Toko buku

6.3K 212 21
                                    

Hari ini, Amelia berjalan-jalan sendirian di toko buku. Dia mengitari satu rak ke rak yang lain untuk memilih beberapa buku tugas dan novel yang akan dia beli. Amelia memang sangat menyukai novel, bahkan ia memiliki koleksi yang cukup banyak di rumahnya.

"Assalamualaikum."

Suara itu mengagetkan Amelia. Ia membeku di tempatnya dan belum mau membalikkan tubuhnya ke belakang sebelum memastikan dulu, apakah itu benar-benar suara pria yang ia kagumi atau hanya halusinasi saja?

Ya, akhir-akhir ini pikirannya memang dipenuhi oleh sosok laki-laki yang ada di kampus. Amelia takut jika suara yang tadi menyapa hanya ada di dalam pikirannya saja.

Jangan-jangan aku gila nih! umpatnya dalam hati.

"Assalamualaikum."

"Suara itu lagi ...? Ah, mungkin cuman mirip," pungkirnya dengan setengah berbisik. Dalam situasi ramai seperti ini, Amelia merasa tidak pantas jika harus memikirkan pria yang sangat ia kagumi itu.

Amelia segera berbalik badan untuk memastikan bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Benar saja, tubuh Amelia kaku seketika. Rasa tidak percaya menjalar dalam pikirannya. Bahagia bercampur gugup kini mulai menerpa hati Amelia. Farhan, tentu saja pria itu yang sedari tadi mengucapkan salam.
Mungkin benar, jika jodoh pasti akan bertemu di mana saja tanpa terduga.

Senyum manis Amelia merekah menghiasi wajah cantiknya. Namun, ada hal yang membuatnya penasaran, siapa wanita yang bersama Farhan? Wanita itu berjilbab yang panjang hijabnya hingga menutupi dada. Cantik dan tenang, menjadi kesan pertama yang Amelia lihat dari sosok wanita di sebelah Farhan.

Mungkin adiknya, tebak Amelia.

"Assalamualaikum."

"Eh, waalaikumsalam. Maaf aku malah melamun Pak–eh, Kak!" ujar Amelia terbata-bata. Ia jadi memperlihatkan kegugupannya di hadapan mereka berdua.

"Kamu ...."

"Aku Amelia Intan Nuraini, satu universitas sama Kak Farhan," sambung Amelia dengan bangga. Padahal dia sudah melakukan kesalahan dengan memotong pembicaraan lelaki itu.

Farhan hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya, ramah.

"Kamu sendirian saja, Am–"

"Panggil saja Amel ... biar gak ribet nyebut nama." Lagi-lagi Amelia memotong suara Farhan sebelum menyelesaikan pertanyaannya.

Wanita di sebelah Farhan hanya bisa tersenyum melihat tingkah lucu dari Amelia yang terlihat sangat gugup.

"Ini adiknya, ya, Kak? Cantik sekali," ucap Amelia sembari menunjuk wanita di samping Farhan.

Seketika hening tercipta di tengah-tengah percakapan mereka. Farhan hanya tersenyum menanggapi perkataan Amelia. Ia memaklumi jika wanita itu belum mengenal siapa wanita yang sedang berdiri di sampingnya.

"Kenalkan, ini Aisyah Putri Zahrana dia ad–."

"Adik Kak Farhan, 'kan? Cantik sekali ... pasti seumuran sama Amelia, ya?" potong Amelia, lagi.

"Kenalin Aisyah ... aku Amelia. Kapan-kapan kita jalan bareng, yuk!" Amelia menyodorkan tangannya kepada Aisyah, dengan sangat bersemangat ia memperkenalkan diri.

Mencari perhatian. Hanya itu yang ingin Amelia tunjukan kepada Farhan. Dalam batinnya ia berkata, mungkin sebelum mengenal kakaknya dia harus terlebih dahulu mendekati adiknya, agar semua hal tentang Farhan bisa ia ketahui dengan mudah.

"Kalo begitu aku pamit dulu, ya, Amel. Insyaallah kapan-kapan kita bertemu lagi." Aisyah mulai membuka suaranya, suara yang pastinya akan menyejukan hati semua orang yang mendengarkan. Amelia pun dibuat terpana dengan tutur lembut yang keluar dari bibir mungil Aisyah, sosok wanita berkulit putih dan berparas cantik.

"Baiklah. Hati-hati, ya!" ucap Amelia.

"Assalamualaikum." tutur Aisyah yang diikuti oleh Farhan.

"Waalaikumsalam."

Keduanya beranjak dari hadapan Amelia. Amelia pun berjikrak kegirangan setelah kedua orang itu telah menjauh. Kejadian yang baru saja terjadi membuatnya begitu bahagia.

"Aisyah cantik banget. Kalo dia bukan adiknya Farhan, aku bisa menebak kalo Farhan akan jatuh cinta pada gadis itu. Aku harus belajar banyak untuk jadi shaleha darinya." Amelia bergumam sendiri. Ia tidak menyadari jika sedari tadi orang-orang di sekitar mulai memperhatikannya. Namun Amelia bersikap tidak peduli.

°°°

Aisyah dan Farhan masuk ke dalam mobil untuk segera pulang. Tak lupa, mereka memasang sabuk pengaman yang menggantung di sisi jok mobil.

Farhan memandang wajah Aisyah dan tersenyum lembut ke arah wanita tersebut. Seketika Aisyah mengerutkan dahinya, merasa heran dengan tatapan yang diberikan oleh suaminya itu.

"Ada apa, Kak Farhan?" Aisyah menekankan setiap katanya, dengan sedikit tersenyum menggoda ke arah pria itu.

"Aneh ... bagaimana bisa wanita cantik yang aku gandeng ini, dia anggap sebagai adik?" Fahri menggelengkan kepalanya dengan tangan tertumpu pada setir mobil. Mobil mereka belum melaju dari tempat parkir, karena ingin membahas kejadian di dalam tadi.

"Bukankah selalu seperti itu?" tanya Aisyah, dengan senyum manisnya.

"Kenapa kamu tidak bilang jika kamu ini istriku, Aisyah?"

"Farhan ... kita tidak pernah diberi kesempatan bicara oleh fansmu itu. Masyaallah, suamiku banyak penggemarnya, ya," sambung Aisyah.

Aisyah mencoba menggoda suaminya. Ya, mereka memang sepasang suami istri. Namun tidak ada yang mengetahuinya selain keluarga dan sahabat dekat. Karena mereka yakin itu adalah sebuah privasi yang tak perlu diumbar kepada khalayak.

"Aku tetap mencintaimu, istriku yang cantik." Farhan mengusap pipi Aisyah lantas segera menyalakan mesin mobil untuk segera pergi dari tempat itu.

Pipi Aisyah merona merah, hatinya begitu bahagia dengan perlakuan Farhan yang dianggapnya sangat manis itu. Entah kenapa Aisyah selalu saja tertunduk malu jika suaminya sudah memuji dengan sebutan cantik, padahal mereka menikah sudah hampir dua tahun. Namun, rasa gugup Aisyah sering kali sulit dihilangkan saat Farhan menggombalinya dengan berbagai macam rayuan.

Perjalanan ke rumah cukup menyita waktu dikarenakan jalanan sangat macet. Maklum saja, karena kebetulan weekend begini jalanan sangat padat. Banyak orang yang berbondong-bondong mengajak keluarganya liburan atau sekadar berjalan-jalan di sekitaran pusat perbelanjaan terdekat.

"Aisyah."

"Iya." Aisyah langsung memutar pandangan ke arah suaminya.

"Kamu tidak ingin kuliah lagi?" tanya Farhan secara tiba-tiba. "Aku tidak keberatan jika kamu mau. Aku yakin kamu bisa mengurus rumah dengan baik meskipun terbagi dengan waktu belajar," sambungnya lagi.

Aisyah memandang suaminya dengan tatapan serius.

"Tidak. Aku ingin jadi istri yang baik yang tinggal di rumah setiap waktu," jawabnya singkat dan jelas.

"Baiklah, aku tidak akan memaksa. Aku hanya takut kamu kesepian sendirian di rumah. Aku hanya menyarankan sebelum kita punya anak."

Senyuman Aisyah berubah menjadi kegelisahan. Lengkungan bibir yang tadinya ke atas kini berubah menekuk ke bawah. Aisyah memang sedih jika Farhan sudah menyebut-nyebut masalah anak. Entah kenapa Aisyah merasa tidak bisa jadi wanita yang sempurna untuknya.

"Maaf!" Farhan mengusap pucuk kepala Aisyah dengan sangat lembut. Seolah sudah sadar ucapannya telah membuat istrinya sedih.

Namun Aisyah kembali tersenyum. Ia tidak ingin perasaannya ini menyebabkan suaminya menjadi merasa bersalah. Keheningan pun terjadi kembali dalam mobil. Dua manusia itu berkutat pada pikirannya masing-masing.

Kesempurnaan pernikahanku denganmu adalah hadirnya seorang anak. Namun, bergandengan tangan denganmu sudah cukup membuatku percaya, jika kamu penyempurna hidupku.

Bukan Surgaku [END][REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang