Saras
Nggak apa-apa, berarti selera bacaan lo bagus.
Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepalaku. Bukan, bukan karena kata-kata itu diucapkan oleh Kirino—maksudku Ino. Tapi, kata-kata serupa pernah diucapkan oleh seseorang beberapa tahun lalu.
"Ya nggak apa-apa? Kenapa harus khawatir sama penilaian orang lain kalau lo punya selera sendiri? Selera bacaan lo bagus-bagus kok. Gue suka sama rekomendasi buku lo."
Satu kalimat dari orang asing—Ino masih menjadi orang asing bagiku, ia tidak lebih dari asdos Pak Wisnu yang resmi menjadi temanku beberapa menit lalu—dengan mudahnya membuatku mengingat hal yang seharusnya tak aku ingat.
Aku bisa apa selain terdiam selama beberapa detik setelah mendengar kata-kata itu?
Aku menghela napas panjang, tak berselera lagi untuk melanjutkan membaca buku yang belum kuselesaikan itu. Ino sudah pergi sejak lima belas menit yang lalu, tapi aku sama sekali tidak ingin meninggalkan tempat ini. Ada sesuatu yang membuatku enggan beranjak meninggalkan tempat duduk, meskipun aku hanya diam dan terbengong-bengong menatap lalu lintas kendaraan dari balik jendela.
"Saras!"
Aku tersentak, kemudian menemukan salah satu teman SMA, Aul, melambaikan tangannya sambil menghampiriku cepat.
Aul duduk di hadapanku, di kursi yang sebelumnya diduduki oleh Ino. "Sendirian aja lo?"
"Ya menurut lo aja gimana?" Aku tertawa saat melihat Aul memutar bola matanya.
"Siapa tau temen lo lagi di toilet atau masih di jalan, kan? Makanya gue tanya."
Aku tertawa mendengarnya. "Iya, iya, gue paham," Aku menunjuk gelas minum yang isinya hampir habis dan menunjuk buku di sebelahnya. "Gue sendirian di sini."
Aul mengerutkan dahi. "Apa hubungannya buku dan minuman dengan kesendirian? Tolong ya gue gagal paham."
Aku menyengir. "Ya... ada aja?"
"Aneh, pantes lo jomlo," Aul berseloroh, "Makanya hidup tuh dipake main coba, jangan serius-serius amat."
"Iya, Ibu..."
"Heh, jangan iya iya aja. Gue udah capek bilang gini, tapi please Ras, I want to see your beautiful smile again."
Aku terdiam agak lama, kemudian tersenyum tipis. "Thanks."
"Nggak butuh itu," sergah Aul cepat. "Buat apa lo berterimakasih pada orang lain kalau diri sendiri aja nggak lo apresiasi?"
Aku tersentak mendengarnya. Bisa kulihat lewat mata bahwa Aul benar-benar lelah dengan semua ini. Aul bukan hanya teman satu satu universitas, tapi ia juga tetanggaku sekaligus teman SMA. Ia paham pikiran apa yang sering mengangguku. Ia paham masalah apa yang sering membuatku hilang fokus.
Ia paham dan ingin semuanya segera berakhir.
"Tolong berhenti menyalahkan diri sendiri, Ras... Semua yang dulu bukan salah lo. Dan gue yakin, dia nggak akan suka liat lo begini."
Aku memejamkan mata, sekelebat bayangan masa lalu hampir menguasai pikiranku lagi. Segera aku mencengkeram pinggiran meja dan mengembuskan napas panjang. Mataku terbuka perlahan dan menemukan Aul masih duduk di sana dengan tatapan tulus dan senyum meminta tolong di wajahnya.
"Lo... mau bantu gue?"
Dan Aul tiba-tiba saja berdiri dari duduknya dan menghampiriku. Ia memelukku erat dan berbisik, "Selalu, Saras. Selalu. Gue akan bantu lo sebisa mungkin. Lo akan baik-baik aja."
Gue membalas pelukannya, tersenyum samar. "Makasih, ya...."
"Aduh, dibilang gue nggak butuh itu!" Aul melepas pelukan dan menatapku tajam. "Nih, mulai detik ini deh gue bantu. Lo mau kenalan sama temen gue nggak? Dia—"
"Bentar," Aku mengangkat sebelah tangan. "Kenapa jadi ngenalin temen lo?"
Aul mengerutkan dahi. "Lo mau cari gebetan, kan?"
Aku tertawa mendengarnya. Apa yang dipikiran Aul adalah membantuku dengan mencari pengganti alias mencari gebetan. Tapi yang kumaksud bukan itu. Kepalaku menggeleng dan Aul mengangkat bahunya tak mengerti.
"Terus apa?"
"Cukup jadi pendengar yang baik dan temenin gue kalau gue udah merasa nggak sanggup. Itu aja cukup untuk lo bantu gue."
"Oh..." Aul mengangguk paham. "Terus kapan lo—"
"Move on?" potoku cepat, disusul anggukan cepat pula dari Aul.
"Nanti. Nanti kalau waktunya tiba dan gue siap."
"Nanti itu kapan ya? Abstrak banget jawaban lo." sahut Aul pelan.
Aku tertawa. "Siapa yang bisa nebak isi hati seseorang sih, Ul? Lo doain aja gue cepet ketemu yang pas."
Aul memutar bola mata. "Dari dua tahun, hampir tiga tahun malah, lo ngomong gitu mulu. Nggak capek apa?"
"Capek," jawabku pelan, "Tapi kalau kata Aan Mansyur, lebih mudah mencintai semua orang daripada melupakan satu orang."
Aul menghela napas panjang. "Iya iya paham. Nggak usah curhat bawa-bawa Aan Mansyur segala kenapa sih?"
Tawa pelan keluar dari mulutku, kemudian aku menunjuk seseorang yang baru saja memasuki kafe. "Tuh, pacar lo datang,"
Aul menoleh dan melambaikan tangannya heboh. Begitu pacarnya menyadari, aku segera bangkit dari duduk. Segera perhatian Aul kembali padaku.
"Mau ke mana?"
"Pulang lah, nanti gue jadi obat nyamuk lagi."
Aul tertawa, kemudian menepuk bahuku pelan. "Lo kalau mau cari gebetan bilang ya ke gue, nanti gue kenalin—"
"Iyaaa, berisik ah lo."
"Siap, gue tunggu comeback lo."
Dan aku tak bisa apa-apa selain tertawa mendengarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana & Kiwari
FanfictionIni hanyalah kisah antara tiga manusia yang berusaha memahami apa yang dirasakan, serta waktu dan keadaan yang salah dengan orang yang (dirasa) tepat. - written by far, 2018-2020. cr name by: @eskalokal tw: mention of domestic violence