Saras
Di pesawat, di ketinggian ribuan kaki, aku melihat langit yang biru, terkadang juga aku melihat awan putih yang terlihat lembut itu. Rasanya ingin aku pegang dengan tanganku sendiri.
Aku lelah, ingin tidur sampai pesawat ini mendarat sempurna di bandara Internasional Juanda, tapi sayangnya aku tidak bisa tidur. Berkali-kali aku memejamkan mata dan tidak bisa membawaku ke alam mimpi. Tanganku juga memegang buku, tapi aku bahkan tidak membacanya.
Jadilah yang kulakukan sejak tadi hanya memandang ke langit luas. Aku melirik teman sebelahku, ada Caya yang duduk di tengah, serta Ino yang duduk di dekat lorong. Mereka berdua tidur. Aku menghela napas. Dari semua teman KKN, kenapa aku harus memiliki nomor duduk yang berdekatan dengan Kirino? Semesta memang suka bercanda.
Aku melirik lagi ke jendela, tiba-tiba teringat kejadian hampir tiga tahun yang lalu.
Saat itu cuaca cerah seperti langit yang kulihat siang ini, tapi hal yang sama tidak terjadi pada aku dan Bayu.
Aku menangis lama dalam mobilnya, entah berapa lama. Yang kuingat, saat itu kami harus mengakhiri hubungan.
"I'm sorry..."
Aku menggelengkan kepala. Berkali-kali Bayu meminta maaf dan aku tahu kalau itu bukan salahnya. Nggak ada yang salah di sini, Bayu.
"Maaf gue nggak bisa nepatin janji."
Aku menghela napas, menggelengkan kepala sekali lagi dengan kuat. Aku menemukan diriku tak bisa mengucapkan apa-apa, terlebih aku sudah menangis entah berapa lama. Suaraku hilang. Aku tidak bisa bersuara apa-apa selain menggelengkan kepala. Pandanganku cuma menunduk, melihat jari-jariku yang saling bertaut. Bahkan aku tidak punya keberanian untuk melihat wajah Bayu. Karena aku tahu, ketika aku melihatnya, tangisanku akan pecah lagi.
"Gue mungkin bukan teman yang baik," Bayu memulai lagi dengan suara pelan.
"Bukan sahabat yang baik.
Kakak yang baik.
Bahkan bukan pacar yang baik..."
Bayu menghela napasnya perlahan, "Tapi Ras, lo tau banget kalau gue udah berusaha semaksimal mungkin.
Dan lo juga temen, sahabat, kakak, adik, pacar yang baik bagi gue. Gue sama sekali nggak nyesel bisa kenal lo."
"Ras... nggak apa-apa, ya?" Kali ini Bayu menepuk punggung tanganku, ia bahkan mengelusnya dengan perlahan, membuat air mataku hampir menetes lagi.
"Hidup nggak selalu izinin kita banyak hal," katanya. "Dan kali ini, gue nggak dapet izin buat mempertahankan lo, Ras."
Mendengarnya, aku menangis. Air mataku keluar lagi. Tuhan, kenapa begini? Dengan cepat aku menghapus air mata dan begitu tanganku di atas pangkuanku lagi, Bayu mengenggam erat tanganku.
"Gue cuma berharap lo baik-baik aja. Gue akan selalu mendukung keputusan lo, selama itu baik."
Aku merasakan tanganku bergetar, dan Bayu terus menganggam tanganku erat-erat.
"Ras... kalau hidup nggak selalu ngasih izin, gue boleh izin meluk lo untuk yang terakhir kalinya?" Bayu menarik tubuhku perlahan sampai akhirnya aku berhasil menatap wajahnya. Dengan mataku yang berkaca-kaca, aku juga melihat wajah Bayu yang memerah menahan tangis.
Begitu aku mengangguk, bisa kurasakan pelukan hangat Bayu yang menjalar di tubuhku. Tangannya erat memelukku dan aku melakukan hal yang sama. Aku dan Bayu saling berbagi kehangatan, memeluk erat-erat untuk yang terakhir kalinya. Bisa kurasakan tangannya berusaha menenangkanku karena tangisanku pecah. Tapi aku tahu, Bayu juga diam-diam menangis karena tubuhnya beberapa kali bergetar di tanganku.
"Makasih, Ras. Makasih banget untuk selama ini."
Dalam pelukannya, aku cuma mengangguk.
"Gue sayang lo."
Aku juga.
Mataku terpejam begitu merasakan guncangan karena pesawat menabrak awan. Masa lalu... kenapa ia masih terlihat jelas meskipun sudah bertahun-tahun yang lalu?
Kenapa rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang?
Bay, are you fine? How are you doing? Are you really fine with your activities?
"Ras, nggak tidur?"
Aku menoleh cepat dan menemukan Ino sedang menatapku. Gelengan kepala disertai senyum kecil adalah jawabanku, sementara Ino masih menatapku.
"Kenapa?"
"Mata lo merah," katanya. "Ngantuk?"
"Ah... kayaknya keseringan nguap, tapi nggak bisa tidur. Jadi gini deh. Hehe."
"Pusing? Mau minum obat?" Ino menawarkan dan aku menggeleng.
"Nggak usah," jawabku, "Mudah-mudahan nanti di bis gue bisa tidur."
Ino mengangguk.
"Ras... sayang banget gue duduk di sini. Kalau gue di sebelah lo, lo boleh pinjem pundak gue."
Aku tertawa perlahan karena takut membangunkan Caya yang masih tidur. "Apaan? Gue nyender di jendela juga bisa."
"Buktinya sampai sekarang belum tidur," katanya. "Berarti lo nggak nyaman, kan?"
Aku bersiap membuka mulut, namun terhenti ketika mendengar suara Caya, "Kirino sialan, kalau mau ngalus jangan di sini," Caya melirik Ino dengan kesal, sementara yang dilirik cuma membuka mulutnya.
"Lah, bangun? Lanjut tidur aja, Cay."
"Nggak bisa, lo ganggu tidur gue aja," kata Caya dengan nada kesal. "Lo kalau mau gombalin anak orang ntar aja lah tunggu kita sampe bumi."
"Loh emang kita bukan di bumi?"
Aku tertawa perlahan dan tawaku memudar saat Caya melirik ke arahku. "Ras, kok lo tahan sih sama dia? Nggak jelas juga,"
"Eh, Anda jangan mempengaruhi pikiran Saras, ya!"
"Ck. Kirino, Kirino," Caya berdecak seraya menggelengkan kepala.
"Apa manggil-manggil gue?"
"Gas Anda belum abis-abis juga, ya."
---
A/N: halooo apa kabar teman-temanku tercinta??? Apakah ada yang masih inget dengan cerita ini? Huhu
Maaf nih baru lanjutin lagi cerita ini setelah sekian lama. Maaf juga kalau aku bawa-bawa masa lalu lagi huhu maaf ya, akunya bingung mau nulis apa jadi ya gini...
Oh iya, coba denger lagu yang di mulmed deh, lagunya enak dan cocok jadi backsound part ini :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana & Kiwari
FanfictionIni hanyalah kisah antara tiga manusia yang berusaha memahami apa yang dirasakan, serta waktu dan keadaan yang salah dengan orang yang (dirasa) tepat. - written by far, 2018-2020. cr name by: @eskalokal tw: mention of domestic violence