Tepat jam dua siang, kami tiba di madrasah. Aku duduk berselonjoran di atas kursi kayu menghadap ke lapangan. Di sana banyak siswa madrasah tengah asik mengriing bola ke ring. Seru juga menontonnya, jadi keinget masa lalu ketika masih memakai seragam sekolah.
Tadinya Aku menolak ajakan Vino untuk ikut masuk ke kantor ustad shaleh kepala sekolah. Ya, aku pikir untuk apa lagian mereka membahas soal pesantren dan nggak mau mengganggu obrolan mereka juga. Dan lagi pula sejak tadi pun aku nggak menemukan Arini di sekitar sini.
Hem, kenapa pula aku jadi keingat perempuan itu terus sih. Tiba-tiba saja perasaanku berubah nggak tenang. Aku bangkit dari kursi berjalan menuju ruang di mana Vino menghilang.
Dengan langkah santai sembari memperhatikan ruang kelas di ujung sana aku melihat papan kecil di atas pintu bertulisan kantor kepala sekolah. Setiba di depan pintu itu samar-samar aku mendengar pembicaraan Vino dengan seseorang pria.
Aku mengintip dari balik pintu yang tak tertutup rapat.
"Vino, kamu anak didik yang paling saya banggakan, dan saya nggak akan ragu menurunkan semua warisan ini padamu."
"Maaf Ustad maksudnya apa ya."
"Begini, Saya hanya memiliki satu anak perempuan, dan sudah saatnya dia kulepas pada seorang pemuda yang baik, pemuda itu tentu saya maunya seperti kamu."
Jantungku seketika berdegup kencang mendengar omongan pria paruh baya itu. Yang aku yakini dia ayahnya Arini si ustad Sholeh yang Vino bicarakan.
Meski aku belum paham maksud tujuan perkataannya dan merasa bersalah mencuri dengar obrolan orang lain, aku juga merasa berhak mengetahuinya. Dari firasat yang tidak enak mengundang ras penasaran. Aku menajamkan pendengaran ke dalam ruang itu.
"Vino, jadikan putriku Arini istri keduamu, karena saya tau, sejak dulu dia menyimpan rasa kagum untukmu, saya sebagai orang tua serta guru bagimu, memohon dengan sangat untuk mengabulkan permintaan ini."
Astagfirullah alazim!
Astagfirullah alazim!Tak kentara bibir ini mengucapkan istighfar untuk penguat diri. Tubuhku gemetar dan hatiku terasa sakit bagai diiris-iris selembar silet.
Jahat sekali ustadz itu dengan memberi permintaan yang seenaknya.
Aku paham poligami itu dibolehkan. Tapi, entah kenapa hati kecilku berteriak tidak terima.
Ya Allah, Aku belum siap untuk berbagi suami.
"Ayesha?"
Aku sedikit terperanjat mendengar suara Vino dari dalam. Juga baru sadar kalau dia mengetahui kehadiranku di balik pintu.
Entahlah, mendengar suara Vino saat ini aku merasakan tonjolan Isak yang sudah sampai di ujung tenggorokan. Lalu tangis itu keluar dengan sendirinya.
"Sayang kenapa, kok kamu menangis?"
Sampai hati kamu masih berani bertanya kenapa aku menangis. Aku memandang Vino dengan tatapan terluka meski itu bukan keinginannya.
Rasa ingin pergi dari tempat ini sudah berkumpul besar di hati. Aku mengayunkan kaki menelusuri koridor itu hingga halaman dan terus keluar menuju gerbang. Mengabaikan panggilan Vino yang terdengar cemas.
Aku sempat menoleh ke belakang di mana Vino tengah berusaha mengajakku.
Sungguh, aku tidak peduli. Rasa sakit hati ini membuat diriku untuk terus menjauh darinya.
Setelah berhasil menghentikan sebuah taksi. Menaiki dan meminta sopir itu untuk menjalankan dengan cepat.
Dalam Isak tangis yang terus meledak, bahkan supir taksi bertanya-tanya beberapa kali atas kondisi ini. Aku tetap tidak menjawab. Tanpa sadar taksi sudah berhenti di depan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Ayesha (Lanjut S2)
RomantizmPart lengkap, untuk bagian dua tersedia di Innovel dan Dream** Bekasi, 5 Januari 2019 Untuk Miyas Alvino Assalamualaikum Apa kabarnya? aku berharap kamu dalam keadaan sehat dan selalu dilindungi oleh Allah, Aamiin. Sudah lama tidak berjumpa ya, maa...