Bab 10

2.3K 150 8
                                    

Tau nggak, menunggu dalam diam itu sesuatu yang paling menjengkelkan. Harap-harap cemas. Seperti lagi menunggu kabar kelulusan. Huff.

Sudah berapa hari ini aku menunggu balasan Surat dari Vino. Berkali-kali juga aku mendatangi kantor pos, untuk menanyakan apa ada kiriman surat atas namaku.

Tidak ada, tidak satu pun.

Seperti siang ini, aku datang lagi ke sana untuk mencari tahu kabar tentang surat itu terkirim atau kah nyasar. Kata pas posnya surat itu sudah tiba di alamat yang tertera. Tapi kenapa aku belum mendapatkan balasan juga.

Keluar dari sana berjalan lesu menuju halte, sambil menundukan pandangan ke bawah. Lelah rasanya menunggu tanpa kepastian.

Apa dia sudah mulai melupakan janjinya? Atau sudah menemukan dambaan hati yang baru di negera sana.

Huff!

Apa penantian ini masih ada ujungnya?

"Ayes, lagi apa?"

Aku tersentak dengan pangilan suara itu. Menaikan pandangan untuk mengetahu siapa pemiliknya, di hadapanku sebuah mobil sedan sudah berdiri entah sejak kapan datangnya. Di kendarai oleh Harun. Ya, pria yang akhir-akhir ini membuatku kesel.

Wajah ngeselinnya sungguh membuat mata ini muak. Apa lagi ingatan tentang rencana pernikahan itu membuat darahku mendidih. Berencana mengacuhkan dia, tetapi sosok seseorang terlihat di bagian belakang mobilnya. Ia juga ikut menurunkan kaca mobil.

"Nak Ayes mau kemana, Ayok sini dianter pulang." dia Ibu Wiwit, orang tua Harun. Ah, kenapa harus ada perempuan itu juga di sini sih.

Aku memaksakan sebuah senyuman padanya. Bingung mau menjawab apa, aku memilih menyalami dia saja. Aku sedikit terkejut, tidak hanya bu Wiwit saja di dalam, di sampingnya ada suaminya sedang tersenyum ramah padaku.

"Pa kabar Nak Ayes?" Sapa bapak itu,"Harun, Bukain pintu untuk Nah Ayes," Ujar Pak Samsul pada anaknya, Harun keluar dari mobil dan mulai berjalan menuju pintu sebelah.

"Baik, Om, Tan."

"Ayo Yes, mau pulang kan?."

Apa-apaan ini. Kenapa mereka seenaknya ambil tindakan atas diriku. Aku berusaha mencari alasan.

"Nggak usah Tante. Aku masih ada urusan di tempat lain, ."

Pria itu menghentikan langkahnya, memandangku lekat.
"Oo, ya sudah biar aku antar kamu ke sana."

Aku menyipitkan mata memandang pria yang sok keren itu. Ah, kenapa hati ini begitu membencinya.
"Ng-ngak usah, aku--"

"Nggak apa-apa Nak Ayes, diantar sama Harun, dia kan calon suami kamu, jangan sungkan gitu,"Ibu Wiwit telah keluar dari mobil bersama dengan Suaminya,"Biar Ibu dan bapak naik taksi, biar Harun bisa anter kamu ke sana, Ya?"

Aku memandang mereka bergantian terakhir pada Harun. Ia tersenyum malu memandang ke arahku.

Bingung, kesel, marah dan muak. Aku benar-bener tidak suka di paksa. Tapi, aku bukan seorang yang tidak sopan dengan orangtua.

"Tapi kenapa Om dan Tante turun, kan bisa sekalian di antara sama Harun."

"Nggak papa, tujuan kami udah deket kok, ayo sana jalan, hati-hati bawa mobilnya Nak."

"Iya Ma."

Mengulas senyum terpaksa untuk kedua orang tua itu dan kembali menyalami mereka bergantian.

Kami berangkat setelah bu Wiwit dan suaminya mendapatkan taksi untuk ke suatu tempat. Aku tidak tahu tujuan mereka dan sungguh terlalu malas bertanya.

Sekarang aku telah duduk malas di kursi samping kemudi. Menyibukan diri memandang luar jendela. Sambil berpikir tujuan setelah ini. Padahal sama sekali gak memiliki rencana untuk pergi ke mana-mana.

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang