Bab 2

4.8K 258 8
                                    

Mungkin saat ini aku berada dalam fase sulit. Dimana harus belajar lebih mendewasakan diri. Belajar untuk lebih bersabar lagi dari sebelumnya. Setelah penolakan lamaran itu, sama sekali ayah tidak mau mengajak aku untuk berbicara. Boro-boro menyapa, menatap saja enggan.

Menyangkut suasana rumah agak sedikit gerah. Aku lebih memilih untuk berangkat kerja lebih pagi. Tak sanggup bila diacuhkan oleh ayah. Saat berpapasan ayah selalu membuang muka. Maka dari itu aku lebih baik menghindar untuk sementara waktu.

"Bun, Ayes berangkat ya."

Bunda menatapku sejenak sebelum menjawa. Aku tahu bunda juga kecewa dengan pilihan kemarin. Tetapi sifat bunda sedikit berbeda dengan ayah yang sedikit keras. Mungkin saja bunda lebih mengerti dengan kondisiku.

"Ya sudah, hati-hati di jalan, kalau bisa sebelum kerja sarapan dulu,"
Aku kaget mendengar nada suara bunda sedikit berbeda dari biasanya.

"Iya, Bun. Assalamualaikum!" ragu-ragu aki meraih telapak tangan bunda.

"Waalaikumsalam!" tanpa sepatah kata lagi, bunda membalikan badan begitu saja. Melanjutkan kegiatan memasaknya yang terhenti.
Aku menelan saliva yang terasa menyangkut di tenggorokan.

"Kak, mau Rin anter?"

Aku menoleh pada Rin yang sejak tadi berdiri di balik meja. Memamerkan senyum termanisnya disana. Aku menggeleng pelan.

"Gak usah Rin. Kakak jalan kaki aja."

Dengan berat hati aku mulai membawa langkah keluar rumah. Yang pastinya dengan hati sedikit tidak nyaman. Disamping Rin masih mengikutiku.

"Kak, yang sabar ya," Rin mengandeng lenganku. Mengosok-gosoknya dengan pelan. Seolah ia memberi dorongan semangat untukku. "Nanti siang ayah dan bunda bakalan baik lagi kok."

Aku mangguk beberapa kali. Harapan aku pun juga sama. Semoga ayah dan bunda mendapatkan hidayah dan tidak bersikap seperti itu lagi. Jujur saja hati ini merasa tertekan dengan sikap mereka yang terlalu memaksa.
.
.
.
Oh ya aku bekerja di sebuah toko dessert terbesar di kota Bekasi, yang menyajikan makanan manis. seperti kue, roti, aku chefnya di sana.

Dari kecil aku suka memasak. Terutama masak makanan manis-manis. Dan aku suka cake.

Tempat kerjaku juga tidak jauh dari rumah, jalan kaki 10 menit sampai.

Sambil memasang headset sebelah di kuping kiri. Berjalan sambil bersenandung kecil mengikuti irama musik. Menelusuri trotoar yang ramai. Tanpa sadar ada seseorang yang mengejutkan aku dari belakang.
Menoleh kecang melihat apa yang ada di sana dan setelah mengetahui, aku kembali terperanjat. Aku sontak mengucap istigfar.

"Astagfirullah!" satu tanganku mengusap dada.

"Kenapa, Yes. Kok ngeliat aku kek liat hantu."

Dia Harun Abizar. Yang kamaren melamar aku dadakan. Udah kayak tahu bulet aja digoreng dadakan. Yang benar saja.

"Ah eh i-itu, sorry," jawabku gagu.

"Ngapain dia disini."

Harun menggeleng kepala seraya tersenyum manja. Eh bukan tersenyum biasa saja di mataku. Walau kata si puput senyum dia manis seperti kue ulang tahun adiknya.

Tahu kan si puput? Belom ya. Aku kenalin deh nanti. Tapi sekarang aku akan kasih bocoran. Dia sahabatku sejak SMP. Saking senengnya berteman denganku yang baik ini dan tidak pelit ini. dia selalu saja mengekor kemana pun aku pergi. Hingga tempat kerja kami pun sama. Sama-sama satu jurusan kuliah dibidang tata boga juga.

"Mau kerja ya?" suara Harun kembali menggema di pendengaranku.

Ya iyalah kerja, Gila saja pagi-pagi begini kita mau ke salon, yang bener saja dikau mas. Aku berdehem kecil dan meanggukan kepala singkat. Tanpa melihat dirinya yang berdiri kokoh di hadapanku. Bodo lah di katakan sombong.

"Oh, yuk aku antar!"

"Eh?" sontak kepalaku mendongak ke atas. Karna nyatanya dia memang sangat tinggi bila berdiri bersamaku. Aku hanya wanita bertubuh kecil yang tingginya rata-rata. Makanya aku tidak bisa daftar jadi model. Ehem ...

"Gak usah deh, udah deket juga, makasih. Kamu juga mau kerja kan? Kalau gitu aku jalan duluan ya."

Jujur saja tak ingin berlama-lama mengobrol di tepi jalan dengan seorang lelaki. Rasanya aneh saja orang-orang menatap kami. Aku melangkah lebih lebar lagi dari yang tadi. Biar cepat tiba ketempat mencari sesuap nasi.

Namun si tiang listrik tak jua nyerah. Dia mengikutiku berusaha menyamakan langkah.

Malas berbicara aku bungkam pandangan lurus kedepan. Aku sadar kalau si odong-odong masih memandangi.

"Yes?" pangilnya.

Aku menoleh sekilas.

"Aku kesini mau minta izin ke kamu."

Aku mengerjitkan dahi. Minta izin? Memang aku ini emaknya harus minta izin segala. Mau ngapain sih!

"Kamu sudah menolak lamaran aku kemaren, tapi itu gak membuat aku menyerah, aku akan coba merebut hati kamu, Yesha. Untuk mau merima lamaran aku yang kedua."

Aku terpaksa menghentikan langkah dan kembali menatap si burung unta yang menyebalkan ini.

"Maksud kamu apa?"

"Aku ingin menghalalkan kamu, Ayesha!" ujarnya tanpa basa-basi.

Aku mengembuskan nafas jengah. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa menerimanya. Tapi heran saja. Ada ya orang seperti dia. Yang jelas-jelas sudah tahu hubungan aku dan Vino lebih dari teman. Bukan pacaran ya. Intinya Alvino lelaki spesial dalam hidupku. Gak dosakan? Gak aja lah biar cepet.

Aku kembali memandang si tiang listrik. Bingung mau ngucapin kata apa ke dia. Aku berusaha menyusun sebuah kalimat indah untuknya. Tapi otak ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Alhasil bibirku hanya bisa melontarkan kata terbodoh sedunia.

"Terserah kamu!"

Aku membalikan tubuh 180 derjat untuk melanjutkan perjalanan menuju istana roti. Padahal tadi aku sudah menepatkan waktu yang akan terpakai hanya 10 menit. Tapi kali ini lebih dari 20 menit. Kan sangat menyebalkan dia nya. Dasar odong-odong dua ribuan.

Aku terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Entah dia masih bernafas disana atau tidak. Malas mikir. Yang pasti aku tidak suka dia. Titik!

Semoga syuka ya.
Makasi ^^

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang