26. Tidak Adil [GIO'S POV]

1.7K 264 6
                                    

Sejak kelahiran Orenji, aku begitu bahagia karena punya teman sekongkol. Setiap bangun tidur, siang hari, bahkan sampai mau tidur aku selalu melihatnya yang berwajah mirip nenek-nenek itu. Tapi entah kenapa hatiku senang melihatnya.

Aku selalu antusias mengajaknya bermain, dan eomma serta appa juga selalu menegurku. Padahal aku tak melakukan yang macam-macam, hanya menunjukkan beberapa mainanku padanya. Seperti pistol, pedang, atau laser bohongan.

Seperti sekarang, aku terus mengoceh supaya bisa melihat Orenji yang ada di pangkuan eomma. Tapi appa malah terus memanggilku supaya main saja dengannya, aku kan tak mau.

Eomma, Gio mau main dengan Orenji!” seruku sambil mengikutinya ke sana ke mari. Dia sibuk membereskan pakaian di lemari, baju Orenji lebih banyak dariku. “Eomma!!!”

“Sayang, Orenji mau tidur siang. Nanti saja mainnya, ya. Sekarang kau bermain dengan appa dulu.”

Belum lama dari ucapan eomma, Orenji menangis. Tuh, kan! Dia pasti ingin bertemu denganku!

Eomma meletakkan Orenji di kasur dan aku segera naik ke atasnya. Eomma membuka celana Orenji, dan aku langsung mencium bau tak enak. Aku nyaris seakan ingin muntah dan eomma langsung menegurku, lagi.

“Orenji! Ayo main dengan oppa!” ajakku setelah appa mengajariku untuk memanggil diriku sendiri dengan oppa ketika mengajak Orenji bicara. “Oppa sudah punya banyak mainan, kau harus melihatnya!”

Oppa, kau tidak lihat Orenji mengantuk? Dia menangis terus karena tidak bisa tidur, jangan mengajaknya bicara sekarang,” jelas eomma sambil mengganti celananya.

Aku sudah tahu, tapi eomma selalu saja bicara begitu.



***

Besoknya, aku sarapan dengan lesu bersama appa. Sedangkan eomma masih mengurusi Orenji yang menangis karena pipis di celana. Bahkan yang biasanya eomma menemaniku sikat gigi dan mencuci muka, tadi malah appa yang melakukannya. Appa sudah menanyaiku daritadi, tapi aku hanya menggeleng.

Siangnya, aku minta agar eomma menemaniku bermain. Tapi yang ada malah terus menggendong Orenji dan mengurusnya. Memberi makan, mengajaknya mengobrol, atau memotretnya sesekali.

Orenji bahkan dibawa ke setiap sudut rumah saat eomma bersih-bersih, aku jadi kesal dan mengacak mainanku sendiri sampai membuat eomma kembali menegurku untuk lebih rapi dalam bermain.

Jika Orenji pipis, eomma langsung menggantinya dengan gesit. Sedangkan aku yang makan berantakan, eomma malah menyuruhku sendiri untuk membersihkannya. Eomma jadi berbeda. Aku merasa ini tak adil.

Karena kesal, aku mulai mengamuk. Aku menangis kalau eomma tak menuruti keinginanku, aku merengek untuk hal yang kecil, membuat eomma makin sering menegurku. Aku tak peduli!

Aku makan banyak camilan, aku mengeluarkan semua mainan yang kupunya, aku bahkan mengacak-acak pakaian Orenji yang baru eomma lipat dengan alasan ingin menggunakannya sebagai bahan mainan.

Bahkan ketika eomma masak, aku nekat mengambil kursi dan melihatnya menggoreng. Walau sudah memperingatiku, aku hanya berdiri di depan wajan. Sampai akhirnya minyak goreng itu mengenai tanganku, membuatku mundur dan jatuh dari kursi.

Huwa!!!”

Aku berteriak sambil menangis, sedangkan eomma menghampiriku setelah mematikan kompornya. “Eomma sudah bilang, kan?! Jangan dekati wajan. Sekarang kau terluka!”

D.O's FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang