Bab 11

2.1K 150 2
                                    

Tidak mau menunggu hari esok, aku menyeret Rani keluar dari toko buku. Yang mulai ramai oleh para pengunjung. Membawanya mencari tempat lebih enak untuk berbicara. Mengabaikan jantung mulai berdegup tak normal.

Sungguh, aku penarasan mengenai keadaan Vino. Apa maksud Rani berkata jika pria yang aku sayangi dalam keadaan tidak baik di negeri orang.

Tapi, Harun seakan tidak mengizinkan aku mendengar kelanjutan pembicaraan Rani. Ia ikut menarikku untuk segera menaiki mobilnya.

"Ayo pulang!"

"Kamu kenapa sih, Apa urusan kamu melarang-larang!"

"Karena itu semua tidak penting untuk kamu dengar, Ayes. Lupakan dia, karena sebentar lagi kamu menjadi tanggung jawab aku, mengerti!"

"Tidak penting kata kamu? Lupain dia?" menarik nafas dalam menepis segala emosi dalam dada,"Kenapa sih kamu nggak peduli gitu sama Vino, dia sahabat kamu loh, Vino teman masa kecil kamu, kenapa tidak terlihat sedikitpun kecemasan kamu tentang dia, hah? Apa jangan-jangan kamu memang sudah tahu mengenai keadaan dia?"

"Aku tahu atau nggak itu bukan urusan aku, ayo pulang, jangan membantah!"

Harun menarik lenganku bahkan menimbulkan rasa sakit oleh cengkramannya.

"Berhenti!" Teriakku, menyorot dengan tatapan benci padanya, merapatkan gigi, menahan amarah, Rasanya ingin sekali tangan ini menampar wajah mulus lelaki tak memiliki hati itu. Belum juga menjadi istrinya sudah suka ngatur-atur, apa lagi sudah sah. Aku benar-benar tidak ingin membayangkan menghabiskan sisa hidupku dengan pria kasar macam dia.

"Pulang, kalau nggak aku akan terlfon om Farhan, kalau kamu jadi pembangkak sama calon suami."

"Apa?"

Ya Allah, dia mau mengadukan aku pada ayah. Sungguh kekanak-kanakan sekali sikapnya. Astaghfirullah! Menarik nafas mencoba menenangkan diri dari emosi yang menguasai. Aku tak ingin mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya keluar.

Astaghfirullah hal adzim!

Astaghfirullah hal adzim!

Sambil memejamkan mata, mencoba membuang kekesalan ini terhadapnya.
Aku kembali memandang Rani, yang masih berdiri dengan pandangan prihatinnya.

Jujur, aku nggak mau berdebat lagi dengan ayah. Terlalu lelah rasanya terus berdiam dengan orangtua sendiri.

Tadinya aku berniat untuk pergi, tapi Rani mencegah, mengeluarkan kalimat demi kalimat yang berhasil membuat aku terpaku.

"Yes, aku nggak tau hubungan apa yang kalain jalanin, tapi kamu harus tau juga, kalau Vino mengalami kecelakaan enam bulan yang lalu, sekarang dia lumpuh!"

Innalilah, Di dalam dada darahku terasa berdesir. Sontak tatapan pedihku memandang Harun untuk mencari tahu kebenaran dari perkataan Rani. Dia pasti tahu tentang itu. Aku yakin dan sangat yakin.

Harun semakin gelisah di posisinya, itu terlihat jelas dari dua bola matanya memerah dan berair.
Dan satu lagi yang nggak bisa aku cerna sama sekali, kenapa dia menyembunyikan keadaan Vino jika memang dia mengetahuinya sejak lama.
.
.
***
Setelah satu hari kemarin aku mendengar semua penjelasan Rani tentang Vino. Benar-benar menguras seluruh pasokan tenagaku hingga sekarang.
Sepanjang malam membuat mata ini sulit untuk terpejam. Pikiran selalu mengarah pada Vino

Dia lumpuh!

Seperti apa keadaan dia yang sebenarnya sekarang. Aku sungguh ingin sekali menemuinya. Tapi ke Arab bukan lah tempat yang dekat. Butuh biaya banyak dan waktu. Aku tidak mungkin meninggalakan pekerjaan begitu saja.

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang