01

3.8K 468 15
                                    

Saras


Hidup ini seringkali dipenuhi kejutan. Misalnya, ketika aku mengikuti suatu seminar nasional di kampus, secara tidak sengaja aku dipertemukan kembali oleh teman lama orang tuaku. Kami mengobrol cukup lama dengan berbagai topik. Salah satu kejutan lain yang disodorkan padaku adalah: teman lama orang tuaku itu, Pak Wisnu, ternyata dosen di salah satu program studi di kampusku.

Kalau kata orang-orang sih, dunia ini sempit.

"Padahal kalau saya tahu kamu kuliah di sini, kamu tinggal di rumah saya aja nggak apa-apa," kata Pak Wisnu.

Aku tertawa canggung mendengarnya, menggelengkan kepala. "Nggak usah Pak, nggak apa-apa. Saya indekos aja biar mandiri,"

"Anak saya juga merantau Saras, tapi di laki-laki," kata Pak Wisnu, "Saya khawatir karena kamu perempuan."

Aku tersenyum sopan, mengerti kekhawatiran beliau. Bagaimanapun, Pak Wisnu pernah melihat aku tumbuh dan ini menjadi pertemuan pertama kami setelah sekian lama keluargaku tidak pernah bertemu lagi dengannya.

"Tapi kalau memang itu keinginanmu, ya sudah. Kalau butuh bantuan bisa hubungi saya, ya. Atau main ke rumah juga boleh,"

"Iya, Pak, terima kasih."

Setelahnyanya, kami saling berbagi kontak, katanya, "Biar saya bisa awasi kamu, Saras."

Mendengar itu entah aku harus senang atau tidak. Karena dengan begitu, Pak Wisnu bisa melaporkan apa saja pada orang tuaku. Namun untungnya, Pak Wisnu bukanlah dosen di prodiku. Setidaknya itu yang bisa kusyukuri.

"Bapak digaji berapa sama orang tua saya sampai harus ngawasin saya?" candaku seraya tertawa.

Pak Wisnu ikut tertawa dan menepuk bahuku pelan. "Nggak apa-apa, saya sudah anggap kamu anak saya sendiri. Oke?"

Mau tak mau aku cuma tersenyum simpul seraya mengangguk. Setelah acara semnas itu selesai, kami berpisah dan tidak menyadari kalau sejak tadi salah satu buku milik Pak Wisnu masih kupegang. Tadi, salah satu obrolan kami adalah saling berbagi rekomendasi buku dan aku mencoba melihat buku yang dibawanya.

Aku bahkan baru sadar saat keluar gedung. Ternyata aku masih membawa buku Pak Wisnu. Tanpa pikir panjang, aku mencoba mengirimkan pesan pada Pak Wisnu. Beberapa detik setelah pesan terkirim, ponselku berdering.

"Kamu bawa dulu aja Saras, mau kamu baca, kan?"

"Enggak sih, Pak. Saya masih harus baca buku yang lain. Saya pinjam kapan-kapan aja."

"Kalau ke rumah saya gimana?"

Aku sebenarnya mau-mau saja ke rumah Pak Wisnu, tapi lokasinya yang cukup jauh membuatku ragu. Perlu ongkos yang tidak murah untuk ke sana, sementara aku masih harus menghemat uang untuk makan. Jadi aku cuma terkekeh pelan, "Hehe, jauh Pak..."

Pak Wisnu di ujung sana tertawa. "Saya besok mau keluar kota Saras, flight pagi. Bukunya kamu bawa aja nggak apa-apa."

"Tapi saya nggak enak, Pak..."

"Udah nggak apa-apa, kayak sama siapa aja."

"Tapi Pak—"

"Saras, Saras," Pak Wisnu tertawa lagi. "Memang kamu mirip Ayahmu,"

Aku terkekeh kecil mendengarnya, mendadak teringat ayahku yang memang keras kepala.

"Ya udah kalau ke rumah saya nggak mau, disimpan dulu di kamu juga nggak mau, gimana kalau bukunya kamu titip ke asdos saya aja?"

"Nggak perlu ke rumahnya, kan?"

Pak Wisnu tertawa. "Enggak, dia juga anak kos. Kalian bisa ketemu di kampus atau di tempat makan sambil malam Mingguan."

Aku mengerucutkan bibir mendengar candaannya. "Serius, Pak."

"Saya serius, Saras. Kalau mau nanti saya kirim kontak dia."

Mataku memandangi layar ponsel yang menampilkan kontak yang dikirim oleh Pak Wisnu. Katanya itu kontak asdosnya, namanya Kirino. Pertama kali mendengar namanya, mataku mengerjap berkali-kali.

"Kiri... siapa, Pak?" tanyaku mencoba memastikan.

"Kirino,"

"Hah?"

"Kirino. Kamu nggak salah dengar, Saras. Dan enggak, dia bukan saudaranya permen Kino."

Jadilah aku memandangi kontak itu cukup lama, mengingat kejadian beberapa jam yang lalu itu. Saat ini pukul 00:42 dan aku mencoba mengirim pesan. Sebenarnya tidak sopan untuk mengirim pesan selarut ini, tapi setelah acara semnas aku tidak sempat membuka ponsel karena berbagai hal.

Ting!

Aku mengerjapkan mata saat mendengar notifikasi. Ternyata dia belum tidur sampai masih sempat membalas chat-ku.

Renjana & KiwariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang