Seperti tersesat di sebuah labirin. Ingin keluar tapi tidak tahu arah mana yang mau ditempuh. Sudah berulang kali berusaha mencari celah, selalu menemukan jalan buntu.
Sungguh, aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tiba-tiba saja Ayah memutuskan sendiri tanggal pernikahanku dengan Harun. Tanpa lebih dulu meminta persetujuan dari anaknya sendiri.
Sejak sore itu, saat pertengkaran aku dengan Harun. Ia sama sekali tidak menunjukan mukanya lagi. Aku kira dia benar-benar sudah mengerti dan faham dengan apa yang ku mau. Namun, itu salah. Entah apa yang dia lakukan sehingga Ayah mau saja menerima permintaannya.
Aku memandang tidak percaya pada pria yang sangat berjasa dalam hidupku. Sungguh, bukan lagi seorang ayah yang kukenal dulu, Ayah yang bijak, adil, tegas. Selalu mementingkan keluarga. Tapi kenapa sekarang berubah seperti orang asing.
"Ayes nggak faham apa yang Ayah bilang, kan sudah jelas kalau Ayes menolak lamaran itu beberapa minggu yang lalu, kenapa sekarang tiba-tiba aja Ayah memutuskan pernikahan Ayes sebulan lagi?"
"Ini untuk kebaikan kamu, Ayes. lihat umur dan keadaan kamu sekarang, sering melakukan kegiatan di luar, sudah saatnya ada yang menjaga dan melindungi kamu kan."
Bukan ini jawaban yang aku mau dari Ayah. Hatiku pilu mendengar kata-kata itu. Kenapa dengan umur? Menarik nafas, mencoba sekuat tenaga membuang amarah yang membelenggu dalam dada. Memantapkan pandangan pada pria paruh baya yang sangat aku sayangi ini, ia duduk bersandar di kursi dengan wajah datarnya.
"Dari sisi mana Ayah melihat kalau pernikahan ini baik untuk Ayes? Coba jelasin, Yah. Padahal Ayah baru kenal dengan keluarga Harun, dari mana Ayah tau kalau dia baik untuk Ayes."
Ayah menatap aku lurus, pandangan tajam itu tak lagi teduh. Yang biasanya tempat aku berkeluh kesah, pandangan nyaman yang bikin tentram, sekarang benar-benar sudah hilang. Ayah membangunkan tubuhnya hingga duduk tegap. Di sampingnya ada Bunda terlihat gelisah dengan perdebatan ini. Kedua adikku juga ikut menguping di balik pembatas ruang.
"Jadi kamu kira Ayah sudah salah pilih tindakan, begitu? Selama ini calon suami kamu terlihat baik, apa Ayah salah menilai dia begitu!"
"Nggak salah, Yah. Tapi nggak harus juga kan Ayah langsung menerima lamaran dia, Ayes—"
Ucapanku disela begitu saja oleh Ayah, wajah datar tadi berubah memerah.
"Cukup! Ini sudah keputusan Ayah. Ini terbaik untuk kamu!""Tapi Ayes berhak memilih, Yah! Ayes punya pilihan sendiri, Ayah gak bisa seenaknya ambil keputusan begini!"
Tanpa sadar aku sudah mementak Ayah. Serta bicara dengan nada tinggi. Sungguh ini benar di luar kendali. Aku langsung beristigfar sebanyak mungkin. Memejamkan kedua mata. Tubuh ini gemetar, telapak tangan juga ikut berkeringat. Merasa bersalah dengan apa yang aku perbuat barusan.Aku menaikan pandangan menatap kedua orang tuaku yang kini sama-sama terdiam, "Maaf, Ayes gak bermaksud begitu."
Ayah berdiri dari duduknya, dengan pandangan masih mengarah padaku. Kedua tangannya mengepal erat. Aku tahu ia sangat marah sekarang.
"Ayah!" cegah Bunda mencoba menenangkan suaminya. Ayah menoleh pada Bunda sekilas lalu kembali menatapku.
"Siapa pilihan kamu? kenalin ke Ayah secepatnya, jika sebulan ini laki-laki pilihan kamu itu belum datang dan menghadap pada Ayah untuk melamar, kamu harus menerima lamaran Harun, faham!"
Aku tersentak mendengar ucapan itu, ingin memberi penjelasan lagi pada ayah, tapi Ayah sudah dulu menghilang di balik pintu kamar.
Aku termenung memikirkan ucapan Ayah. Wajarkah seorang Ayah memberi pilihan seperti itu? Menyulitkan anaknya sendiri, tanpa mau menerima atau mendengar penjelasan lebih dulu. Apa aku ini bukan anaknya?Kenapa dia begitu tega mengancam darah dagingnya sendiri.
Mataku mulai memanas, pandangan kabur oleh linangan air mata. Aku tak kuat lagi menahan tangis. Tidak dipedulikan oleh orang tua sendiri. Rasanya lebih sakit dari patah hati karena putus cinta.
Bunda beserta kedua adikku, sudah mulai duduk mendekat. Mereka mengelilingiku dengan wajah prihatin. Memeluk tubuh ini seolah menyalurkan kekuatan untukku.
***
Sudah dua hari berlalu, aku menjalani aktifitas seperti biasa. Bedanya semangat yang kupunya sedikit menurun. Sudah terkuras karena memikirkan permintaan Ayah waktu itu.
Satu bulan, waktu yang aku miliki sekarang.
Bagaimana caranya aku bisa bertemu dengan Vino. Cara menghubungi dia saja aku pun tidak tahu. Lalu bagaimana juga aku memberitahukan permintaan Ayah padanya.
Huff!
Berjalan di atas trotoar dengan pikiran berkecamuk. Aku menengadah melihat langit mendung, sudah dua hari Bekasi diselimuti hujan deras tiap pagi. Tapi beruntung pagi ini tidak turun hujan. Yah, katakan saja kalau hari ini aku sedang beruntung.
Mood sudah jelek, berharap jangan ada yang bikin mood ini semakin jelek. Apa lagi di tengah jalan begini turun hujan, bisa-bisa tubuhku basah sebelum tiba di Istana Roti.
Melangkah lesu menerobos pintu kaca tempat kerjaku, pertama yang aku temui di sana ialah, Puput sahabat gendutku. Tengah bersantai duduk di sofa, kedua tangannya berisi minuman susu dan cake coklat. Bibirnya tak henti mengunyah, sesekali menyedu cangkir susu hangat itu dengan nikmat.
Bahagia sekali hidup si endut, terlihat tanpa beban dan masalah.
Apa aku coba juga cara hidup dia, gemukin badan, cuek dan masa bodoh dengan apa yang terjadi. Apa aku bisa? Jelas aku tidak bisa.
Masalah kami tentu berbeda.Ah bodohnya aku!
Puput menyadari kedatanganku. Ia bangun dan berlari mendekat. Lalu bergelayutan di sisiku, Sambil menyeringai, "Ayes, akhirnya kamu datang juga, aku rindu!"
Mengernyitkan dahi, temanku satu ini kadang terlalu lebai,"Rindu? Tiap hari ketemu juga."
"Iya Ayes, aku tuh selalu rindu ama kamu."
Aku menyibir, dan ikut duduk di tempat ia duduk tadi. Masih pukul 6 pagi, masih ada waktu untuk bersantai sejenak. Ujung jariku bawa untuk mencolek ujung cake milik Puput di atas piring.
"Tumben pilih rasa stroberi, biasanya karamel mulu.""Iya, lagi pengen ajah!" ucap Puput melanjutkan makannya,"Ayo ikut Yes, aku yakin kamu belum sarapan kan? Masih banyak nih, dan masih ada waktu sebelum kita mulai perang di dapur, hehehe!"
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Puput, lalu mangguk dan ikut menikmati cake itu. Benar, rasa manis cake bisa sedikit mengobati kegalauanku saat ini. Rasanya hatiku sedikit tenang.
"Kenapa sih Ay, akhir-akhir ini kamu terlihat gak bersemangat, kalau ada masalah cerita ke aku sih."
Menaikan pandangan menatap Puput. Mungkin ia menyadari kondisiku saat ini. Mengulas senyum padanya lalu menggeleng singkat, "nggak papa kok, Put."
"Jangan bohong, Ayes. Aku tau kamu lagi ada masalah, ketahuan dari sikap kamu yang nggak biasa, kita nggak kenal hanya beberapa hari lalu loh, dah bertahun-tahun."
Tiba-tiba saja selera makanku menghilang, karena teringat pertengkaran dengan Ayah tentang pernikahan mendadak itu. Menarik nafas panjang, apa ada baiknya jika aku berbagi cerita pada Puput?
"Ceritalah, nggak baik disembunyiin."
Menghela nafas panjang,
"Aku bingung, Put. Aku nggak tau harus gimana."Sesak, bagian dada terasa sakit sekarang. Entah kenapa saat-saat seperti ini air mata selalu saja ingin keluar. Kenapa sih wanita itu terlalu cengeng? Apa-apa selalu saja dengan air mata. Aku benci dilihat lemah, tapi bagaimana mencegahnya.
Suara isakanku mulai keluar, Puput merapatkan tubuhnya lalu memelukku. Ia menunggu lanjutan cerita tadi.
Kembali menghela nafas, ini sudah kesekian kalianya. Hatiku terasa sangat sesak. Aku mulai menceritakan semuanya pada Puput. Diiringi isak tangisku.
Selamat membaca ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Ayesha (Lanjut S2)
RomancePart lengkap, untuk bagian dua tersedia di Innovel dan Dream** Bekasi, 5 Januari 2019 Untuk Miyas Alvino Assalamualaikum Apa kabarnya? aku berharap kamu dalam keadaan sehat dan selalu dilindungi oleh Allah, Aamiin. Sudah lama tidak berjumpa ya, maa...