19

1.2K 259 40
                                    

Kirino

Hal pertama yang gue lakukan setelah sampai rumah adalah memeluk ketiga kucing di rumah. Mungkin terlalu kangen, gue sampai nggak sadar kalau di ujung ruangan ada yang lagi merhatiin gue. Matanya penuh ketulusan dan senyumnya manis banget.

Gue ikut senyum, kemudian menurunkan kucing-kucing gue yang langsung lari begitu aja, entah ke mana. Gue berjalan perlahan dan merentangkan tangan lebar-lebar.

"Kok nggak dibales?"

Mama ketawa, kemudian melangkahkan kaki dan menerima pelukan gue. Kami berpelukan cukup erat. Dan lama. Mama beberapa kali mengelus rambut gue dengan lembut.

"Lancar perjalanannya?"

Gue mengangguk.

"Gimana kuliahnya? Lancar?"

Gue lagi-lagi, cuma bisa mengangguk. Dan entah dari mana, mata gue kepedesan, lama-lama jadi burem. Haaah.

"Ino, selama di sini harus makan yang banyak, ya. Pasti di sana suka telat makan, kan?"

Hancurlah sudah gue mendengarnya. Gue terisak dan lama-lama air mata gue mengalir banyak. Mama berkali-kali mengelus kepala gue atau menepuk punggung dengan pelan.

Seharusnya, mama yang butuh pelukan itu, bukannya gue. Seharusnya, mama yang butuh tempat bersandar untuk nangis sepuasnya, bukannya gue.

Seharusnya mama yang butuh semua perlakuan itu.

Seharusnya.

-

Setelah itu, gue dan mama bercerita banyak. Ternyata di rumah ada tante gue dan dialah yang berhasil meyakinkan mama untuk mengakhiri rumah tangga yang nggak sehat itu. Entah apa yang dibilang tante gue—dan berapa lama—sampai akhirnya mama mau mendengarkan sarannya. Sementara gue sendiri nggak pernah berhasil meyakinkan mama. Mungkinkah itu efek sesama perempuan atau efek kakak-adik? Jadinya mereka bisa saling menguatkan dan meyakinkan satu sama lain. Tapi, gimana pun prosesnya, gue berterima kasih karena tante gue itu berhasil membantu keluarga kecil ini lepas dari masalahnya. Gue juga berterima kasih sama mama karena mau lepas dari kesakitannya sendiri.

Saat ini gue duduk di lantai, menjentikkan jari untuk memanggil salah satu kucing yang lagi jalan.

"Hai, sayangku," Gue mengambil dan menaruhnya di pangkuan gue. Kucing itu mendengkur waktu gue mengelusnya. "Gimana kabar, sehat?"

Dan dia masih mendengkur, sementara gue masih terus mengelus dan ngomong sama dia.

"Gua kemaren capek banget," kata gue. "Tapi nggak apa-apa, sekarang capeknya ilang soalnya liat kamu. Hahaha."

Iya, gue sering begitu. Terdengar aneh bagi sebagian orang dan kalau temen-temen liat, mereka cuma menghela napas karena udah bosen liat gue begitu.

Nggak sekali dua kali gue ngomong sendirian sama kucing dan temen-temen gue udah paham. Yah, walaupun ada beberapa orang yang memandangnya sebagai hal aneh dan nggak berguna.

Tapi bagi gue sendiri itu berguna.

Tumbuh sebagai anak tunggal buat gue sering merasa kesepian. Lo pasti pernah kan pengen cerita, ngomong hal-hal remeh, tapi nggak tahu harus cerita ke siapa? Atau bahkan, kita bingung karena nggak punya teman cerita? Gue begitu, makanya gue sering ngomong sendiri ke kucing-kucing di rumah. Dari dulu sejak gue SD, curhat ke kucing jadi hal yang melegakan bagi gue sendiri. Nggak peduli mereka ngerti atau enggak, yang penting gue lega.

"Eh, Cing, gue tiba-tiba pengen jadi ilustrator, deh," kata gue random. "Kayaknya seru aja bisa gambar macem-macem. Sayangnya gue nggak bisa gambar. Gue juga males kalau harus berguru sama si Aji. Idih." Tiba-tiba selintas bayangan gue minta bantuan Aji untuk mengajari menggambar yang baik muncul di kepala gue, kemudian gue menggelengkan kepala. Tawa gue keluar. "Nggak! Kita ganti profesi lain. Apaan ya enaknya, Cing?"

"Ino, kamu ngomong kedengeran lho sampai pintu depan,"

Gue mengangkat kepala dan menemukan mama dan tante baru saja memasuki rumah. Mereka baru saja pulang dari mengurus berkas-berkas. Sementara gue nggak ikut karena gue dilarang untuk ikut. Kata mama, "Di rumah dulu aja, ya. Mama nggak apa-apa, lagian ada Tante kamu yang nemenin."

Jadilah gue sejak pagi di rumah sendirian dan cuma main dengan kucing-kucing gue. Salah satu kegiatan "main" gue ya dengan mengobrol dengan mereka.

Menanggapi ucapan tante gue barusan, gue membulatkan mata, tidak percaya dengan ucapannya. "Bohong,"

Tante tertawa. "Hahaha memang nggak kedengeran banget, No, cuma beberapa kata kedengeran. Kamu mau ganti profesi emangnya?"

Baru aja gue ingin membalas ucapan tente, mama lebih dulu mengucapkan sesuatu, "Kamu nggak ketemu Janu, No?"

"Hah?"

"Daripada cerita ke kucing, mending cerita ke Janu, kan?" kata mama disertai senyum di ujung kalimatnya.

"Oh, iya juga..." kata gue, baru teringat dengan salah satu teman dekat gue di SMA.

-

"Sombong bener?" Janu meninju pelan bahu gue ketika bahkan gue belum duduk sempurna di kursi.

"Lo kali,"

"Ya lo karena udah jadi asdos," kata Janu cepat.

"Apa hubungannya?" Gue memutar bola mata, sementara Janu tertawa. Ia meminum Iced Coffee-nya, kemudian katanya,

"Gimana? Tumben lo ngajak ketemu?"

"Kan," Gue menghela napas, kemudian berdiri dari duduk.

"Lah, ngambek?"

Gue tertawa dan menggelengkan kepala. "Nggak! Gue mau pesen."

"Oh, iya..." Bersamaan dengan Janu mengucapkan itu, gue melangkahkan kaki untuk melihat dan memesan menu. Iya, gue akhirnya mengikuti saran mama untuk bertemu Janu. Mungkin gue lagi nggak bisa mikir dengan baik, makanya gue sampai lupa untuk ketemu dengan salah satu teman baik gue itu. Selama tiga tahun pertemanan di SMA, gue dan dia udah paham satu sama lain. Dan ya, kadang kalau gue lagi nggak bisa cerita ke Bayu atau Fazrin, gue selalu cerita ke Janu.

"Ibu lo baik-baik aja, kan?" Adalah pertanyaan yang gue dapat ketika gue sudah kembali ke meja.

Gue tersenyum tipis, mengangguk. Setelahnya kami bertukar banyak cerita; tentang kuliah, organisasi, keluarga, bahkan kisah cinta. Janu, ternyata, dia udah punya pacar beberapa minggu yang lalu dan dia nggak cerita ke gue.

"Lo nggak anggap gue temen, ya?" kata gue pura-pura sakit hati, sementara Janu di depan gue cuma ketawa.

"Bukan gitu, gue bingung aja mau ceritanya gimana," kilahnya.

"Halah," Gue memutar bola mata. "Gue doain langgeng, deh, ya. Semoga besok-besok nggak sering berantem."

"Sarkas, ya?"

Gue menyengir, meminum cola yang gue pesan. Saat sedang minum itu, tiba-tiba aja Janu bertanya, buat gue tersedak dan hampir menyembur Janu dengan cola.

"Lo punya pacar, ya?"

"Hah?"

"Itu." Janu menunjuk ponsel gue di meja, sementara gue sendiri bingung. Dahi gue berkerut dan segera saja menyentuh layar ponsel. Terlihat di sana ada chat yang masuk. Gue membulatkan mata melihat siapa yang mengirimnya.

———

A/N: Halo semua! Apa kabar?

Aku lagi pusing dan maaf jika ini nggak memuaskan. Tapi aku kangen mereka jadinya aku coba nulis lagi soal mereka.

Daaan, ada yang kangen nggak sama cerita ini? Aku kangen soalnya. Huhu.

Renjana & KiwariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang