Kirino
"Ino, saya nggak paham kamu ada masalah apa, tapi kenapa tugas kamu bisa separah ini?"
Gue menghela napas mendengar itu. Senyum tipis muncul, tapi gue nggak mengatakan apa-apa. Memang saat gue mengerjakan salah satu tugas dari Pak Wisnu itu, gue nggak begitu niat dan mengerjakan seadanya. Mungkin kalau gue bukan asdosnya, nggak akan gue dipanggil karena tulisan gue yang katanya bukan seperti Kirino yang biasanya. Berhubung gue asdosnya, kalau ada yang kurang, pasti gue suka ditanya begini.
"Maaf, Pak."
Pak Wisnu menghela napas. "Terus kata anak-anak '18 kemarin kamu ngajarnya salah-salah terus. Kamu kenapa, Ino?"
Gue terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Karena memang saat kemarin mengajar, pikiran gue nggak ada di kelas. Pikiran gue ada di rumah. Tapi gue menggelengkan kepala sebagai jawaban dan, "Nggak apa-apa," pelan yang nggak meyakinkan.
Pak Wisnu menepuk punggung tangan gue sekilas. "Kalau kamu butuh cerita, nggak apa-apa cerita aja ke saya, Kirino."
—
"Wets, Pak Asdos dari mana jam segini baru pulang?"
Itu adalah kalimat yang langsung gue dengar begitu masuk kos. Dengan mudah gue bisa menemukan anak-anak—kecuali Bayu dan Felix—ngumpul di ruang tengah dengan aktivitasnya masing-masing. Gue nggak menyahut, kemudian mencomot sepotong martabak telur yang ada di meja.
"Cuci tangan dulu, Bang!" protes Esa.
Gue nggak menggubris, kemudian ikut duduk di sebelah Haris yang lagi sibuk dengan HP-nya.
"Halah, nggak cuci tangan juga nggak akan mati." komentar Aji.
Mulut gue udah gatel mau bales, tapi gue cuma menghela napas mendengar berbagai sahutan dari yang lain.
"Eh, hidup nggak ada yang tau, Ji." kata Esa.
Calvin ketawa. "Mampus diceramahin."
"Nah, hidup kan nggak ada yang tau. Berarti bener dong yang gue omongin?"
"Iya, tapi seenggaknya—"
"Lah kenapa lo yang jadi protes sih? Bang Ino aja diem?" Aji memotong ucapan Esa, membuat mata Esa melotot seketika. Esa cuma menghela napas, kemudian melihat gue. Seakan baru menyadari dengan ucapan Aji, semuanya menghentikan aktivitas dan menatap gue heran. Haris yang bahkan sejak tadi sibuk dengan HP-nya kini menatap gue.
Gue mengangkat sebelah alis. "Kenapa?"
"Lo kenapa?" Fazrin mewakili pertanyaan yang lain.
"Bang Ino..." Gue menoleh cepat untuk melihat Jusuf yang sejak tadi cuma ketawa dan menonton yang lain ribut.
"Kenapa?"
"Bang Ino... lagi capek, ya?" katanya.
Gue terdiam selama beberapa detik, kemudian tersenyum samar. "Gue ke atas dulu ya." Gue bangkit berdiri dan meninggalkan ruang tengah yang mendadak hening.
—
Setelah gue naik ke kamar untuk ganti baju dan simpen tas, gue pergi ke balkon. Gue sama sekali nggak berselera bergabung ke bawah dan ikut makan-makan. Meskipun dari atas kedengeran suara ribut Aji dan Calvin, disusul suara yang lainnya secara bergantian. Kayaknya seru, tapi gue nggak mood aja untuk ke bawah.
Di balkon, di antara baju-baju yang dijemur entah dari kapan, gue duduk dan melihat lampu-lampu yang nyala. Langit sama sekali nggak punya bintang, bahkan bulan juga ketutup awan. Gelap. Mata gue cuma bisa liat titik-titik lampu dari berbagai rumah, seolah-olah jadi pengganti bintang.
Gue memutar ponsel di tangan, ragu-ragu untuk menelepon. Helaan napas keluar begitu gue memberanikan diri memencet nomor.
"Halo, Ino. Kenapa, Nak?"
Gue mencoba tersenyum, tapi yang ada cuma senyum terpaksa yang pasti jelek banget kalau dilihat. "Hai, Ma. Mau nelepon aja."
Jeda beberapa detik. Gue nggak tahu harus bilang apa kali ini. Padahal biasanya, antara gue dan mama mengalir begitu aja berbagai obrolan yang menyenangkan.
"Jangan lupa makan ya, Kirino." Akhirnya mama mencoba memecah keheningan.
Gue mengangguk, lupa kalau mama nggak bisa lihat gestur gue.
"Jangan khawatirin—"
"Nggak bisa, Ma," potong gue cepat. Gue menarik satu tarikan napas. "Gimana Ino nggak khawatir sama Mama di sana?"
"Nggak apa-apa," Gue memejamkan mata saat mendengar suara mama yang begitu lembut, seolah-olah meyakinkan diri gue kalau dia baik-baik aja di sana. "Mama baik-baik aja."
Mata gue terbuka cepat. "Nggak bisa, Ma. Mama inget yang Ino bilang dulu? Udahan aja, Ma. Apa yang Mama liat dari dia?"
"Sstt, Ino sayang," Mama berkata lembut sekali lagi, membuat gue memejamkan mata cukup lama. "Jangan gitu, ya? Gimana pun, kalau Papa nggak ada, kamu nggak ada dong?" Mama terkekeh, tapi gue sama sekali nggak merasa itu lucu.
Sampai saat ini, gue nggak mengerti kenapa orang tua gue masih ingin mempertahankan pernikahan yang jelas-jelas udah nggak sehat. Bahkan, gue nggak ngerti kenapa orang yang gue sebut papa itu, bisa melakukan hal kejam pada orang yang dicintainya.
"Kapan dia balik ke Jepang?"
"Lusa."
Gue mengucap syukur dalam hati. Setidaknya papa nggak berlama-lama di rumah. Papa gue kerja di Jepang dan hanya beberapa kali dalam setahun pulang untuk menemui mama di rumah. Sayangnya, pertemuan hangat yang gue harapkan udah lama nggak terjadi. Yang ada, cuma pertemuan yang penuh caci maki dan jerit tangis.
"Maafin Ino karena nggak ada di sana—" Gue nggak sanggup melanjutkan. Kalau aja ini bukan masa-masa ujian dan deadline tugas, gue pasti memberanikan diri membeli tiket pulang. "Maafin Ino..."
"Nggak apa-apa. Kamu fokus belajar aja, ya? Mama sudah biasa kok."
Sudah biasa. Gue menghela napas, merasa ngilu tiba-tiba saat mendengarnya. "Tapi Ma—"
"Aduh, anak Mama yang ganteng ini jangan nangis dong?"
"Siapa yang nangis!"
Mama tertawa keras, membuat gue ikut tersenyum mendengarnya. "Ino kan khawatir—"
"Nggak apa-apa, sayang," Mama berkata lembut sekali lagi. "Lagian Mama ditemenin kucing kamu. Nih, mereka lagi duduk di sebelah Mama. Kamu kangen kucing kamu nggak?"
"Kangen."
Mama tertawa dan selanjutnya gue mencoba untuk nggak melanjutkan obrolan soal papa. Gue berbicara banyak soal kucing, kuliah, ngajar, bahkan soal anak-anak kos. Tapi setelah telepon terputus, gue cuma bengong lihat langit yang gelap. Helaan napas keluar saat tangan gue bergerak mengeluarkan rokok.
"Hei."
Gue mengerjap, memperhatikan Bayu yang ternyata udah datang. Entah sejak kapan dia ada di luar balkon mendengarkan gue. Mata gue mengikuti Bayu yang masuk ke balkon dan duduk di sebelah gue. Tangannya bergerak mengambil rokok dan menyalakannya duluan.
"Wah, lo nguping ya?" kata gue.
"Iya."
Gue ikut menyalakan rokok, kemudian menghisapnya dalam-dalam. Nggak ada satu pun dari kami yang mencoba memulai obrolan. Gue udah terbiasa ditemenin Bayu atau Fazrin kalau ada kejadian seperti ini. Bagaimanapun, hanya mereka berdua yang tau soal kekerasan di rumah gue.
Lama antara gue dan Bayu cuma diam, sibuk dengan rokok dan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Bayu memecah keheningan, "No, lo belum makan, kan? Tadi anak-anak pesen makan. Lo nggak usah bayar deh, gue yang bayarin. Lo abisin tuh rokok, terus makan, biar nggak sakit."
Gue ketawa. "Geli, bangsat."
"Diperhatiin malah ngelunjak."
———
Yhaaa tolong aku nulis ini sambil tahan tangis huhu kita sama No, pengen pulang tapi nggak bisa pulang. :(

KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana & Kiwari
FanfictionIni hanyalah kisah antara tiga manusia yang berusaha memahami apa yang dirasakan, serta waktu dan keadaan yang salah dengan orang yang (dirasa) tepat. - written by far, 2018-2020. cr name by: @eskalokal tw: mention of domestic violence