29

838 190 27
                                    

Saras

Pada suatu waktu saat wisuda Bayu, Echa mengirimkan pesan. Ia menanyakan apakah Bayu wisuda hari ini dan apakah aku akan datang.

Echa
Kak
Kak bayu wisuda hari ini?
Aku lg danusan es teh terus dia beli
Tapi kayaknya dia ga inget aku hehe
Kakak nanti dateng ga?

Aku menghela napas dan membiarkan pesan itu terbaca tanpa kubalas.

"Gue titip salam aja ya."

Aku selalu mengucapkan hal yang sama tiap kali Ino mengajakku untuk menghadiri wisuda Bayu.

Bukannya apa-apa, aku merasa tidak nyaman jika harus bertemu lagi dengan orang tua Bayu. Apalagi saat ini aku sedang berusaha 'sembuh'. Kalau aku bertemu mereka, aku takut perasaan bersalah muncul lagi perlahan-lahan.

Iya, mungkin memang ini alasanku saja karena takut bertemu mereka. Tapi, aku memang masih dalam proses penyembuhan—kalau saja aku bisa menyebutnya begitu.

Pernah mendengar istilah time heals everything? Katanya, waktu bakal menyembuhkan luka.

Pertanyaannya, apakah waktu selalu bersedia menunggu kita untuk menyembuhkan luka? Apakah luka bisa sembuh kalau kita nggak mau mengobatinya? Apakah luka, bisa semudah itu sembuh dengan menunggu waktu?

Iya, jawabannya nggak. Gimana luka bisa sembuh kalau kita cuma berpasrah dan nggak mau berusaha menyembuhkan luka? Meskipun di ujung cerita pasti luka itu akan mengering, tapi untuk mencapai itu bukan perjalanan yang mudah. Lukanya nggak sembuh kalau kamu nggak mau mengobati.

Dan lagi, waktu nggak selalu bersedia menunggu kita. Iya, Ras. Siapa yang bisa jamin waktu mau nunggu kamu untuk menyembuhkan luka? Toh, kamu sendiri yang merawat luka itu.

Setelah ini, setelah kamu berhasil menepati janji pada dirimu sendiri, setelah hampir empat tahun—tanpa sengaja—merawat luka, semoga kamu bisa terbebas dari luka-luka itu.

Akhirnya ya, Saras. Akhirnya, kamu berhasil lepas dengan luka itu. Tau apa lagi yang membuatmu bahagia hari ini, Ras?

Kamu menepati janjimu tiga tahun yang lalu.

Selamat, hari ini kamu terbebas. It’s time to move on. Finally, after a long time. You deserve to be happy, dear.

Semoga setelah ini, kamu tidak perlu merawat luka, ya? Kurang-kurangin jadi orang yang nggak menghargai jiwa dan ragamu, ya Saras.

Semoga kamu menemukan kebahagianmu di depan sana.

Hei, nggak apa-apa Saras, jalanmu masih panjang.

"Saras?"

Aku mengerjap saat Ino menyentuh pundakku pelan. Aku menoleh dan menemukan wajah Ino yang memandangku khawatir.

"Lo nggak apa-apa?"

Aku mengangguk, sambil berusaha menghapus air mata dengan tisu. Mata dan hidungku memerah karena menangis lama.

"Filmnya sedih." jawabku pelan sambil terus mencoba menghapus air mata.

"Bilang gue kalau lo mau keluar bioskop."

Aku mengangguk sekali lagi. Hari ini aku dan Ino menonton sebuah film. Sepanjang film, entah berapa kali aku menangis. Entah aku yang cengeng atau memang aku butuh 'pelarian' untuk menangis. Sampai film berakhir, aku masih menangis.

"Nggak apa-apa nangis aja," kata Ino pelan.

Mataku memperhatikan Ino, kemudian ia tersenyum dan berucap lagi, "Kayak kata Angkasa tadi, Ras, gimana mau bahagia kalau sedih aja nggak tau rasanya?"

"Semoga abis ini lo bahagia ya, Saras."

Aku tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Gue pernah janji sama diri sendiri, No."

Ino mengerutkan dahi karena tiba-tiba saja aku membicarakan hal lain. "Janji apa?"

"Gue bakal berhenti mikirin masa lalu kalau udah ketemu orang yang baik. Maksud baik di sini itu ya baik dalam artian baik ke gue kayak apa ya... gue nggak bisa jelasinnya tapi intinya, baik dan sesayang itu sama gue, kayak Bayu dulu."

Ino mengerjapkan mata, kemudian senyumnya merekah menjadi lebih lebar. "Terus udah ketemu?"

Aku mengangguk, ikut tersenyum.

"Siapa?"

Aku tertawa, tidak ingin menjawabnya. Tawaku semakin kencang saat Ino menanyakan ini, "Mau gue peluk nggak?"

"Buat apa?"

"Siapa tau butuh sandaran abis nangis."

Aku tertawa lagi, tapi kemudian aku mengangguk dan Ino di sebelahku malah melotot dan membuka mulutnya.

"Hah? Sumpah?"

"I need a hug," jawabku pelan. "Tapi nanti aja ya, credit title-nya udah mau abis tuh." Aku menunjuk layar bioskop dengan dagu, Ino ikut melirik layar dan menyengir.

"Kalau nggak di sini emang mau di mana? Di kamar gue di kosan?"

"Heh!" Aku memukul lengannya kencang. "Istigfar, No, istigfar..."

"Hehe bercanda sayang."

"Apaan sih, pacar aja bukan ngapain sayang-sayangan?"

"Nggak apa-apa, latihan. Nanti juga jadi pacar."

Aku tertawa sekali lagi. Dalam hati, aku bersyukur karena bisa bertemu dan kenal dengannya.

Kirino, dia orang yang baik. Seperti kata Bayu, dia orang yang baik dan entah sejak kapan, aku ingin mengenalnya lebih jauh.

---

A/N: Kalau ada waktu coba deh nonton film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, filmnya bagus dan worth it untuk ditonton.

Satu part lagi dan cerita ini selesai jadi aku mohon maaf kalau ada kurang-kurangnya huhu jadi sedih :(

Renjana & KiwariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang