Bab. 7

2.5K 170 3
                                    

Seharian bekerja di kantor dan ketemu orang-orang yang itu itu saja, membuat aku jenuh. Apa lagi isinya perempuan-perempuan seperti mereka. Yang suka ribut sendiri bila ketemu denganku, mirip sekali dengan cacing kepanasan.

"Sore, Pak Harun. Mau pulang ya?"

"Iya!" aku berusaha tersenyum sebagai basa-basi.

"Lelah banget kayaknya, Pak. Mau aku bantu bawain tasnya Pak," wanita itu tersenyum yang sama sekali membuatku jijik.

"Tidak usah, terima kasih. Saya bisa sendiri kok."

"Oh, begitu ya."

Aku tau mereka sedang mencari perhatian. Tapi sayang aku tidak tertarik sama sekali.

Berharap kebosanan ini akan hilang, aku berencana untuk menemui dia di tempat kerjanya.

Ayesha Azizah.

Seorang gadis yang telah lama mengisi hatiku. Dia seperti gadis biasa pada umumnya. Sederhana, berbadan kecil, wajahnya terlihat imut bila ketawa, dan aku selalu rindu mendengar suaranya yang lembut itu.

Tidak hanya itu saja, satu lagi yang membuat aku jatuh cinta sama dia ialah. Bibirnya berwarna merah muda itu, tanpa polesan makeup sedikitpun. Aku sangat tahu kalau dia tidak terlalu suka berdandan seperti gadis-gadis lain. Cantiknya alami, apa lagi kedua pipinya ketika bersemu merah. Berhasil membuat jantung ini seketika bergedup tak normal.

Sungguh!

Ingin rasanya bawa dia pulang dan dijadikan guling di kamarku. Atau jadi barang antik penghias kamar mungkin.

Aku terkekeh di hati. Gadis seperti itu pantasnya menjadi istri dan ibu untuk anak-anakku nanti. Ya, hanya itu yang aku ingini.

Tapi, apa yang aku bayangkan tidak semudah membalikan telor dadar yang tengah di goreng di wajan. Dia sungguh sangat susah untuk di taklukkan.

Tidak apa-apa, aku akan berjuang lebih keras lagi. Pada dasarnya sesuatu yang sangat sulit diraih itu ialah sesuatu yang paling unik. Benar bukan?
.
.
Hampir dua jam menunggu dia di tepi jalan ini, panas dan penuh polusi aku abaikan. Aku tahu kalau mendapatkan perhatian itu butuh perjuangan. Jadi apa salahnya menunggu sebentar.

Sejenak memperhatikan jalanan ramai lancar. Pandanganku menemukan sosok gadis yang kunanti. Aku mengulas senyum lega akan itu. Dia masih terlihat cantik mesti dengan wajah lelah setelah bekerja.

Aku memperhatikan dari jauh. Sesekali ia tersenyum ramah pada orang lain yang sempat berpapasan dengannya. Hingga pandangan kami bertemu. Senyum itu seketika lenyap begitu saja.

"Kapan, Yes? Kamu tidak lagi memandang aku seperti itu."

Berusaha bangkit dari sandaran mobil. Berjalan mendekatinya dengan senyum terbaikku. Walau hati ini terasa sakit atas sikap dia yang selalu dingin.

"Assalamualikum, Ayes. Akhirnya kamu pulang juga."

Entah, apa yang tengah ia pikirkan. Tapi aku melihat pada mata indah miliknya sedang dilanda kegelisahan.

Apa dia begitu tidak sukanya bila ketemu denganku.

"Waalaikumusalam."

"Aku antar pulang, ya. Lagian sekarang juga udah sore banget, kamu juga capek kan kerja seharian kalau jalan kaki."

Aku sangat berharap Ayes menerima tawaran ini. Karena sekarang kesempatan baik untuk lebih dekat lagi dengannya.

Tapi gadis itu hanya diam dengan seribu kerutan di dahinya. Membuat aku sedikit gelisah.

"Sebelum ke sini aku sudah minta izin sama ayah kamu untuk jemput, Yes."

Bukannya seorang anak perempuan akan merasa aman, bila sudah mendapatkan izin dari ayahnya untuk berjalan dengan seorang laki-laki? Dan itu telah aku lakukan lebih dulu. Tapi ada apa dengan maksud keterkejutan di wajah itu.

"Aku lagi pengen pulang sendiri, lagian jarak rumah juga deket kok."

Sungguh, aku tak habis pikir ia menolak. Padahal aku sudah mencoba sebaik mungkin untuk mengajaknya.

Tenang Harun, ini baru awal. Tetap tenang. Seganas-ganasnya macam betina akan tetap kalah dengan kekuatan macan jantan yang tangguh.

"Akan lebih dekat lagi bila bareng aku kan."

"Makasih, lain kali aja. Harun!" ucapnya meninggalkan aku begitu saja.

Menggepal, menarik nafas dalam. Mencoba untuk tidak emosi.

Kenapa dengan aku dia selalu bersikap dingin? Kenapa dengan Vino tidak? Dia selalu tersenyum manis pada Vino, kenapa dengan aku dia selalu memasang wajah benci? Salah aku apa sih, apa bedanya aku dan Vino?

"Apa salahnya sih kamu terima tawaran aku, Yes!"

Ayes menghentikan langkahnya, membalikan tubuhnya menatap aku dengan tatapan benci,"Kok jadi main paksa sih!"

Aku tersentak dengan bentakan Ayes.
"Ma-maaf maksud aku bukan gitu."

"Bukan gitu apanya? Aku nggak suka ya di paksa-paksa!"

Ia pergi begitu saja.

Aku tahu ia sedang sangat marah sekarang. Tidak ada lagi wajah berseri dan rona merah di pipi.

Aku coba mengejar dan tidak sengaja meraih lengannya dan menggenggam erat. Seketika itu ia berteriak histeris hingga menjauhkan diri.

"Astagfirullah! Kamu apa-apaan sih, jangan sentuh orang sembarangan!"

"Maaf maaf, aku gak sengaja."

Aku tersentak, melihat bola mata itu di genangi air mata yang begitu banyak. Hingga mengalir jatuh tanpa malu.

"Kenapa sih, kamu masih saja memaksakan kehendak? harusnya kamu udah sadar dan faham, dengan arti penolakan. Please! Jangan bikin hubungan aku sama ayah semakin memburuk!"

Maksud dia apa? Aku benar-benar tidak faham. Ada apa dia dengan ayahnya.

"Tapi, Yes. Aku ...."

"Tolong! Jangan ganggu aku!"

Entah kenapa aku tidak terima dengan satu kalimat itu. Membuat dadaku sesak.

"Kenapa kamu gak mau kasih aku kesempatan, Yes? Apa ini karna Vino!" menatap ia lurus,"Apa sih bedanya aku sama dia, hah? Kenapa kamu masih saja mengharapkan dia yang udah jelas-jelas menggantung kamu segitu lamanya!"

"Dia nggak gantungin aku!"

Aku tersenyum kecut dengan pembelaan Ayes. Sungguh, ia sudah dibutakan dengan cinta dan dengan janji-janji bodoh itu.

"Kalau bukan begitu dia udah datang nemuin kamu sekarang!"

Dia terdiam, air mata itu masih saja mengalir membasahi pipinya. Mata sayunya memandang padaku lekat,"Vino bukan seorang pengikar janji, dia sangat dan sangat beda dengan laki-laki mana pun, termasuk kamu Harun! Dan jangan pernah kamu jelek-jelekin dia di depan aku!"

"Kamu nggk kenal dia, Ayes!"

"Aku lebih kenal dia dari pada kamu!" ia berteriak,"Dan sampai kapan pun, aku akan menunggu dia, aku percaya Vino akan datang menuhi janjinya."

Seperti itu kah kepercayaan dia pada Vino? Sebegitu sukanya dia. Apa tidak ada sedikit kesempatan untuk aku menempati dalam hatinya.

Ini benar-benar tidak adil.

Aku benci dengan keadaan ini. Sangat benci!

Gadis itu pergi begitu saja.

"Dengar, Ayes! Aku gak akan menyerah untuk mendapatkan kamu!" ia mengabaikan aku begitu saja.

Masih banyak cara lain untuk bisa mendapatkan kamu, Yes. Lihat saja nanti.







Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang