Bayu
Saras suka membaca fiksi, termasuk membaca puisi-puisi yang sering nggak gue paham apa artinya. Nggak sekali dua kali Saras membacakan puisi-puisi itu, meskipun gue suka meringis setelah Saras selesai membacakannya. Meringis bukan karena gue geli, tapi karena gue nggak paham.
"Nggak ngerti,"
Saras selalu ketawa kalau gue bilang begitu. "Nggak apa-apa."
Selanjutnya gue mengerutkan dahi begitu melihat tangan Saras yang mengulurkan buku puisi ke gue. "Kenapa?"
"Aku pinjemin," katanya. "Kamu baca ya. Balikinnya nanti aja kalau udah selesai kamu baca."
"Buku yang kemaren kamu pinjemin belum selesai lho,"
Saras ketawa. "Nggak apa-apa."
"Nggak apa-apa mulu," sahut gue cepat. "Nanti aja, aku selesain yang kemaren dulu."
Saras menggelengkan kepala dan bersikeras meminjamkan buku lagi. Padahal, masih ada beberapa buku punya dia yang belum gue selesain. Tapi akhirnya, gue tetap menerimanya, karena Saras bilang gini waktu gue tanya kenapa dia suka meminjamkan bukunya ke orang terdekatnya.
"Aku suka, Bay. Rasanya seneng aja kalau aku pinjemin buku ke orang lain, apalagi kalau aku pinjemin ke orang yang spesial,"
"Berarti aku spesial?" Gue tersenyum melihat Saras yang langsung menutupi wajah dengan kedua tangannya.
"Apaan sih, Bay, jangan senyum-senyum, aku malu."
Gue ketawa dan mencoba menarik kedua tangan Saras. "Jangan ditutup dong, kamu belum jawab pertanyaanku, lho?"
"Iya..." sahut Saras pelan.
"Hah, apa yang iya?" jawab gue. "Nggak kedengeran, nih,"
"Iya, Bayu," jawab Saras masih dengan kedua tangan yang menutupi muka.
"Apaan sih, iya apa? Nggak kedengeran," Gue mencoba menarik tangan Saras sekali lagi, tapi Saras tetap menempelkan kedua telapaknya kuat-kuat di muka. "Ah yang jelas dong ngomongnya, iya apa? Iya kalau aku spesial?"
"Aduh, iya Bayu!" Saras membuka telapak tangan dan langsung menggebuk gue dengan buku.
Gue melotot karena kaget, detik berikutnya gue senyum-senyum lihat Saras yang nutup mukanya lagi pakai sebelah tangan, sementara tangannya yang lain memegang sedotan.
"Liat apaan," ucap gue karena Saras minum dengan pandangan menunduk. "Orang spesialnya ada di depan masa dianggurin, sih?"
Saras menghela napas dan akhirnya dia natap gue. "Udah dong, Bay..." Ekspresi wajahnya bikin gue senyum-senyum lagi.
"Bay, aku pulang nih, ya?" Saras membereskan buku dan gue menggeleng cepat.
"Oke, oke, nggak!" Gue berusaha mengontrol senyum dan membuang napas. "Kenapa kamu percaya kalau aku bakal balikin buku-buku kamu?"
"Percaya aja," Saras tersenyum simpul. "Lagian, aku yakin kamu bakal cepet baca fiksi."
Kenyataannya, gue belum selesai membaca buku-buku yang Saras pinjamkan itu. Ada lima buku puisi dan satu kumpulan cerpen yang Saras pinjamkan. Semuanya belum gue kembaliin ke Saras. Butuh usaha yang lebih untuk gue membaca satu puisi. Kalau udah baca satu puisi, bukunya gue tutup. Mungkin kalau novel, gue masih bisa menerima. Puisi, nggak tau kenapa, masih terlalu "jauh" bagi gue untuk paham. Cuma beberapa puisi yang berhasil masuk ke gue.
Gue nggak yakin bisa menyelesaikan buku-buku itu. Bukunya masih ada di gue dan bahkan gue bawa ke kosan. Gue bawa dengan harapan bisa nyicil baca dan mengembalikannya suatu hari. Tapi kenyataannya, hampir tiga tahun gue nggak bisa menyelesaikan enam buku yang dipinjamkan Saras.
Saras beranggapan gue akan cepat membaca fiksi karena gue terbiasa membaca non-fiksi. Kenyataannya, membaca fiksi yang dulu berat bagi gue, jadi semakin berat saat ini.
Membaca buku-buku yang dipinjamkan Saras, berarti membaca juga memori-memori lama. Mungkin, itulah alasan kenapa gue nggak pernah selesai membaca kesemua buku pinjaman itu.
Dan hari ini, ketika gue nggak sengaja ketemu Saras dan dia nggak menghindari gue, ada perasaan lega yang muncul tiba-tiba. Meskipun sedetik kemudian, gue masih nggak terima karena Saras ketawa karena orang lain. Dia ketawa karena orang lain, bukan karena gue lagi.
Sejak gue memasuki kamar kos, kegiatan gue cuma memandangi enam buku Saras yang belum gue selesaikan itu. Dan iya, ingatan gue jadi ke mana-mana waktu lihat judulnya aja.
Gue menghela napas, mengulurkan tangan untuk mengambil salah satu buku. Gue membuka halaman secara acak dan membacanya. Setelah membacanya, gue bahkan nggak tahu harus apa.
Ada sesuatu yang hilang dalam diri gue sendiri.
Mungkin, mungkin, itu alasan Saras suka puisi. Puisi—dan lagu—menjadi medium ketika kita nggak bisa berkata-kata lagi. Karena puisi dan lagu, berhasil mewakilkan perasaan kita.
Dan puisi yang gue baca secara acak ini, sudah cukup mewakili perasaan gue sekarang.
Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di mana-mana. Di udara dingin yang menyusup di bawah pintu atau di baris-baris puisi lama yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa jauh. Di sepasang mata gelandangan yang menyerupai jendela rumah berbulan-bulan tidak dibersihkan atau di balon warna-warni yang melepaskan diri dari tangan seorang bocah.
Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di jalan-jalan yang lengang atau bangku-bangku taman yang kosong. Aku menemukanmu di salju yang menutupi kota seperti perpustakaan raksasa yang meleleh. Aku menemukanmu di gerai-gerai kopi, udara, dan aroma makanan yang kurang atau terlalu matang.
Aku menemukanmu berbaring di kamarku yang kosong saat aku pulang dengan kamera dan kepala berisi orang-orang murung yang tidak kukenal. Kau sedang menyimak lagu yang selalu kau putar. Buku cerita yang belum kelar kau baca telungkup bagai bayi tidur di dadamu. Tidak sopan, katamu, mengerjakan hal lain sambil menyimak kesedihan dinyanyikan.
Akhirnya kau hilang. Kau meninggalkan aku — dan kenangan kini satu-satunya masa depan yang tersisa.
———
A/N: Hai, hai! Huhu aku nulis apaan yak. Nulis sendiri galau sendiri huhu Bayu I'm so sorry! You'll be fine someday, tungguin ya. :')
Oh iya, silakan putar video di mulmed karena itu Bayu sekali hahaha.
Sekian dulu dan salam dari Bayu yang lagi baca!
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana & Kiwari
FanfictionIni hanyalah kisah antara tiga manusia yang berusaha memahami apa yang dirasakan, serta waktu dan keadaan yang salah dengan orang yang (dirasa) tepat. - written by far, 2018-2020. cr name by: @eskalokal tw: mention of domestic violence