#23: True Affection

1.1K 199 1
                                    

"Semua yang hidup perlu mati, bersama alam menuju keabadian."

   —William Shakespeare

๑۩๑๑۩๑๑۩๑

Mengantarkan kepergian Ibu Yuen tidak membuatnya nyaman—tentu saja, seperti dia sedang mengantar wanita itu pada kematian. Dan, Nero memutuskan untuk tetap berada di kamar hotel Ibu Yuen di sepanjang waktu. Dengan cukup pengertian, Ibu Yuen memperpanjang sebelum wanita itu benar-benar meninggalkan Ritz-Carlton.

Ketika malam di pukul sembilan, Nero menghubungi ibunya untuk datang ke kamar hotel di mana dia tinggal di sepanjang hari itu.

Sesudah wanita itu masuk ke dalam kamar hotel, ia buru-buru memeluk putranya dan meminta maaf, karena tidak berada di sisinya sepanjang hari yang buruk ini. Namun Nero tidak merespons selain dia terdiam seperti patung sedang duduk di pinggir ranjang.

"Ibu akan di sini bersamamu, sepanjang waktu, Ibu akan menemanimu," ujar wanita itu, air mata makin menggenang, ia sangat sedih mengetahui kondisi putranya seperti ini. "Jika kau butuh sesuatu, katakan padaku. Makanan yang kau inginkan apa pun itu, Ibu akan mendapatkannya untukmu."

"Mau pergi makan ramen bersamaku, Bu?" Kushina segera mengangguk tanpa dia menunggu jeda yang lebih panjang lagi untuk mengabulkan permintaan putranya. "Aku ingin makan ramen dan pangsit sampai puas. Ibu mau mentraktir aku?"

"Tentu saja. Ibu akan mentraktirmu makan ramen, sepuasnya."

"Hanya kita berdua."

"Ya, hanya kita berdua. Ayo. Ibu akan ikut bersamamu."

Mereka keluar dari Ritz-Carlton dan berjalan kaki demi menuju ke kedai ramen, di mana biasa Nero menghabiskan beberapa waktunya di sana untuk menikmati mi favoritnya sambil memandang jalanan Tokyo yang tidak pernah sepi.

Sampai di sana, ia disambut teriakan selamat datang yang khas seperti biasanya. Pelayan di sana yang selalu menghampirinya pun terlihat tersenyum ramah. "Siapa dia? Seorang wanita yang pernah kau belikan ramen waktu itu? Atau dia—"

"Dia Ibuku!" sebelum menyelesaikan kata-katanya Nero lebih dulu menjawabnya. Walau dia sedang enggan untuk bercanda, tapi dia tidak bisa mengabaikan orang-orang yang telah mengenal dirinya hampir tiga tahun terakhir ini. "Beberapa hari yang lalu dia datang ke Jepang."

"Oh, selamat datang," seru wanita itu pelan.

Kushina menjawab dengan aksen bahasa Jepang yang lebih fasih. "Halo, salam kenal." Pelayan wanita itu tampak terkejut, dia menyikut pelan lengan Nero yang hanya menyunggingkan senyumannya. "Apakah dia suka makan ramen di sini?"

"Ya, hampir setiap hari," balas pelayan wanita tersebut. "Silakan duduk." Ia mempersilakan sebuah meja kosong. Setelah itu, pelayan tersebut segera masuk kembali ke dapur, sementara Nero dan Kushina memutuskan untuk berada di meja mereka.

"Mereka sepertinya mengenalmu dengan baik."

"Karena aku memang sering ke sini. Seperti yang pelayan itu katakan, jika aku hampir setiap hari di sini. Makan malam, atau hanya sekadar menikmati minuman dibarengi menikmati pangsit yang mereka buat."

"Ibu dulu juga suka makan ramen dengan ayahmu, ketika kami berada di Jepang, tapi sebenarnya Ibu dan Ayah bertemu di bangku perkuliahan saat sama-sama menempuh pendidikan di Keio."

"Lalu, kapan-kapan apakah kita bisa pergi ke tempat langganan Ibu?" Kushina menggelengkan kepala dengan raut wajah sedih. "Kenapa?"

"Kedai ramen langganan kami sudah tutup. Tempat itu sudah menjadi gedung yang sangat besar dan tinggi. Itu sudah tiga puluh tahun yang lalu, agak lama, kami sudah tidak ke sini lagi sejak memutuskan untuk fokus pertumbuhanmu dan menempuh pendidikan kedua kami." Kushina kemudian menopang pipi di saat ia tertarik untuk melihat jalanan yang masih ramai. "Ibu senang, akhirnya bisa merasakan duduk di kedai ramen seperti ini. Sejak kau tidak ada di sisi kami, Ibu dan Ayah memutuskan untuk mengurung diri."

E N O R M O U S ✔Where stories live. Discover now