23

916 220 39
                                    

Saras

Aku pernah beberapa kali bertemu Aji, yang kalau kata Ino, anaknya lucu dan gemesin tapi kadang-kadang Ino mau plesterin mulutnya Aji kalau dia mulai berisik.

Lucu jika mengingat Aji pernah mengirimkan chat kepadaku dan ternyata ia masih ingat isi chat-nya apa.

"Oh... Ini yang namanya Mbak Saras?" tanya Aji waktu aku mampir ke kosannya Ino, karena ada barang Ino yang tertinggal. Waktu itu aku menunggu di teras karena rasanya aku tidak berani masuk ke dalam kosan. Begitu Ino masuk ke dalam kosan, terdengar suara ribut-ribut di dalam, bahkan aku mendengar suara Bayu, tapi kemudian Aji datang dan duduk di teras, menemaniku mengobrol.

Aku memberikan senyum. "Iya, Aji,"

"Jadi, udah ketemu Brahma, belum?"

"Hah?" Aku gagal paham, kemudian beberapa detik setelahnya aku tertawa pelan karena mulai paham. "Oh... belum?"

Aji mengernyitkan dahi. "Kenapa belum? Padahal kan ada dua orang yang 'antri' jadi Brahma?"

"Hah?" Aku gagal paham lagi. Aku membuka mulut, tapi tidak jadi karena tiba-tiba ada seseorang lagi yang datang. Fazrin berdiri di ambang pintu, tersenyum.

"Ji, jangan ngomong yang aneh-aneh, gue duduk di dalem kedengeran lo ngomong apaan," katanya. "Lo nggak mau nanti suasana kos jadi aneh, kan?"

"Hehehe," Aji nyengir ke Fazrin, selanjutnya dia menoleh ke arahku. "Nggak jadi, Mbak, bercanda doang, kok. Hehehe."

Aku tersenyum, tidak tahu harus merespon apa. Kepalaku cuma mengangguk saat Fazrin pamit masuk ke dalam lagi.

"Kalau ngobrol sama orang yang suka bercanda, gimana kita tau itu beneran atau cuma bercanda?" tanyaku.

Aji membulatkan mata, menggelengkan kepala dramatis. "Wah, ini nih, Mbak! Saya suka sedih waktu ngomong serius malah dianggap bercanda, ngomong bercanda malah dianggap serius. Jadi, jawabannya, saya juga nggak tau..."

Aku mengangguk, kemudian menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara Ino. "Ras, abis ini COD-an dulu ya sebentar,"

"Wah..."

Aku memperhatikan ekspresi Aji yang sulit kuartikan. "Kenapa?"

"Nggak apa-apa, hehe," sahut Aji cepat.

"Ji, duluan, ya," Ino menepuk bahu Aji sekilas.

Aku mengangguk, kemudian berdiri dari duduk. "Dah, Aji?"

"Dadah, Mbak!" Aji melambaikan tangan saat aku mengikuti Ino yang sudah lebih dulu berjalan.

"Bang Ino!" panggil Aji tiba-tiba, berhasil membuat Ino dan aku menoleh bersamaan.

"Apa?"

"Jangan banyak bercanda, Bang,"

"Apaan?" Ino ketawa keras, tak berapa lama ia tersenyum lebar ke arahku. "Ayo?"

Aku ikut tersenyum, meski dengan pikiran yang akhir-akhir ini sering mengangguku. Kalau ngobrol sama orang yang suka bercanda, bagaimana kita tau itu beneran atau cuma bercanda?

Aku berpikir begitu bukan tanpa sebab. Di antara semua teman KKN, Ino termasuk yang paling sering mengajakku mengobrol. Kadang kalau dia mulai ngomong yang aneh-aneh, aku nggak bisa untuk nggak ketawa. Entah itu ketawa yang benar-benar ketawa, ketawa garing bahkan sampai ketawa karena terpaksa. Apa pun itu, setidaknya Ino sering berhasil membuatku heran. Misalnya, seperti kejadian ini.

"Halo, Mbak, namanya siapa?" Ino tiba-tiba saja mengulurkan tangannya saat kami masih menunggu rapat dimulai.

"Kan, udah kenal?"

Renjana & KiwariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang