Bab 26

1.8K 126 11
                                    

Tidak disangka kesembuhan Vino cukup pesat. Setelah seorang fisioterapis memasangkan kaki palsu ke tubuh Vino di hari ke 12 ia di rawat.

Aku cukup terkejut, zaman sekarang memang canggih teknologinya. Kaki yang di pasang benar-benar bisa berfungsi meski ngak sesempurna kaki pemberian Ilahi. Setidaknya suamiku bisa berjalan di antara satu besi sebagai menyangga itu dengan tersenyum lebar.

Alhamdullilah, karunia Allah memang begitu nikmat. Aku ikut bahagia melihat Vino kembali ceria setelah beberapa hari ini mengeluh sakit.  Mungkin, itu di karenakan proses penyembuhan setelah pasca operasi.

Kini perhatianku beralih pada dokter Frans yang sudah kembali duduk di kursinya. Setelah ia menyuruh seorang perawat laki-laki yang lebih muda darinya untuk mengantikan melatih Vino berjalan.

"Dok,  apa suami aku sudah boleh pulang setelah ini?"

"Tentu!" katanya tersenyum senang. Ia menghentikan kegiatan membaca suatu berkas untuk beralih memandangku."tapi sebelum itu Ibu harus mengetahui bagaimana cara merawat kaki palsunya ketika di rumah nanti, supaya tidak ada pembengkakan atau pun infeksi pada luka."

Aku mengangguk. Dokter memberi sebuah kertas yang tertulis di sana cara-cara merawat kaki palsu. Menjelang tidur, bagun tidur, ketika hendak mandi dan masih banyak lagi. Itu semua demi kesahatan kaki Vino.

"Mohon di jaga berat badan ideal pak Vino ya, Bu. Supaya kaki palsunya tetap nyaman di pakai."

Itu terakhir penjelasan dokter padaku. Setelahnya kami kembali fokus pada Vino yang tengah berlatih. Dia begitu semangat melangkahkan kaki-kakinya ke depan.
.
.
.
Minggu pagi, aku siap berberes-beres semua barang-barang di atas nakas. Merapikan ke dalam dua tas ransel. Karena hari ini Vino sudah diizinkan pulang.

Huff! Lega. Akhirnya bisa keluar juga dari ruangan sempit ini. Dan terbebas dari bau obat-obatan yang bikin perut mual.

Getaran ponsel dalam hand bag menggangu kegiatanku. Seperti petanda pesan masuk, buru-buru merogohnya dan mengambil alat pipih itu. Ternyata pesan dari Alisa.

Setelah mengetahui isi pesan itu, aku beralih memandang suami tercinta yang tengah asih menonton TV dari atas ranjang.

"Aa, kita naik taksi aja ya, soalnya Alisa nggak bisa jemput."

Dia menoleh dan mengangguk sekilas,"Kita langsung ke rumah ibu apa gimana?"

"Langsung ke rumah ibu aja, Ayes udah bilang ke bunda kalau kita nginap di sana."

"Iya, tapi nggak papa kan kita tinggal di rumah ibu."

Aku mengernyit bingung padanya dan ikut duduk di ujung kasur,"Kenapa Aa nanya begitu? Kan emang gilirannya kita tinggal di rumah ibu sebelum pindah ke Bandung."

"A'a takut aja kalau Ayes masih ingin tinggal di rumah bunda, tapi malah kepaksa pindah ke rumah ibu."

"Ayes nggak kepaksa kok, lagian sekarang kita harus adil membagi waktu, antara ke rumah orang tua aku atau ke rumah orang tua A'a, biar mereka sama-sama senang."

Dia tersenyum,"Jadi bener nggak papa, Ayes nggk merasa kepaksa kan?"

Menghela nafas, cubitan kecil dariku langsung mendarat di lengannya kirinya gemes.

"Aduuh, kok A'a di cubit sih, Yang!" keluhnya.

"Habisnya A'a ngeselin, udah di jelasin barusan, Ayes nggak kepaksa, masih aja nanya gitu."

Dia cikikikan,"Kan cuma memastikan lagi, kalau Ayes nggak kepaksa, takutnya nanti malam-malam nangis gara-gara pisah ama bunda."

"Iih, apaan sih, emang Ayes anak TK!"

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang