Perjuangan Farhan

3.4K 125 6
                                    

"PT. Telekomunikasi selamat sore. Dengan Farhan di sini, ada yang bisa saya bantu?"

"Baiklah, mohon di tunggu untuk perbaikan selanjutnya, Bu. Tolong tinggalkan nomor yang bisa kami hubungi."

"Sudah saya catat ya, Bu. terima kasih dan mohon maaf atas ketidak nyamanannya."

Begitulah rutinitas Farhan dengan segala pengaduan costumer, kini ia melirik jam tangan yang menunjukan beberapa menit lagi waktu untuk pulang. Farhan menyandarkan tubuh pada kursi dan memejamkan mata untuk beberapa menit, ia merasa bagian depan kepalanya terasa berdenyut.

"Bro, sebelum pulang ngopi dulu, yu! di warung depan." Ajak seorang pria berkacamata dan berambut kerinting.

Farhan menoleh ke arah sumber suara. Ya, itu adalah Boim teman sekantor sekaligus sahabat terdekat Farhan. Bagi Farhan, Boim bukan sekedar sahabat, tetapi sudah seperti saudara sendiri. Semua keluh kesah kehidupannya bukan rahasia lagi untuk Boim.

"Boleh, kebetulan gue butuh temen ngobrol," ucap Farhan sembari membereskan alat tulis kantornya. Jam sudah menunjukan waktu pulang, Farhan dan Boim mengabsen dahulu nama mereka untuk laporan kehadiran. Setelah itu keduanya pergi ke warung kopi di seberang kantor.

Mereka duduk di kursi panjang berbaur dengan pengunjung yang lain. Warung biasa yang tidak cukup besar namun cocok untuk bersantai melepas penat dari rutinitas pekerjaan.

"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Boim yang melihat Farhan memijit keningnya beberapa kali.

"Sedikit sakit kepala, tapi itu bukan masalah," Jawab Farhan yang diikuti senyum ramahnya.

"Lo jadi nikah sama Amelia malam ini?" ceplos Boim .

Farhan hanya mengangkat kedua bahu seperti enggan menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu. Boim hanya menggeleng, lalu menyeruput kopi hitam yang sudah dipesannya tadi.

"Lo enak bakal punya istri dua, cantik-cantik lagi," ucap Boim.

Farhan hanya diam dan mulai meminun kopi moccacino yang masih sedikit panas.

"Gue gak tahu, Im. Gue pasrah. Tapi gue berharap Allah mencegah pernikahan ini dengan caranya."

"Ko gitu? laki-laki itu boleh memiliki istri lebih dari satu."

Farhan terkekeh geli dengan pernyataan Boim.

"Baca hadis jangan setengahnya, baca juga kelanjutannya." Farhan menyeruput kopinya dan melanjutkan kembali ucapannya. "Gue yakin gak bisa adil."

"Kenapa?"

"Cinta gue terlalu besar untuk Aisyah." Farhan tertunduk perlahan.

"Lagian kenapa sih Aisyah malah nyuruh lo nikah lagi? kadang gue gak ngerti jalan pikiran wanita," ucap Boim yang memainkan tangannya di dagu layak orang yang sedang berpikir.

"Jawabannya karena Aisyah memiliki hati yang baik." Senyum Farhan mulai mengembang membayangkan istri yang dicintainya itu.

"Gue jadi inget perjalanan cinta lo sama Aisyah." Baim mulai mengenang masa lalu dari sahabatnya itu. Sementara Farhan hanya menyimak semua kata-kata Boim dengan seksama dan membiarkannya bercerita panjang lebar.

"Dulu lo hanya preman yang hobinya berantem, ketemu sama Aisyah yang sholeha dan lembut. Lo harus menghadapi ayahnya Aisyah yang galak banget dan lebih parahnya lo sampe berantem sama si Ali pengusaha muda yang sekolahnya di Arab itu yang jelas-jelas udah di jodohin sama Aisyah. Belum lagi orang tua lo yang gak setuju karena Aisyah bukan dari keluarga berada. Tapi, karena lo bisa berubah jadi anak yang baik akhirnya orang tua lo merestui hubungan kalian berdua."

Farhan hanya menggeleng sembari senyum-senyum tidak jelas mendengar Boim bercerita tentang kisah cinta dirinya bersama Aisyah.

"Lo kaya udah bikin sebuah prolog, Im," Sindir Farhan.

"Asli, kan? kisah cinta lo itu pantes di bikin novel," ucap Boim dengan menaik turunkan alisnya.

"Gue bakal novelin, Im. Nanti kalo udah beres cerita ini." Keduanya pun tertawa dengan begitu lepas seolah tak mempedulikan orang di sekitarnya. Setelah berhenti tertawa mereka kembali meminum kopi yang sudah mulai dingin.

"Boim, kali ini gue beneran takut. Gue takut nyakitin hati Aisyah." Kali ini ucapan Farhan terdengar sedikit serius. Boim memandang wajah Farhan yang tak seperti biasanya, rasa khawatir tergambar jelas dari raut wajahnya. Boim bisa merasakan jika Farhan menyimpan banyak beban dalam hati dan pikirannya.

Pria itu menepuk pundak Farhan seraya berkata. "Semua ada resikonya, hari ini tanamkan benih ikhlas dan sabar yang sangat banyak dalam diri lo. Lo bukan cuma menghadapi satu kepala nanti, tapi dua kepala yang berbeda pandangan hidup."

Ucapan Boim begitu menusuk, Farhan tidak percaya jika Boim yang dikenal acuh bisa berkata bijak seperti itu. Farhan balik memegang pundak Boim dan menatapnya dengan serius.

"Lo, motivator gue," ucap Farhan.

"Lo, panutan gue dalam mencari istri," balas Boim dengan mengangkat tangan dan mengepalkannya. Mereka kembali tertawa lepas. Farhan merasa beruntung memiliki sahabat seperti Boim yang bisa sedikit meringankan beban pikirannya. Kini semakin lama akhirnya mereka larut dalam canda dan tawa.

Sementara itu di rumah Amelia sedang melakukan persiapan jelang pernikahan Amelia dan Farhan yang akan dilakukan malam ini, itu semua permintaan Farhan dan ia pun meminta untuk tidak ada pesta apa-apa selain ijab kabul.

Maaf part ini pendek ya, terimakasih masih berkenan membaca cerita Bukan surgaku, semoga kalian tetap suka

Bukan Surgaku [END][REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang