Bab 14

2.2K 165 3
                                    

Jam sudah menunjukan pukul 11:54 siang. Adzan pun sudah berkumandang dua menit yang lalu. Bu Nining mengajak kami untuk sholat berjamaah di mushola kecil tepat berada di belakang rumahnya. Sambil menunggu iqomat, aku lebih memilih berdiri saja.

Darahku berdesir ketika bertemu pandang dengan Vino yang baru saja memasuki mushola di bantu oleh om Furqan suami Bu Nur.

Bahkan aku melewatkan senyuman Vino yang dia lemparkan padaku ketika kami bertemu pandang.

Aku masih kesal padanya tapi juga iba. Melihat kondisi Vino sekarang. Rasanya ingin membantu merawat tapi apalah daya kami bukan seseorang yang bisa saling bersentuhan.

Impian untuk menjadi mahramnya saja telah gagal, karena dia sudah lebih dulu mengalah sebelum berperang. Padahal kan seorang wanita sangat senang diperjuangkan oleh lelaki yang ia sukai.

Sudahlah Yesha, kalau memang seperti itu kemauan Vino.

Akhirnya iqomat sudah mulai dikumandangkan. Kami membentuk saf rapi dan rapat. Di depan aku sempat melihat sedikit perdebatan pada tiga orang laki-laki yang ikut sholat dzuhur siang ini. Tanpa diduga Vino bersedia untuk menjadi imam.

Ah, coba saja sholat berjamaahnya saat magrip atau isya, mungkin aku bisa mendengar suara indah Vino ketika melantunkan ayat-ayat Allah. Sungguh, aku merindukan itu.
.
.
Hingga jam makan siang pun tiba, sebelumnya aku sudah membantu Alisa dan Bu Nur menyiapkan bahan-bahan untuk di masak. Setelah itu aku di usir dari dapur katanya tamu duduk saja.

Tak enak juga hanya duduk bersantai. Dari pada tidak membantu sama sekali aku mencoba merapikan meja makan saja. Menata piring dan peralatan makan lainnya. Lalu menyapu lantai rumah hingga bersih. Tapi ketika bu Nur mengetahuinya aku kembali di omeli.

Ah, bukan diomel secara kasar sih, beliau hanya tak enak hati jika aku ikut beberes.

Mereka kenapa sih, terlalu baik menurutku.

Dari pada melamun di dalam aku memilih jalan-jalan di area perkarangan. Di depan dan samping rumah terbentang kebun bawang dan cabe. Pemandangan luas itu sungguh menakjubkan. Apalagi udara yang terhirup juga segar. Ah damai bangat kalau tinggal di sini, jauh dari polusi dan bising.

Iya puaskan dulu saja cuci mata dengan keindahan alam ini. Setelah makan siang aku berencana izin pamit untuk pulang ke Bekasi bareng Puput. 

"Assalamualiakum!"

Aku tersentak kaget mendengar salam dari seseorang di belakang. Setelah mengetahui siapa pemilik suara itu. Aku kembali salah tingkah.

"Wa-waalaikumusalam!"

Saking terkesima sama pemandangan aku sampai tak sadar kehadiran Vino.

"Lagi apa sendirian di sini, Yesha?"

"Nggak lagi apa-apa, pemandangannya indah jadi suka aja lihatnya."

Vino bergumam merespon ucapanku. Dan kami kembali diam, hampir beberapa menit tak ada obrolan di antara kami.

Dulu di saat suasana seperti ini Vino paling ahli mencairkan suasana. Aku memandang keberadaan Vino ke samping. Jarak yang hanya satu meter itu membuatku risih. Risih karena sejak kedatangan dia jantungku terus berdegup.

"Maaf, atas ucapan aku tadi pagi."

Aku cukup paham sama maksud ucapannya. Maaf untuk niat dia berhenti memperjuangkan aku pada ayah.

"Nggak seharusnya aku melukai perasaan kamu dengan kata-kata itu."

"Iya."
Bingung mau beri jawaban apa, yang terpikirkan cuma satu kata itu.

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang