Bab 18

1.9K 137 8
                                    

Dia ibarat lentera dalam gelapnya mimpi burukku
.
.
.

Awalnya aku mengira hidupku akan berakhir.  Kenyataan yang terjadi berhasil membuat hadupku terguncang sesaat.
Beruntung diri ini dikelilingi oleh orang-orang baik dan kuat imannya. Membantu untuk bangkit tanpa pernah mau meninggalkan. Diingatkan selalu untuk tawakal dan berikhtiar.  Bersyukur karena Allah subhanahu wa ta'ala masih memberi kesempatan untukku hidup di bumi.

Semakin tinggi kedudukan seorang hamba maka semakin tinggi pula ujian yang akan menimpanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 214 yang artinya, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

Kehilangan sebagian anggota tubuh, diganti dengan seorang bidadari cantik, baik budi dan lembut hatinya. Entah, harus berapa kali aku mengucap syukur untuk kado dari Allah.

Ayesha Azizah.

Gadis manis yang selama ini selalu memenuhi isi pikiranku. Selalu berhasil membuat jantung ini meloncat tak karuan ketika melihat senyumnya. Dia ibarat lentera dalam gelapnya mimpi burukku.

"Vin, apapun yang terjadi pada kamu nanti, itu nggak akan mengubah pilihanku," katanya.  Mendengar itu rasa kuatir yang selama ini aku bendung hilang sudah. Tidak menyangka dia masih mau menerima kekurangan yang aku alami.

"Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan."

Aku ingin memandang wajah indah itu lebih lama.

"Kabar baik?"

Lagi-lagi dia tersenyum manis, berhasil mengusik sisi jiwaku yang lemah,"Ayah sudah membatalkan perjodohan itu, dan ayah juga ingin bertemu sama kamu untuk membahas tentang kita."

Tentang kita? Apa ini jawaban atas doa-doa itu. Tadinya aku mengira dia akan marah karena ucapan tadi, yang seolah aku sama sekali tidak mempercayainya. Beruntung Ayesha perempuan berhati lembut.

"Alhamdulilah. Terima kasih Ya Allah." Berkali-kali berucap syukur,"aku senang dengarnya, Yesha."

Dia tersenyum kembali di posisi berdirinya. Apa kalian tahu dia begitu cantik dengan khimar hitam yang ia kenakan. Cocok dengan kulit wajahnya yang putih. Kadang sesekali aku menemukan rona merah terbit begitu saja dipipi ketika aku memandangnya lama.  Bagiku dia salah satu ciptaan Tuhanku yang sempurna.

"Aku harap kamu nggak terlalu banyak pikiran sebelum melaksanakan operasi, jangan stres ya, aku selalu doakan kesehatan untuk kamu, jangan berhenti untuk meminta pada-Nya. Hanya Allah penolong terbaik."

Masya Allah, sejuk mendengar kalimat per kalimat yang keluar dari bibirnya. Penuh dengan dukungan dan kasih sayang. Rasanya ingin sekali cepat-cepat menghalalkan kamu Yesha.
.
.
Cukup lama kami berdiri di tempat orang berlalu lalang. Aku mengajak Yesha untuk segera masuk ke dalam. Di mana kedua orang tuaku sudah menantinya.

Aku merasakan gelagat aneh dari Yesha. Jalannya yang semakin melambat.

"Vin, kok ibu sama bapak ada di sana?" bisiknya. Aku tersenyum, apa dia grogi bertemu dengan kedua orang tuaku.

"Iya, kan mereka yang ingin ketemu kamu."

"Apa? Tapi kan ...," Dia menjeda ucapanya, dan aku tertawa kecil menyaksikan gerak bola matanya yang tidak sedikitpun bisa tenang."kenapa nggaak bilang dari tadi sih, aku belum siap ketemu mereka dadakan kayak gini."

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang