24

1.1K 218 69
                                    

Kirino

Kalau ada mesin waktu, gue mau banget request balik ke masa kecil gue. Kenapa? Soalnya itu masa-masa terindah selama gue hidup. Lo paham kan, masa kecil ketika orang tua menyayangi kita dengan sepenuh hati, nggak ada tuh namanya berantem segala. Dulu kayaknya lebih banyak pelukan dan afeksi yang menggembirakan.

Ah iya, masa kecil juga jadi masa di mana yang kita paham cuma sakit fisik, bukan sakit hati juga. Yah, mungkin beberapa orang udah pernah merasakan sakit hati dari kecil, tapi mungkin ketika kecil, kita nggak begitu paham sama konsep hati yang tersakiti.

Belakangan, setelah ortu gue memutuskan berpisah, ada banyak hal yang menganggu pikiran gue. Misalnya, kenapa ya, perasaan itu begitu rumit dan misterius? Kayaknya dari zaman praaksara sampai zaman manusia nyari rumah baru di Mars, yang namanya perasaan itu susah banget untuk dijelasin.

Mau mengakui, kok ya susah. Mau mengelak, susah juga. Lo kayak melawan diri sendiri. Lo perang sama diri sendiri gara-gara perasaan--yang mungkin bisa 'membunuh' lo di akhir.

Dan sialnya, perasaan gue yang nggak sopan dateng ini berhubungan dengan teman gue sendiri.

Gue bingung. Banget. Awalnya gue mau menyerah aja, lagian gue juga udah tau hasil akhirnya apa. Tapi begitu Tuhan mulai membuat skenario yang nggak gue duga, gue mulai ragu dengan keputusan gue sendiri.

Hampir 5 bulan persiapan KKN, sekaligus hampir 2 bulan di lokasi KKN membuat gue mengenal lebih banyak soal perasaan gue sendiri.

Gue sayang sama Saras, lebih dari teman.

Asli... gue butuh waktu lama buat bisa bilang begitu ke diri sendiri. Bahkan ketika gue berani bilang ke Saras kalau gue mau mengenal dia lebih jauh, gue takut. Takut kalau akhirnya Saras menjauhi gue. Untungnya setelah itu, Saras tetap menjadi Saras yang biasa. Dia tetap tersenyum dan menanggapi candaan gue.

Gue jadi ingat ketika Saras bilang kalau dia mau mengenal gue juga, tapi menurutnya, dia masih belum bisa.

"Kalau boleh jujur, gue juga pengen gitu," jawab Saras sambil menarik napas sebelum akhirnya berujar lirih, "Tapi kayaknya... gue nggak bisa..."

Gue kaget. Gue deg-degan. Tapi akhirnya yang bisa gue lakukan cuma bertanya pelan, "Kenapa?"

Saras di sebelah gue cuma diam, menggelengkan kepala. Bisa terdengar dia menghela napas panjang. Gue di paham kalau ada yang perlu diselesaikan Saras lebih dulu. Lagian kayak yang gue bilang kan, gue tau hasil akhirnya apa.

"Ras, ya udah nggak apa-apa," sahut gue, cukup membuat Saras menolehkan kepala. "Udah ah, nggak usah dipikirin, ya? Gue nggak apa-apa."

Saras senyum, buat gue senyum juga.

"Gue juga nggak apa-apa, Kirino." katanya.

Kirino. Gue tersenyum semakin lebar. "Ras, abis ini mau ketemu kembaran lo nggak?"

"Hah?"

Gue mengeluarkan HP, kemudian menunjukkan foto gue bareng mama. Saras menjulurkan kepala untuk melihat layar HP lebih dekat dan dia semakin mengerutkan dahinya.

"Nggak mirip?"

"Mirip," Gue mengangguk yakin. "Lo pasti kembaran Ibu gue, ya? Ngaku, nggak?"

"Idih." Saras meninju sebelah lengan gue pelan dan gue terkekeh karenanya.

"Nggak mirip, Kirino..."

"Tuh, kan, mirip!"

Saras menatap gue dengan pandangan lelah, sampai akhirnya gue ketawa. Iya, Saras, lo mirip mama. Cara lo menatap, cara lo bicara, cara lo memperhatikan... Itu cukup untuk buat gue yakin kalau cara-cara lo itu mirip dengan mama. Mungkin itu salah satu alasan dari sekian alasan kenapa perasaan nggak sopan ini datang. Sialan emang.

Renjana & KiwariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang