Kirino
Beberapa kali, gue sering dengar orang bilang gini ke mama, "Kenapa keluar dari kerja? Padahal sayang."
Terus mama gue cuma senyum sambil bilang, "Nggak apa-apa, jadi ibu rumah tangga juga termasuk pekerjaan."
Gue dulu nggak paham, tapi sekarang gue paham kenapa mama memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Mama yang pernah menjadi pekerja kantoran terus merasa bersalah—sama gue dan papa—karena menurutnya, mama belum maksimal mengurus rumah tangga. Padahal gue dan papa memaklumi. Lagian, masih ada yang bantuin ngurus rumah kalau mama lagi kerja. Tapi tetep, mama bilang, dia kehilangan waktunya sama keluarga.
Setelah mama berhenti kerja, tentu kami menjadi lebih sering quality time—kalau kata orang-orang. Tapi sayangnya, masa-masa yang terlihat bahagia itu adalah awal mula hilangnya kepercayaan antara mama dan papa. Melihat orang tua berantem di depan gue sendiri, bikin gue makin sedih. Gue nggak punya tempat buat berbagi cerita karena gue anak tunggal. Gue sedih, tapi kalau gue memperlihatkan kesedihan di depan mama, mama akan lebih sedih lagi. Jadilah gue selalu berusaha nelen perasaan gue sendiri.
Gue baru berani cerita setelah satu tahun ketemu Bayu dan Fazrin. Mereka berdua jadi tempat curhat gue soal keluarga, sekaligus jadi orang yang mau nyadarin gue. Kata Bayu waktu itu—yang masih gue inget sampai sekarang, "No, kalau lo sedih, nangis aja. Jangan ditahan-ditahan. Nahan perasaan bikin kita lupa kalau manusia punya perasaan itu."
Setelah itu, gue menelepon mama dan bilang berhenti aja kalau capek dengan rumah tangga yang nggak sehat itu. Tapi mama selalu bilang nggak apa-apa soalnya mama selalu seneng kalau liat gue dan papa senyum setelah datang ke rumah. Katanya, "Senyum kamu sama Papa itu bayaran yang cukup, No."
Kenapa mendadak gue ngomongin soal mama dan ibu rumah tangga? Soalnya sekarang gue lagi nyuci. Iya, gue harus nyuci sendiri dan mengurangi laundry karena gue harus nabung buat KKN. Cuci baju sendiri pakai tangan buat gue mikir kalau mama di seluruh dunia ini orang yang hebat. Gila ya, kuat banget mereka, tapi juga dalamnya rapuh. Gue jadi inget kalau pernah baca kalimat ini di internet:
DICARI: Orang dewasa yang berkepribadian matang, bisa bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, sabar, teguh, dan dapat memotivasi diri sendiri. Harus mengurusi orang-orang yang kadang-kadang sangat manja, sulit, dan rewel. Tugas termasuk berbelanja, mengatur keuangan, bersih-bersih rumah, memberi konseling, memasak, dan memberikan pertolongan pertama. Diprioritaskan yang memiliki kendaraan. Memiliki komitmen seumur hidup dan tidak perlu pendidikan formal. Tidak ada pelatihan. Tidak ada kompensasi uang, tetapi tunjangan tambahan besar.
Hormat gue untuk seluruh mama yang ada di seluruh dunia ini.
-
Gue bawa baju yang selesai gue cuci ke balkon. Sambil jemur baju, gue humming lagu Lah Bodo Amat. Gue tau lagu itu gara-gara di kosan kedatangan paket album Bodo. Tau siapa yang pesen album itu? Jinendra. Yak, akhirnya dia setel itu lagu di kosan. Penghuni kos yang lain? Kesel, apalagi gue sama Cal. Si Haris bagian tim ketawa, Esa dan Felix tim senyum manis alias udah capek ngurusin Aji, Bayu dan Jusuf tim menghela napas alias udah capek ngurusin Aji bagian dua, dan Fazrin tim "Kecilin volumenya, Ji,"
"Bodo amat~ bacot amat—anjing!" Gue yang lagi asyik nyanyi otomatis berkata kasar saat lihat Bayu duduk di kursi.
Bayu natap gue dengan sorot menghakimi. "Gue manusia, bukan anjing."
Gue ketawa, ikut duduk di kursi sebelahnya yang masih kosong. "Nggak keliatan, Bro," Gue mengintip buku yang lagi dipegang Bayu, kemudian melihat ekspresi Bayu yang serius. "Ngapain lu?"
Bayu menunjuk asbak yang sudah terisi dengan abu rokok, setelahnya Bayu menunjukkan sampul buku yang ia pegang. Aku Ini Binatang Jalang. Chairil Anwar. Gue ber-oh pelan. "Tumben?"
Bayu nggak menjawab, ia malah nanya hal lain dengan mata yang masih fokus dengan buku. "Tumben lo nyuci?"
"Sori, gue mau KKN."
Bayu mengangkat kepala. Matanya terlihat kaget sampai gue ketawa karenanya. "Nggak salah, kan?"
Bayu menggeleng. "Mau KKN ke mana emang?"
"Jauh," sahut gue. "Lo bakal susuh ngehubungi gue jadi jangan kangen, ya, Bay,"
Bayu menunjukkan wajah yang menghakimi, tapi gue ketawa aja. Bayu kemudian lanjut baca dan mengabaikan candaan gue. Hah. Bayu, Bayu. Mahasiswa sibuk yang disegani banyak orang ini ternyata kalah sama masa lalu. Tapi lagian, apa masa lalu untuk "dikalahkan"? Mungkin harusnya gue bilang kalau Bayu masih belum bisa berdamai.
"Bay,"
"Hmm,"
"Ada orang yang bilang gini ke gue,"
"Apa?" tanya Bayu tanpa mengalihkan pandangan dari buku.
"Kalau lo sedih, nangis aja. Jangan ditahan-ditahan. Nahan perasaan bikin kita lupa kalau manusia punya perasaan itu."
Bayu melirik gue cepat dan menatap gue lama. Detik berikutnya ia tersenyum. Gue ikut tersenyum, menepuk bahunya sekilas.
"Nggak apa-apa kalau lo lagi capek, Bay, yang penting jangan lupa tidur sama makan."
———

KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana & Kiwari
Hayran KurguIni hanyalah kisah antara tiga manusia yang berusaha memahami apa yang dirasakan, serta waktu dan keadaan yang salah dengan orang yang (dirasa) tepat. - written by far, 2018-2020. cr name by: @eskalokal tw: mention of domestic violence