Peringatan

3.1K 131 8
                                    

Amelia merenung di kamarnya seorang diri dengan menatap langit-langit yang bertemankan kesunyian malam. Amelia memang sudah pulang dari rumah sakit sejak dua hari yang lalu, namun badannya masih terasa lemah.

Amelia mengangkat tangannya ke udara dan memandang luka yang terbalut perban. Dia mulai tersenyum dan bertanya pada dirinya sendiri. Entah mengapa dia bisa segila ini hanya untuk mendapat cinta dari seseorang. 

Klik

Terdengar suara knop pintu yang di putar, tak lama muncul wanita bertopi putih dari balik pintu.

"Assalamualaikum ...."

Amalia menoleh ke arah pintu dan teperanjat mendapati sahabatnya Icha yang datang di tengah malam seperti ini.

"Waalaikumsallam. Icha, lo gak lagi ngelindurkan?" tanya Amelia.

"Enggak, lah." Icha melepas tas ranselnya lalu meletakannya di atas meja belajar Amelia. Setelah itu ia membuka jaket levis serta topi yang ia kenakan.

"Lo dari mana? udah kaya hantu jam segini kelayaban," ucap Amelia dengan nada menyindir. Icha langsung naik ke atas ranjang dan merebahkan badannya di samping sahabatnya itu.

"Lo kaya gak tau gue aja. Gue tadi habis jalan, cuma males ke rumah karena jauh. Jadi gue ke rumah lo aja dan kebetulan orang tua lo belum pada tidur. Gue nginep disini, ya," jelas Icha sembari menarik selimut dan menutupi sebagian tubuhnya.

"Lo udah baikan, Mel?"

"Udah ko, Cha."

Dua sahabat itu kini berbaring bersebelahan, mereka saling menatap langit-langit kamar. Keduanya saling diam dan berkutat pada pikirannya masing-masing. Sebenarnya dalam hati Icha ia ingin sekali bertanya sesuatu namun ia takut pertanyaan itu membuat hati Amelia terluka.

"Cha-"
"Mel-"

Keduanya saling memanggil secara bersamaan berusaha memecah kesunyian di tengah malam yang hawa dinginnya mulai menusuk.

"Lo duluan aja, Cha," ucap Amelia .

Icha menghela napas berat, kali ini ia memberanikan diri untuk bicara.

"Mel, lo yakin mau nikah sama Farhan? lo bakal jadi istri ke dua, Mel," seru Icha membuka pembahasannya.

"Gue yakin, Cha. Sangat yakin. Memangnya kenapa?" tanya Amelia yang masih belum merubah posisinya memandang atap langit-langit.

"Farhan itu orang baik, Mel." Icha mempertegas ucapannya.

"Gue tahu ... makanya gue suka sama dia. kenapa, lo suka?" tanya Amelia dengan sedikit menggoda. Icha membelalak dan tersenyum sinis ke arah Amelia.

"Lo bakal jadi pengantin besok. Saran gue, Mel, pikirin lagi semuanya sebelum terlambat."

Amelia merubah posisi tidurnya menjadi menyamping menghadap Icha. Ia menatap Icha dengan raut wajah yang serius, kini hati gadis itu mulai bertanya. Mengapa Icha bisa berkata demikian?

"Kenapa, Cha? ada masalah? gue udah berjuang sejauh ini, Cha. Atau menurut lo, gue gak pantes buat Farhan?" nada bicara Amelia mulai meninggi.

Icha hanya tersenyum santai menanggapi pernyataan Amelia, ia masih tidak ingin merubah posisi tidurnya dan membiarkan Amelia menatapnya dengan sinis. Icha sudah tahu siapa sahabatnya itu, terkadang Amelia bisa bertingkah kekanak-kanakan saat menyelesaikan masalah. Dengan bersikap tenanglah Icha bisa menghadapi sosok Amelia.

"Gue hanya takut, Mel," jawab Icha dengan penuh ke khawatiran .

"Takut Apa?"

"Takut obsesi lo menghancurkan hidup lo sendiri suatu saat nanti."

Amelia merubah posisinya lagi dengan berbaring menghadap langit-langit.

"Gue udah dewasa, Cha."

"Lo gak berhak menilai diri lo sendiri dengan kata dewasa." Icha kembali mempertegas ucapannya.

"Kenapa?" tanya Amelia heran.

"Karena lo gak tahu bagaimana penilaian orang lain terhadap diri lo sendiri, Mel." Icha menatap Amelia dengan seksama meskipun sahabatnya itu terlihat acuh.

"Gue gak peduli, Cha, yang penting gue udah berjuang untuk mendapat hak gue." Amelia bersikukuh pada pendiriannya.

"Hah? hak lo, yakin?"

"Icha! gak usah nyebelin deh." Gerutu Amelia.

Icha hanya tertawa melihat Amelia yang sudah mulai kesal. Amelia hanya tidak tahu jika Icha begitu mengkhawatirkan dirinya pasa saat ini, entah kenapa feeling Icha mengatakan hal yang kurang baik terhadap perjalanan Amelia kelak. Icha hanya bisa berdoa semua yang terbaik untuk sahabatnya itu.

"Mel, gue seneng lo bakal jadi pengantin. Lo udah dapetin orang yang lo cintai, gue hanya takut, Mel. Lo bakalan sakit hati nantinya . Ini cuman sebuah peringatan, Mel. sumpah, gak ada maksud apa-apa ko." Icha menghadapkan wajahnya ke arah Amelia dan dia terkejut mendapati Amelia yang sudah tertidur pulas.

"Bangke! bilang dong kalo mau tidur. Dasar nyebelin." Icha menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuh dan membalikan tubuhnya membelakangi Amelia.

Amelia perlahan membuka mata, ia hanya berpura-pura tidur. Wajah Amelia kini berubah menjadi sendu, entah kenapa kata-kata Icha kini berputar-putar dipikirannya. Apa benar kini ia menjadi orang yang jahat hanya karena sebuah obsesi saja? pertanyaan itu mulai muncul dalam benak Amelia.

°°°

Aisyah melipat alat sholat yang baru selesai ia kenakan, ia baru selesai melaksanakan sholat tahajud untuk mencari ketenangan dalam hatinya yang mulai di rasuki oleh berbagai macam kecemasan. Aisyah menoleh ke arah Farhan yang sudah tidur pulas, entah kenapa Aisyah jadi membayangkan kehidupannya setelah Farahn menikah nanti. Mencoba kuat, hari ini Aisyah mencoba memperlihatkan kekuatan dalam hatinya untuk menghadapi situasi yang begitu sulit ini. Tak akan ada wanita yang ikhlas begitu saja berbagi hati dengan wanita lain, tapi ini adalah situasi berbeda karena Aisyah lah yang meminta. Jika bukan karena situsi yang rumit ini mungkin dia akan tetap menggenggam erat cintanya itu.

Astagfirullah, lamunan buruk itu ia coba tepis dengan kalimat istighfar. Dia merasa sudah berburuk sangka kepada Allah yang sudah mentakdirkan hidupnya untuk berada pada titik ini. Aisyah mencoba melawan dan berpegang teguh lagi pada qada dan qadar Allah.

Aisyah menaikan tubuhnya di ranjang dan berbaring tepat di samping Farhan.

"Ehemm ... Sudah selesai sholatnya?" tanya Farhan yang tiba-tiba saja bangun.

"Sudah, Mas. Sekarang giliranmu," ucap Aisyah dengan lembut .

Farhan segera bangun dan menyandarkan badannya di bantal yang ia tumpuk.
"Sini!" Farhan mengajak Aisyah untuk mendekat dan bersandar pada tubuhnya, Aisyah pun mengangguk dan segera mendekat.

Farhan membelai pucuk kepala Aisyah dengan lembut dan sesekali menciuminya. Begitu nampak kasih sayang yang ia curahkan untuk wanita yang di cintainya, rasa tak ingin kehilangan begitu menggebu dalam batin Farhan terhadap Aisyah.

"Aku mencintaimu, Aisyah. Itu tak akan pernah berubah sampai kapanpun. Aku akan sangat berdosa jika membuat air matamu jatuh karena tersakiti oleh diriku sendiri." Ucapan Farhan begitu menusuk dalam hati Aisyah, perasaan Aisyah begitu melambung tinggi dengan perlakuan Farhan yang begitu manis. Kini ia berharap jika perlakuan ini tak akan pernah berakhir sampai Allah yang akan mengakhiri dengan caranya sendiri.

Selamat membaca!

Terima kasih, sudah hadir ^^

Bukan Surgaku [END][REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang