu pun harus sabar menunggu panggilan terjawab oleh Akbar, dan berhenti di pinggiran trotoar jalan.
"Halo, Bar. Gimana? Kelurahan apa nih jadinya?" tanya Liely tanpa basa basi, ketika suara Akbar menyapa.
"Maaf, Tan. Pulsa Akbar habis tadi tiba-tiba. Maaf ya harus terputus tadi," sahut Akbar malah sibuk bersandiwara tanpa mau secepatnya menjawab apa yang Liely tanyakan.
"Ya udah, nanti saya isikan pulsa kamu. Jadi sekarang kamu tolong jawab dulu nih. Kelurahan apa tempat Bude mu tinggal itu," jengah Liely namun ia berusaha untuk sabar demi keinginannya.
"Kelurahan Nusukan, Tan. Nanti taksinya terus aja sampai ketemu Ruko ada tulisan Laundry Sekar Arimbi, nah itu masuk aja lewat gang kecil yang ada di samping Rukonya," jelas Akbar dan sopir taksi pun segera melajukan kendaraannya.
Hampir sepuluh menit taksi berjalan mencari Ruko yang di maksud dan saat ketemu, Liely kembali berbicara dengan Akbar di telepon
"Halo, Bar. Udah ketemu nih Rukonya," senang Liely menunjuk gang kecil yang hanya bisa dilewati oleh satu mobil saja, "Terus gimana lagi?" lanjutnya bertanya.
Akbar pun kembali mengarahkan sang Nyonya dan sampailah mereka pada sebuah kios kecil yang kebetulan berada tepat di depan rumah Bude Ratmi tadi.
"Ya udah, Bar. Makasih banyak ya? Ini Tante udah mau turun nih. Kamu yakin tapi kan, kalau rumah Bude mu itu nomor tujuh terus di depannya ada banyak pot-pot bonsai ini?"
"Iya, dong. Itu rumahnya, Tan. Ya sudah coba aja tanyain langsung sama Bude Ratmi soal pacarnya anak Tante itu deh. Cuma Tante jangan lupa sama janjinya yang tadi, ya?" modus pun terungkap kepermukaan.
"Janji? Janji apaan, Bar?" bingung Liely, sama sekali tidak ingat.
"Janji mau isikan Akbar pulsa dong, Tan. Kan tadi Tante yang bilang sendiri," kekeh Akbar dan Liely membuang nafas kasarnya.
"Oh, itu. Saya kira apa. Kamu tenang aja. Nanti saya isikan tiga ratus ribu. Gimana, cukup?"
"Wah, baik banget. Cukup, Tan. Cukup sekaliii... Makasih sebelumnya ya, Tante cantik. Akbar tunggu di nomor yang ini, ya?" sahut Akbar, dan Liely segera mematikan panggilan itu tanpa mau repot-repot menjawabnya lagi.
"Pak, tunggu dulu di sini ya? Saya masih ada urusan di dalam. Biarin aja Argo taksinya jalan. Nanti saya bayar yang penting urusan saya lancar. Oke?" Liely malah memilih berkata pada sang sopir taksi.
"Kalo gitu apa mau saya temani aja ke dalam, Bu?"
"Nggak usah, Pak. Ini urusan keluarga soalnya. Nggak enak saya. Tunggu aja di sini, saya nggak bakal kabur kok," jawab Liely lalu berbalik dan menuju ke rumah bernomor tujuh itu.
Tok... Tok... Tok...
Pintu pun mulai di ketuk olehnya dan tak sampai lima menit, keluarkan si empunya rumah dengan wajah sedikit keheranan.
"Maaf, Bu. Anda mau cari siapa ya?" tanya wanita berkerudung, yang Liely yakini bahwa itulah Tante dua anak bernama Akbar dan Meisya tadi.
"Maaf, saya mau jemput calon menantu saya. Dua hari lalu dia datang dari Jakarta sama anak yang bernama Meisya ke sini," Liely mulai membuka penbicaraan.
"Hah? Calon menantu? Siapa namanya, Bu?" Bude Ratmi masih ling lung dengan perkataan Liely.
"Namanya Felicia Vella, Bu. Saya nggak punya fotonya sih emang. Cuma calon menantu saya itu sedang hamil dan di bawa ke sini sama keponakan Ibu yang namanya Meisya itu lho. Masa Ibu nggak tau?" jelas Liely sekali lagi.
"Tunggu saya tanya anak saya dulu ya, Bu? Raniaaa... Rannn... Keluar sebentar, Nak. Ada yang cari ini lho. Pentinggg..." dan tak lama Rania pun muncul dari balik skat tembok.
"Apa toh, Bu? Teriak-teriak aja. Ini subuh tau, Bu!" kesal Rania, namun dengan suara pelannya.
"Ck! Makanya Ibu teriakin kamu tadi. Lha kan sebentar lagi adzan juga toh? Jadi bisa sekalian bangun kamu. Tapi ini loh, ada tamu nyari calon menantunya yang hilang. Katanya si Meisya yang bawa dari Jakatra ke sini kemarin. Apa cewek yang tinggal di kosan depan paling ujung itu?" tanya Ratmi mendelikkan mata dan melipat kedua tangannya di dada.
Deg...
Rania yang masih mengantuk pun sukses membulatkan kedua bola matanya. Ia menatap sosok Liely Fransiska dari atas kepala sampai ke ujung kaki, dan dengan susah payah ia menelan salivanya di sana.
"Kok diem, Ran! Ayo ngaku! Kenapa kamu bersekongkol sama Meisya untuk bawa lari calon menantu orang dari Jakarta samapi ke sini, hah? Apa kamu nggak takut namamu ikut di seret si Meisya ndamlek itu?" kesal Ratmi, berprasangka buruk.
"Egh, maaf. Bukan itu maksud saya. Jadi gini, kemarin kan saya sempat nggak setuju kalau anak saya menjalin hubungan sama cewek pilihannya ini. Soalnya anak saya ini mau saya jodohkan. Jadi saya menyuruh pacarnya ini pergi aja dari Jakarta, tapi saya nggak tau kalau ternyata dia sudah hamil. Maka itu--"
"Oalahhh... Jadi Ibu sendiri toh biang keladinya? Tak pikir anak sama keponakan ku ini yang jadi kompor biar calon menantu Ibu itu lari aja dari Jakarta," sinis Ratmi memajukan bibirnya, "Ya sudah! Kamu antarkan Ibu ini minta maaf sama cewek yang tinggal di kosan sana itu deh, Ran. Ibu mau mandi dulu. Tiba-tiba kepanasan badan Ibu semua ini!" ketus Ratmi berbalik dan tak berpamitan dengan Liely Fransiska sama sekali.
Rania yang bingung dengan sikap sang ibu pun lekas meminta maaf pada Liely, namun ia masih sedikit ragu untuk mengantarkan wanita itu ke tempat kos Vella.
"Maaf, sebelumnya. Apa Ibu yakin ke sini karena ingin membawa Vella pulang untuk di jadikan menantu? Atau jangan-jangan Ibu berniat ingin membunuh bayi dalam perutnya?" tanya Rania, melupakan apakah pertanyaannya pantas atau tidak.
Itu karena Meisya sudah menitipkan Vella padanya dan karena ia tahu bagaimana kesedihan yang menimpa sahabat barunya itu beberapa hari ini, maka keraguan tentu saja datang melanda sang calon perawat.
"Tolong, Nak. Anak saya sedang kritis di Jakarta karena kebodohan saya. Jadi tolong bawa saya bertemu dengan Vella. Saya tidak bermaksud jahat lagi kali ini. Saya bisa telepon Suami saya di Jakarta kalau memang kamu nggak percaya, tapi tolong bantu saya dan saya siap memberikan apapun yang kamu mau," tangis Liely tak dapat ia sembunyikan lagi di antara dua kelopak matanya yang lelah, akibat belum tidur juga.
"Saya nggak butuh apa-apa, Bu. Saya hanya ingin menjaga amanat dari sepupu saya yang namanya Meisya itu. Lagi pula saya ini calon perawat, Bu. Jelaslah saya khawatir Ibu mau macam-macamin Vella. Kan dia sedang mengandung cucu Ibu. Siapa yang tau kalau ternyata Ibu niatnya jelek! Saya ikutan berdosa juga karena menuntun Ibu melakukan dosa dengan mempertemukan Vella lagi, kan?" opini Rania, dan semakin deras pula hujan air mata dari dua kelopak mata Liely.
"Sa-saya nggak sejahat itu, Nak," bibir Liely bergetar dengan hatinya yang terasa seperti ditusuk saat Rania menuduhnya akan membunuh bayi dalam kandungan Vella.
Alhasil karena rasa bersalah telah membuat Liely Fransiska menangis hingga sesengukan seperti itu, maka kini Rania pun menutup pintu rumahnya dan bergegas mengambil sendal jepit yang berada tak jauh dari sana.
"Ya, sudah. Mari saya antar kalau gitu, Bu. Maaf kalau Ibu tersinggung dengan omongan saya. Tapi itu karena saya kasihan sama Vella, Bu. Dia sampai bikin jajanan pasar, terus di titip di kios depan kosannya itu, Bu. Malah kami renacana mau sewa satu kios di pasar Kliwon, biar dia bisa jualan sepatu atau baju-baju. Soalnya kan kalau jualan makanan nggak tahan lama. Ibu nggak kasihan kalau sampai dia kerja keras tanpa Suami dan gedein anaknya sendirian?"
"Maaf, Nak. Saya khilaf kemarin-kemarin," hanya itu yang bisa Liely jawab, sementara meraka berjalan menuju ke tempat kos Vella.
"Semoga aja anak Ibu cepat sembuh ya? Maaf saya dari tadi sudah sok nasehatin orang tua, Bu. Saya cuma kasihan aja," lirih Rania, hampir tak terdengar, "Ini kosannya Vella, Bu. Jadi mau dibangunkan sekarang atau? Soalnya udah Adzan itu, Bu. Saya takut dimarahin Ibu juga kalau nggak ikut sholat subuh."
"Kalau gitu biar saya aja yang bangunkan, Nak. Makasih kamu udah mau bantuin. Saya hutang budi banyak sama kamu dan Meisya yang sudah mau membantu Vella, Nak," sahut Liely dan kali ini ter dengar sangat tulus di telinga Rania.
Maka tak lama kemudian si calon perawat itu pun kembali ke rumahnya, dan meninggalkan Liely sendirian di depan pintu kosan Vella."Ya, Tuhannn... Apa yang harus aku katakan nanti?" batin Liely komat kamit, yang tak segera mengetuk pintu kamar.
Keraguan timbul dalam hatinya saat tangan kanannya sudah ingin mengetuk pintu tersebut dan di saat yang bersamaan, ternyata si pemilik kosan sudah lebih dulu membuka huniannya dan Suara berisik pun terdengar.
"ASTAGA!"
PRANKKK...
Itu jelas disebabkan oleh rasa terkejut Vella, sampai membuat tungkai lengannya lunglai dan seluruh jajanan pasar yang siap dijual pun tercecer bersama nampah bambu ke atas lantai semen di depan pintu kos.
"Vella! Maafkan sayaaa...!" tangis Liely berusaha mencapai tubuh wanita hamil itu.
Namun Vella lebih memilih mundur dan secepat kilat menutup pintu kosan, namun aksinya terhalang oleh tumpukan jajanan pasar dan tangan ibu kandung Jorge Luis de Olmo yang ikut menghalangi.
"Gege kecelakaan, Vella! Dia butuh kamu. Dia butuh anak dalam kandungan mu dan saya juga butuh permohonan maaf dari mu, Nak. Tolong percaya dengan omongan saya, Vella. Buka pintunya duluuu..." pekik Liely, masih melakukan aksi saling mendorong pintu di sana, "Saya tidak bohong, Vella! Gege di operasi karena tabrakan di pintu tol waktu mau ke rumah Meisya buat cariin kamu, dan sekarang entah dia sudah sadar atau belum dari operasinya. Ayo kita pulang, Sayang. Dia butuh kamuuu... dan kami semua butuh kalian berduaa... Sungguhhh..."
Alhasil dorongan dari dalam pun terasa melemah tiba-tiba, dan dengan begitu Liely pun berhasil menjadi pemenangnya.
"Vellaaa...!" histeris Liely membuka lebar kedua tangan dan segera memberi satu pelukan dengan derai air matanya di sana.
Namun Vella tak membalas apapun perkataan dan perlakuan Liely, selain ikut menangis dan kaku seperti mayat dalam pelukan calon ibu mertuanya.
"Vel! Vellaaa...?! Velll..."
Ternyata itu karena kesadaran Felicia Vella hilang dari raganya dan teriakan Liely pun menggema keras hingga membuat sopir taksi yang menunggu, lebih dulu muncul di ikuti bebrapa penghuni kos lain dari arah belakang.
"Pak! Calon menantu saya pingsan, Pak. Tolong bawa ke dalam taksi terus kita ke rumah sakit deh, Pak. Takut kenapa-napa, soalnya dia lagi hamil ini!"
"Ya, udah! Dek-dek, tolong bantuin Bapak angkat temennya ini dulu!" panik sang sopir, meminta bantuan.
Maka tak lama kemudian melajulah taksi tersebut menuju ke rumah sakit terdekat dan pikiran Liely benar-benar kacau saat itu.
"Tuhan tolonggg... Jangan sampai terjadi apa-apa dengan bayi dalam perutnya! Gege bisa marah besar kalau sampai kenapa-napa iniii...! Aku juga belum siap kehilangan calon cucu pertama ku, Tuhannn... Tolonggg..."🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒
To be continue...
Felicia Vella
Jorge Luis de Olmo
KAMU SEDANG MEMBACA
I LOVE YOUR MOUTH [END]
RomanceCinta datang tiba-tiba tanpa bisa ditebak. Kata-kata itu tampaknya kini bernaung dalam perasaan Jorge Luis de Olmo, seorang CEO muda yang sejak dulu selalu menganggap wanita adalah pelampiasan hasrat seksualnya. Kecintaan pada oral seks sejak remaj...