Bab 3

4.1K 211 17
                                    

"Ayes!"

Itu Suara manjah puput memangil aku dari dalam. Ia berlari menghampiri dengan senyum sumringah. Bobot badannya yang lumayan besar berhasil membuat aku meringis takut. Takut aja kalau karung goni itu jatuh guling-guling di atas ubin. Kan kasihan ubinnya, retak.

"Udah, jangan lari-lari, Put. Nanti kamu jatuh!"

"Hallah, paling jatohnya juga ke bawah," jawabnya enteng, lalu seenaknya bergantungan di lenganku seperti bocah baru ketemu ibunya.

Satu tanganku mencubit pipinya yang tembom, "Ya iyalah ke bawah, kalau ke atas mah gak jatoh, tapi terbang ndut!"

Dia terkekeh geli,"Sakit, Yes! Jahat bangat sama temen."

"Makanya jangan lari-lari di depan aku, ngeri tau gak," pungkas ku terus berjalan ke arah dapur, di sana sudah ada Mas Dino dan Mbak Lusi menyapa senang. Mereka chef senior. Hampir empat tahun bekerja di sini.

"Btw, tadi kamu di antar Abi?"

"Abi?" Sedikit bingung dengan pertanyaan Puput. Aku memandangnya penuh.

"Abizar, Ayes. Harun Abizar! Masa kamu nggak gak faham juga sih!"

Mulut aku membulat faham. Baru teringat bahwa Puput memanggil Harun dengan pangilan itu. Abi? Malah aku teringat pada jenis bahan masakan yang sudah dikemas dalam bentuk terasi. Suka dijual satuanya gopean di warung sayur. Sering banget tuh adik-adik aku pake terasi yang ada rasa abinya untuk dicampurin ke sambal. Sambal terasi rasa abi.

"Jadi bener?"

Aku menatap Puput lurus, "Nggak!"

"Tadi di atas ojek aku lihat kamu ngobrol bereng dia menuju sini."

"Tadinya dia emang mau anter, tapi ku tolak!"

"Dih, sadis banget!"

Aku mengangkat kedua bahu acuh. Setelah menyimpan tas di lemari. Aku berjalan menuju meja tempat biasaku berkarya membuat berbagai jenis kue dan roti. Aku suka bereksperimen dalam pembuatan roti. Apa lagi rasa-rasa yang di ciptakan harus selalu baru. Itu sebabnya aku masih di pertahanin bekerja di sini. Karena hasil karya aku itu digemari oleh para pelanggan.

Bukannya sombong ya, itu nyata. Yang pasti setiap mengadon adonan, selain resep yang memang top, aku tuh juga pake hati bikinnya, penuh cinta serta kasih sayang. Makanya rasa roti-roti buatan aku itu unik.

Salah satu roti andalan aku tuh namanya roti besball, roti bulat mirip bola besball, dalamnya yang lumer, lembut dengan paduan rasa buah-buahan sedikit campuran coklat dan vanila. Kebayang gak rasanya kek gimana?  Makanya mampir ke istana roti di kota bekasi, Apa lagi bisa ketemu aku Ayesya. Cihuy!

"Trus trus, ngapain dia samperin kamu."

Ya ampun, aku menoleh cepat pada Puput, heran dengan si endut satu ini. Kirain dia sudah berhenti dari bertanya-tanya, dan fokus pada pekerjaan yang menanti. Ternyata oh ternyata dia masih penasaran pemirsa.
Aku menghela nafas sejenak sebelum kembali bersuara.

"Kemaren dia datang ke rumah untuk lamar aku, aku tolak, dan sepertinya dia tidak terima, tadi dia temui aku lagi untuk minta izin kalau dia bakalan datang melamar ntuk yang ke dua kalinya," aku berbicara tanpa jeda menceritakan semuanya pada Puput. Biar penyakit keponya terobati. Baikkan aku?

Namun apa yang terjadi, si Puput endut yang emesin, pipinya mirip bakpao yang pengen bangat digigit, melongo tak berkutik mendengar semua itu. Aku mengibas-ngibas telapak tangan depan wajahnya. Ketika sadar dia terbelalak.

"Apa! Abi lamar kamu, Ayes?"

Teriakan Puput berhasil mengundang perhatian chef lain.
Sontak aku langsung mencubit perut dia yang kenyal. Puput pun teriak sejadi-jadinya menahan geli. Dan aku masa bodoh. Aku terus mencubit Puput hingga puas.

"Biasa aja donk, jangan teriak-teriak! Ngeselin!"

Puput terkekeh lagi, sambil menutup mulutnya dengan tangan," Maaf, aku reflek," ucapnya dan mendekatkan tubuhnya sedikit merapat dengan tubuhku yang kecil. Kalau seandainya aku ini cokelat batangan bisa jadi aku ketelan dalam kolam susu yang gede kek badan Puput. Jadi lah minuman susu rasa cokelat.

"Ciusan kamu di lamar, Abi? Ko bisa?" aku meringis mendengar ungkapanya,"Padahal selera dia bukan cewe macam kamu, Yes."

Aku meangakat satu alis. Berpikir, seolah aku ini seorang wanita hina, tapi fikiran itu aku buang jauh-jauh, berusaha untuk tidak tersingung dengan ucapan Puput. Karena aku tahu kalau dia tidak bermaksud begitu,"Jadi, selera dia cewe kek kamu?" tunjukku mengarah pada tubuh Puput yang beratnya hampir 75 kg itu.

"Ngaur! Aku sadar diri kali," aku terkekeh geli mendapati bibir Puput maju dua senti. tidak terima melihat aku ketawa seperti ini. Dia memukul bahuku cukup kencang dan aku kembali meringis.

Sebenarnya Puput itu cewek manis, berlesung pipi, hidung jambu, bibirnya kecil, hanya saja badannya yang kelebihan berat. Padahal waktu SMA gak gemuk-gemuk amat. Sejak kuliah beratnya memang sudah mulai naik, tapi ketika bekerja sebagai chef, alhasil berat badanya semakin bertambah. Kenapa nggak, tiada absen mulutnya mencicipi roti-roti di sini. Setelahnya, menjelang pulang sempet-sempetnya dia bawa beberapa bungkus roti untuk di rumah. Katanya sih buat ilangin bete.  Geleng-geleng kepala!

Aku mengajak Puput untuk memulai pekerjaan, tidak enak pada teman-teman lain. Sejak tadi sudah serius dengan tepung-tepung di hadapanya. Beberaa jam lagi para pembeli pasti akan berdatangan.

Tempat kerja aku ada dua lantai. Lantai pertama, bagian belakang dapur, bagian depannya rak-rak roti tersusun dengan rapi. Lantai ke dua itu mirip sebuah cafe. Gak hanya roti saja yang kami hidangkan di sini, seperti minuman, dan cemilan kecil juga ada. Yang pasti pas banget untuk bersantai bagi kaula muda, tua, besar kecil.
Belom dekorasi ruangnya yang maskulin serta iringan musik dari penyanyi di pangung kecil itu.

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang