10

1.2K 311 14
                                    

Bayu

Gue pernah mendengar ini dari seseorang, kepalaku: kantor paling sibuk di dunia.

Pertama kali mendengarnya, gue cuma tertawa. Bukankah memang salah satu kerja otak adalah untuk berpikir? Dan berpikir, memerlukan usaha yang tidak mudah sehingga menuntut diri kita untuk lebih "sibuk" bekerja.

Seperti kali ini, gue mencoba mencocokkan informasi yang ada di otak gue, berusaha menekan tombol searching, tapi nggak menemukan infromasi apa pun soal bagaimana Kirino mengenal Saras? Sejak kapan?

"Wa'alaikumsalam."

Mata gue melebar saat mendengarnya. Ada nyeri yang nggak bisa gue gambarkan saat kembali mendengar hal itu dari Saras. Nyeri sekali lagi muncul saat Saras tersenyum canggung pada gue. Antara gue dan Saras memang udah nggak sama lagi sejak dua tahun yang lalu, tapi entah kenapa rasanya masih ada yang salah, terlebih saat gue lagi-lagi, melihat raut wajah Saras yang nggak bisa gue tebak.

Gue nggak bisa menahan diri untuk memanggil namanya, saat jelas-jelas Saras berusaha cepat meninggalkan tempat ini karena pasti ia merasa nggak nyaman.

Gue berusaha memanggil namanya dengan nada senormal mungkin, meskipun gue nggak bisa bohong kalau gue takut. Gue takut kalau Saras nggak sudi buat menjawab, atau bahkan membalikkan badannya.

Napas lega berhasil lolos begitu Saras membalikkan tubuhnya dan membalas panggilan gue. "Apa kabar, Ras?" Gue memberanikan diri bertanya, disusul senyum simpul yang gue harap nggak terlalu kelihatan aneh.

Saras di sana, masih terdiam selama beberapa detik. Mungkin ia masih memikirkan apa yang terjadi. Gue menelan ludah. Sama Ras, gue juga lagi mikir. Hah.

"Gue... baik."

Suara Saras berhasil mengembalikan diri gue. Gue mengerjap, kembali berusaha tersenyum saat melihat Saras cuma tersenyum beberapa detik. "Syukurlah," kata gue pelan. Niat gue pengen melanjutkan obrolan ini, tapi gue merasakan atmosfer yang nggak nyaman. Fazrin, Ino, Aul, Echa, bahkan Saras, seakan-akan menunggu gue untuk bicara. Gue bahkan paham kalau Fazrin dan Ino masih nggak mengerti dengan apa yang ada di hadapannya.

Pada akhirnya, gue tersenyum sekali lagi dan mengangguk pelan. Jawaban Saras yang cukup melegakan mungkin udah cukup bagi gue, sekali pun dia nggak nanya balik kabar gue gimana.

"Kapan-kapan ngobrol lagi, ya?"

Saras mengangguk, tanpa senyum. Melihatnya membuat senyum gue terasa getir. Gue cuma mengangguk saat Aul dan Echa melambaikan tangannya, pamit.

Helaan napas panjang keluar dari mulut gue. Sekali pandang, gue paham kalau Fazrin dan Ino menuntut penjelasan. Tapi gue cuma menggelengkan kepala saat Fazrin bertanya, "Kenapa lo nggak bilang kalau satu SMA juga sama Saras?"

"Nggak penting juga," kata gue pelan.

"Iya, sih," sahut Fazrin. "Tapi gue sama lo kan beberapa kali ketemu Aul sama Saras. Gue kira lo cuma kenal sama Aul."

Gue mengangguk-angguk, nggak menanggapi Fazrin lebih jauh. Kita bertiga memutuskan duduk karena dari tadi kita cuma berdiri. Nggak berapa lama, pesanan datang. Ino bertepuk tangan, membuat gue mengangkat sebelah alis.

"Asli, gue udah laper gara-gara nonton drama." kata Ino asal.

"Mulut, ya!" Gue melotot dan Ino tertawa sekali lagi.

"Lo ada masalah sama Saras apa gimana?" Pertanyaan Ino sukses membuat gue tersedak.

"Kenapa?" tanya gue setelah berhasil melancarkan kerongkongan.

"Nanya aja," Ino mengangkat bahunya cepat. Mata gue memicing, berusaha melihat Ino lebih dalam. Apa yang ada di pikirannya? Kenapa dia lebih memperhatikan soal obrolan gue dan Saras—dan menyimpulkan kalau gue sama Saras punya masalah?

Satu lagi, sejak kapan dia kenal Saras?

"Lo kenal Saras?"

Ino mengangguk cepat. Atensinya pada mangkuk bubur beralih pada gue saat bertanya detailnya.

"Gue cuma ketemu Saras sekali," kata Ino. Tangannya bergerak menyuapkan makanan ke dalam mulut, mengunyahnya, terus menelannya. "Dia kenalannya Pak Wisnu. Gue ketemu karena dia ada urusan sama Pak Wisnu, terus gitu, deh."

"Jangan bilang kalau Saras itu gebetan lo yang dibilang sama Aji?" kata Fazrin yang sukses membuat gue tersedak sekali lagi, sementara Ino tertawa keras.

"Sialan emang si Aji," kata Ino yang masih ketawa. "Nyebar gosip mulu dia."

Percakapan antara Fazrin dan Ino udah nggak gue dengar lagi. Gue fokus pada hal lain, tepatnya pada Saras, Ino, hubungan mereka yang meskipun kata Ino mereka berdua baru ketemu sekali, dan hal-hal lainnya yang nggak bisa gue jabarin.

Gue jadi paham sekarang, kenapa dulu Saras pernah mengatakan ini berkali-kali, kepalaku: kantor paling sibuk di dunia.

Karena di kepala gue kali ini, gue terlalu sibuk mencoba mengakses dan mencari informasi dengan cepat. Sayangnya, gue nggak menemukan apa-apa di sana. Gue blank.

A/N: setelah aku mikir lama banget dan penuh perdebatan dengan diri sendiri, akhirnya aku memberanikan diri buat nulis part Bayu. 😅

Renjana & KiwariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang