16 - Great Rival

43.3K 5.5K 5.7K
                                    

16. GREAT RIVAL

Musuhmu bisa jadi orang paling peduli terhadapmu.

— ♡ —

Cowok itu memejamkan mata, menikmati aliran suara yang masuk ke telinga melalui headphone yang ia kenakan. Sambil berpikir, Saga mencoba menyimak percakapan orang-orang yang ada di rekaman suara tersebut.

Rekaman ini merupakan kejadian penembakkan di rumah Davila. Ini sudah Saga dengarkan beberapa kali, pernah juga ia dengar bersama Sakura. Sekarang, ia mengulangnya lagi karena rasa penasaran itu tak kunjung berkurang dalam dirinya.

"Nembak ... bokap Davila ... bokap Sakura ... Papa," gumam Saga sambil tetap menutup mata dan dengan dahi mengerut.

"Yang nembak siapa sih sebenernya?" lanjut Saga, kali ini ia membuka mata dan menatap lurus layar laptop.

"Kenapa juga harus dirahasiain?" kata Saga lagi.

"Mungkin nggak, pembunuhnya sekarang udah dipenjara?" tanya Saga, dia seperti sedang berbicara pada laptop. "Gara-gara itu, masalah ini seakan udah kelar padahal gue rasa masih harus digali lagi."

"Kok gue makin ngerasa ada yang aneh, ya?" cetus Saga lagi dan lagi. "Gue yakin seratus persen kematian mereka direncanain."

"Sakura curiga sama Papa," ucap Saga, mengingat perkataan Sakura beberapa hari lalu. "Masa iya bokap gue?"

"Apalagi pembunuhnya bilang dia bakal ngincer dua orang ... Om Musa sama keponakan Om Dave," lanjut Saga.

Saga terdiam, kerutan di dahinya seketika hilang dan mulutnya terbuka sedikit. Dia mengecilkan volume rekaman itu bersamaan dengan otaknya yang seperti menampilkan sekelebat jawaban atas kebingungan yang menghampirinya. Dia semakin berpikir keras dan mempertajam ingatannya, namun tiba-tiba ...

Cklek.

Seketika mata Saga beralih ke pintu dan dia spontan melepas headphone dari kepala, jadi menggantung di leher. Dia juga secepat kilat menekan aplikasi manapun di laptop agar tidak ketahuan apa yang tengah ia lakukan.

Alger dengan pakaian formal dan aura 'seram' yang seakan melekat di tubuhnya itu datang menghampiri Saga. Saga tersenyum kikuk dan berusaha terlihat biasa saja dengan cara menyapa sang ayah.

"Pa," sapa Saga.

"Kamu lagi apa?" tanya Alger, dia semakin mendekati putranya tersebut, sambil melirik layar laptop Saga yang memamerkan lembar kerja Microsoft Word tapi kosong.

"Tugas kuliah? Tumben nggak di kamar," kata Alger.

"Ah, itu, Saga lagi pengen di sini aja." Saga menjawab setenang mungkin. Dia lalu beralih memandang ayahnya dari atas hingga bawah dan berkata, "Mau pergi, Pa?"

Alger mengangguk. "Iya. Papa sama Mama masih banyak yang harus diurus di luar. Kamu ke Figo nanti?"

"Nggak tau," jawab Saga, "kayaknya sih nanti Saga ke Figo."

Alger mengangguk paham. Dia membenarkan kancing jasnya dan melirik sekilas laptop Saga lagi sebelum akhirnya dia pamit pergi. Pria maskulin itu tersenyum dan menepuk bahu sang anak, kemudian berpamitan.

Oscillate #3: Recover It AllTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang