"Lu bisa cepetan dikit nggak sih nyetirnya? Vella itu udah lahiran dan kita masih aja di jalan kayak gini! Suami macam apa gue di mata dia nanti!" kesal Jorge terus mengumpat ketika Jimmy masih berada di dalam pintu tol dalam kota.
"Gue kudu hati-hati kali, Bos. Tempo hari pas Bos celaka? Gue langsung insaf sama yang namanya ngebut-ngebutan di jalan. Mau pake mobil punya bos itu kek, pakai motor matic punya Adek gue kek, apalagi pake motor atau mobil punya orang kayak begini? Beughhh... Gue nggak bakalan punya banyak duit buat ganti mobil orang yang rusak. Bener nggak, Pak?" sahut Jimmy bertanya pada sang pemilik mobil Grap yang duduk tepat di sebelahnya.
"Ck! Dasar oncom! Kalau gitu ngapain lo di situ? Biarin aja tadi si Bapaknya yang nyetir. Sialan lo emang!" gerutu Jorge tampak sangat frustasi di kursi belakang.
Ia tak tahu harus berbuat apa, mana kala baterai ponselnya mati total dan tak dapat digunakan untuk mengetahui keadaan Vella.
"Sabar ya, Bos. Ini udah sampai di ujung tol kok. Gue itu cuma pengen Bos selamat aja kali. Makanya tadi gue milih nyetir biar tenang," ujar Jimmy melirik Jorge sekilas dari kaca spion, "Atau biar nggak suntuk kita dengerin musik aja ya, Bos. Nanti biar si Bapak ini aja yang--"
"Lo bisa diem nggak sih?! Berisik tau nggak!" kesal Jorge memijat pelipisnya.
Jimmy dan si Bapak pemilik taksi pun saling berpandangan dan keduanya sama-sama menyembunyikan rasa lucunya di sana.
Tak berapa lama kemudian mobil pun sampai ke tempat tujuan. Lantas tanpa mau menunggu lagi, Jorge pun turun dari kursi penumpang.
"Lho! Bosss...! Mau kemana? Ini taksinya belum di bayarrr...!" teriak Jimmy melihat Jorge yang seenaknya keluar, bahkan tak mau menutup pintu mobil.
"Ya, udah Bapak yang bayar aja kalo begitu. Nanti tinggal Bapak minta ongkos gantinya sama Bos-nya. Gampang, kan?" celetuk pemilik taksi dan Jimmy menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kalau gitu kita parkir dulu aja ya, Pak. Dompet gue kosong banget. Nanti biar kita singgah ke atm aja baru saya lunasin ya, Pak?" sahut Jimmy mulai mencari tempat parkir.
Sementara itu Jorge sudah berada di meja resepsionis Rumah Sakit dan sibuk menunggu beberapa pegawai rumah sakit tersebut mencari data tentang Felicia Vella.
"Pasien baru saja di pindahkan ke ruangan VVIP 7A di lantai empat, setelah selesai di operasi, Pak. Dokter Yudha kan yang menangani persalinannya, Pak?" tanya sang pegawai dan Jorge pun menganggukkan kepalanya, "Baik, Pak. Ada yang bisa kami bantu lagi?" lanjut si pegawai yang melihat Jorge tak kunjung berlalu dari hadapannya.
"Biaya administrasinya berapa? Sudah dibayar belum?" dan itu alasan kenapa Jorge masih berada di sana.
"Kebetulan sudah semua sampai hari ini, Pak. Sisa biaya administrasi sampai hari terakhir pasien dirawat belum bisa kami ketahui, sebab pasi--"
"Ya, udah! Itu gampang. Saya permisi dulu kalau begitu," sanggah Jorge, melesat begitu saja bak anak panah terlepas dari busurnya.
Ia berlari menuju ke pintu lift, amun sampai sepuluh detik, pintu otomatis tersebut tak kunjung terbuka.
"Sial!" umpat Jorge memandang ke sekelilingnya.
Matanya pun tak sengaja melihat tulisan tangga darurat dan tanpa membuang waktu lagi, ia berlari dengan sisa semangatnya menuju ke lantai empat.
"Bosss...! Bosss... Woiii...! Pintu udah terbuka nihhh...! Bosss...!"
Sang CEO itu bahkan tak mau memusingkan teriakkan Jimmy, karena memang telinganya sudah sangat jauh untuk bisa mendengarkan kata-kata lain selain dari pada kata 'Bos'.🍒🍒🍒
"Wahhh... Cucu Oma cantik sekaliii... Sini, Sus. Biar saya aja yang gendong ke inkubatornya," antusias Liely dalam ruangan bayi, tempat anak berjenis kelamin perempuan itu berada.
Ya, Felicia Vella memang melahirkan seorang bayi perempuan dengan berat hanya dua kilogram. Oleh sebab itu, sang bayi harus dimasukkan ke dalam inkubator.
"Sebentar saja ya, Bu? Soalnya kan tadi Ibu janjinya cuma sepuluh menit. Jadi sisanya hanya dua menit sa--"
"Ini, Sus. Isinya memang cuma lima ratus ribu karena saya nggak sempat ke ATM tadi. Nanti saya tambahin lagi, asal Suster jangan suruh saya keluar dulu dari ruangan ini. Bisa 'kan, Sus?" potong Liely menyodorkan angpao merah berisi lima lembar uang seratus ribuan yang awalnya hendak ia berikan pada Mbak Surti, "Saya janji nggak bakalan macam-macam dan cucu saya juga tetap tidur di dalam inkubatornya gitu. Mau ya, Sus? Lumayan ini buat beli quota handphone sebulan, kan?" lanjut Liely dengan jurus merayunya.
"Bukan gitu, Bu. Cuma saya takut aja kalau ternyata Ibu ini adalah salah satu dari anggota sindikat penculikan bayi. Bisa saja kan Ibu sejak tadi mengaku-ngaku Neneknya si Bayi, padahal memang Ibu ini bermaksud jahat seperti itu?" sahut sang perawat memeluk erat bayi perempuan tersebut dalam gendongannya.
Mendengar hal tersebut, wajah putih Liely pun berubah merah seketika dan rasa-rasanya asap putih sudah mengepul di kepalanya akibat kata-kata sang perawat barusan.
"Egh, kamu lihat nih KTP saya! Kamu lihat juga ini semua isi dompet saya kalau nggak percaya! Atau kalau masih ragu juga?! Kamu buka Google dan cara di papan pencariannya kata De Olmo Corporation family! Beughhh... Dasar aneh! Saya ini salah satu sosialita di Indonesia tau! Enak aja kamu bilang saya adalah salah satu sindikat dari penculikan bayi. Kamu mau saya masukin ke penjara atas dasar pencemaran nama baik?!" amuk Liely begitu berapi-api.
"Saya nggak takut ya, salah satu Ibu sosialitanya Indonesia! Kan saya tadi sudah kasih kesempatan untuk Ibu sepuluh menit. Jadi ya udah dong! Masa maksa-maksa saya untuk kasih waktu lebih? Main sogok menyogok pula! Ibu dong yang salah. Tuh, baca! Batas berkunjung orang tua bayi hanya sepuluh menit saja, kan? Terus itu!" sahut sang perawat sibuk menunjuk ke sana sini dengan wajahnya, "Ada kamera CCTV dalam ruangan ini! Jadi saya tidak takut jika Anda mau melaporkan saya ke polisi mana pun, Ibu sosialita yang terhormat!" lanjut perawat itu lagi.
Skakmat!
Suasana pun semakin memanas di dalam ruangan bayi tersebut, hingga membuat beberapa bayi menangis akibat kegaduhan yang mereka ciptakan.
Secepat kilat perawat itu meletakkan cucu Liely Fransiska ke dalam inkubator yang sudah terlebih dahulu di beri nama, lalu mulai menenangkan bayi lain yang sedang menangis tadi.
"Anda masih di sini juga, Ibu sosialita? Apa harus saya panggilkan satpam dulu baru Anda mau keluar?!" kesal sang perawat dan Liely pun semakin kesal dibuatnya.
Maka tanpa menunggu lama, sang Oma baru itu pun berbalik dan meninggalkan ruangan perawatan bayi. Tentu saja dengan tak meninggalkan wajah merah padamnya.
"Dasar perawat bego! Di kasih duit nggak mau. Ya, udah. Mendingan aku pakai buat cuci mobil aja nanti!" umpat Liely menyimpan angpao merah di tangannya tadi.
Sementara itu dari arah tangga darurat, Jorge tengah melangkah gontai akibat napasnya yang tersengal-sengal.
"Sialan! Capek juga naik tangga segitu banyaknya! Huhhh..." batin Jorge menggerutu, "coba tadi gue tunggu sampai lift-nya terbuka aja bag--"
"Capek ya, Bos? Kan tadi gue udah teriak-teriak panggil Bos kalau pintu lift sudah terbuka. Sampai gue dimarahin Pak Satpam di bawah sana lagi. Ckckckkk... Bosss... Bosss...! Makanya fokus jangan mikir aneh-aneh aja. Tuh, gue baru aja dari kamar Vella. Ayo deh gue anterin biar jangan salah masuk ke kamar mayat," celoteh Jimmy panjang lebar dari A sampai Z.
"Kampret lo, Com! Cepetan gendong gue aja deh! Nggak kuat jalan lagi nih kaki. Capek!" sahut Jorge merengek persis seperti anak kecil.
"Enak aja! Emang gue Almarhum Mbah Surip jadi tak gendong ke mana-mana. Udah, ach buruan. Bos udah di tunggu bininya tuh. Sakit katanya bekas jahitannya. Masa nggak kas-- Lha! Kabur aja dia," kekeh Jimmy melihat tingkah sang Majikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
I LOVE YOUR MOUTH [END]
RomanceCinta datang tiba-tiba tanpa bisa ditebak. Kata-kata itu tampaknya kini bernaung dalam perasaan Jorge Luis de Olmo, seorang CEO muda yang sejak dulu selalu menganggap wanita adalah pelampiasan hasrat seksualnya. Kecintaan pada oral seks sejak remaj...