Part 34.

11.4K 684 70
                                    

"Lo dateng ke sini dulu, Jim. Gue butuh lo banget!"

"Tapi sekarang Pak Badrun lagi ada meeting sama beberapa perwakilan karyawan dari pabrik yang pada mogok kerja ini, Bos. Masa gue yang arahin teman-teman preman di sini, malah gue yang cabut ke situ? Dikit lagi deh, Bos. Bisa, kan?" tawar Jimmy di ujung telepon.

"Ya udah deh. Gue juga harusnya di Jakarta tadi ada meeting divisi. Cuma gue nggak bisa diam aja sementara Vella belum ketemu, Jim. Jadi nggak tau deh nanti harus bilang apa pas Papa ngamuk," lirih Jorge menjawab ocehan Jimmy.

"Sabar ya, Bos. Kalo kata Nenek gue mah ini namanya cobaan alias ujian cinta, Bos. Jadi Bos harus kuat dan tabah untuk menjalani kehidupan yang keras di dunia fan--"

Klik

"Banyak bacot! Gue udah sabar dan kali ini sabar gue udah game over kali! Sialan banget nih bocah satu. Gue telan hidup-hidup baru tau rasa dia!" kesal Jorge setelah menutup panggilan teleponnya dengan Jimmy secara sepihak.

Ia lantas masuk kembali ke dalam rumah baru milik sang Oma di Pakuwon indah Surabaya itu, dan dari dalam Felix sudah siap menunggunya.

"Aku ndak bisa bantu kamu kalo cuma pake selembar foto kayak gini, Ko. Surabaya iki luas e. Yo harus ada alamat jelas baru bisa kita kerahkan preman sini opo sewa intel polisi buat nyari pacarnya Koko yang kabur ini. Piye?" Felix langsung berkata demikian saat Jorge baru saja mendaratkan bokongnya di atas sofa ruang tamu.

"Gue beneran nggak tau apapun soal di mana alamat calon istri gue tinggal selama di Surabaya ini, Lix. Lo pake cara apa kek gitu, biar bisa tau di mana alamatnya," jawab Jorge terlihat sangat frustasi.

"Jadi ini cewek bakal bojo-nya Koko, toh?"

"Ya iyalah! Lo pikir gue bela-belain sampai kabur dari meeting penting di kantornya si Papa karena apa? Ya karena gue cinta mati sama dia, Lix! Dan Tante gila mu itu yang udah bikin semuanya runyam kayak begini!" kesal Jorge menyugar rambutnya ke atas.

Satu kekehan terdengar dari pita suara Felix, dan Jorge sangat tidak suka di sepelekan seperti itu.

"Kenapa lo ketawa?"

"Ndak, Ko. Tantenya aku itu yo Ibu mu toh, Ko. Wong Ji Liely ndak mau kok di paksa, Ko. Ndak baik nikah tanpa restu dari orang tua, apalagi--"

"Alah! Lo juga dulu sama si Puji nggak di kasih restu, kan? Untung aja bibit lo cepet tokcer terus hamil. Kalo nggak emangnya sekarang kamu bisa ketawain aku kayak begini, hah? Kampret lo!" dan Felix semakin menertawakan sang kakak sepupunya itu.

"Memangnya dia itu ndak ada identitas apapun ya pas kenalan sama kamu, Ge? Popo (nenek = bahasa cina) heran e! Kalo dia ndak ada KTP atau SIM kayak gitu-gitu, dari mana kamu tau dia belum menikah?" sahut sang Oma yang datang dari balik pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarga di rumah itu.

"Ck! Gege yang ngambil perawannya kali, Po. Jadi itu namanya apa kalo bukan belum menikah?"

"Wah! Edan kamu, Ge! Kasihan anak e orang kamu gituin!" sahut Oma sedikit terkejut, sementara Felix terpingkal efek rasa lucu yang ia lihat dari raut wajah kesal kakak sepupunya.

"Dia itu kabur ke Jakarta karena mau dinikahin sama Akiu-nya (Paman = bahasa cina). Tapi dia belum ada KTP Surabaya katanya, Po. Jadi ke Jakarta itu dia cuma kabur bawa ijazah sama--"

"Nah, itu! Itu, Ko!" potong Felix, kembali menegakkan posisi duduknya.

"Itu apa?"

"Lha itu di ijazah dia toh! 'Kan dalam ijazah pasti di sebutkan alamatnya di mana, toh? Ya kalo semisalkan di situ nggak tertera alamat lengkapnya, ya kita cari ajalah data-datanya di sekolah cewek mu itu. Bener, toh? Hayo, mana ijazahnya?" jelas Felix dan Jorge segera saja menepuk kening datarnya dengan telapak tangan.

I LOVE YOUR MOUTH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang