#28: Overcoming

1.1K 211 4
                                    

"Dalam setiap keindahan, selalu ada mata yang memandang. Dalam setiap kebenaran, selalu ada telinga yang mendengar. Dalam setiap kasih, selalu ada hati yang menerima."

   —Helen Keller

๑۩๑๑۩๑๑۩๑

Sir Uzumaki memiliki pandangannya sendiri dalam memilih tempat tinggal. Bertempat tinggal di gedung yang sama dengan orang lain baginya tidak bisa disebut sebagai rumah yang nyaman. Cucunya harus mendapatkan tempat yang layak. Ketika dia tahu jika cucunya menetap di Jepang, dia akan menunjukkan tempat tinggal yang sesungguhnya.

Sementara Nero malam ini terkejut, akhirnya ia tahu di mana lokasinya kemarin. Percayalah, dia hanya pendatang baru di Tokyo, banyak tempat yang sebetulnya tidak benar-benar dia kenali. Lalu kemarin, ternyata dia sedang berada di depan Kikyo-mon Gate, Nero tidak pernah tahu jika tempat itu bukan lagi milik sang Kaisar.

Malam ini, seorang pria tua seperti Sir Uzumaki mengenakan pakaian sederhana dan terlihat nyaman mengenakannya daripada setelan jas yang disetrika licin.

Kakeknya datang dengan membawa dua pengawalnya, orang Asia yang sempat pernah ditemuinya, bahkan sepertinya sudah satu paket dengan si pengawal Italia itu, tetapi mereka kemudian pergi setelah ibunya tidak mengizinkan sang kakek masuk dengan membawa dua orang itu. Lalu di sini sekarang, si kakek tua itu sedang duduk di kursi meja makan, sambil memandangi sekitarnya saksama, serta sesekali berdeham terlihat tidak nyaman.

"Sejak kapan Ayah mendapatkan tempat tinggal di situ?" Sir Uzumaki tidak buru-buru untuk menjawab. Pria tua itu masih meneliti sekitarnya—rumah kecil ini, benar-benar membuatnya tak nyaman, mengapa putrinya tinggal di sini bersama keluarganya. "Naru tidak suka harus ada pembantu di rumah. Dia tidak terlalu nyaman ada di sekitar orang asing. Ia dibesarkan sangat sederhana. Dia menjadi pemuda yang jauh lebih bisa diandalkan ketimbang harus duduk dan mengurusi apa yang kita miliki."

"Kushina, dengarkan aku bicara sekarang," ruang makan itu mendadak menjadi hening, dan tentu makin menegang. Sementara Nero duduk di sofa sangat gusar. Ayahnya masih diam tak berani menyela, menganggap itu urusan keluarga, maka pria itu hanya duduk di samping istrinya. "Keluarga kita memiliki itu sudah sejak lama. Kaisar boleh tinggal di sana, di wilayah itu, tapi dia tidak berhak atas wilayah yang berada di pinggiran dan seluruh yang masuk ke dalam kepemilikan keluarga kita. Tempat itu ada sebagai bentuk persahabatan pada saat sebelum terjadinya Perang Dunia II. Kali ini, kita akan menempatinya. Mito Uzumaki adalah moyangmu, dia menikah dengan salah satu anak Kaisar, mereka memberikan hak istimewa untuk itu, karena istana itu pernah runtuh dalam peperangan dan dibakar pada tahun 1800-an, Mito melarikan diri ke Inggris bersama suaminya, dan kita adalah penerusnya. Naru akan memiliki tempat itu. Satu lagi, Ayah tidak pernah berpikir menyuruhnya untuk mengurus apa yang kita miliki. Karena sudah ada orang yang melobi itu."

"Mengapa Ayah tidak pernah menceritakan masalah ini?"

"Hanya sebagian orang keluarga inti," Kushina mengernyit tidak paham. "Aku akan bercerita jika kau memiliki seorang anak laki-laki."

"Dan sekarang aku memilikinya, maka Ayah menceritakannya padaku?" Sir Uzumaki diam. "Tapi aku tetap tidak setuju kita harus pindah ke sana. Ayah tahu keputusanku? Keluar dari rumah agar menjadi keluarga sederhana dan hidup bersama anak dan suamiku dengan nyaman."

"Mengapa kau tidak mau mengerti?" Sir Uzumaki kali ini meninggikan nada bicaranya, dan pria tua itu benar-benar mengamuk. "Aku sudah terlalu tua untuk berdebat denganmu. Jadi, berhenti untuk mengintimidasi ayahmu yang sudah berumur dan mungkin akan segera mati setelah ini—"

"Aku akan tinggal di sana," Nero tiba-tiba berdiri dan mendekati kakeknya. Pria tua itu buru-buru melorotkan kacamata berukuran kecilnya sampai ke pangkal hidung. "Hanya beberapa kali dalam seminggu."

E N O R M O U S ✔Where stories live. Discover now