Bab 21

1.8K 125 10
                                    

Allah telah menyiapkan beberapa kebaikan untuk hambanya, jika mereka mampu menghadapi ujian dari-Nya dengan iklas.

.........

Jam 7 malam, sambil menunggu Vino selesai sholat berjamaah bersama ayah di masjid. Aku mencoba merapikan kamar yang sedikit berantakan karena teman-temanku sempat masuk. Kami mengobrol sebentar membahas tentang bahtera rumah tangga.

Mereka yang sudah lebih dulu menikah memberi wejangan sedikit padaku. Menceritakan pengalaman menjadi seorang istri. Aku menyimak dan mengambil baiknya saja. sejatinya seorang teman baik, akan mengingatkan yang baik pula pada temannya. Bukan begitu?

Dengan balutan gamis sederhana, yang biasa aku pakai ketika tidur. Tanpa menanggalkan hijab. Aku mengulas senyum tipis setelah memandang cermin dan mengambil duduk di ujung kasur. Tak lama ketukan pintu mulai terdengar.

Aku berlari kecil hingga depan pintu, menarik nafas sebelum membukanya.

Bismilah ...

Wajah cerah, bersih dan adem untuk dipandang. Sedang menyunggingkan senyumnya di sana. Vino berdiri dengan dua tongkat kayu sebagai tumpuan. Awalnya aku sedikit kaget, dia nggak menggunakan kursi roda lagi. Tapi, alhamdulilah dia sudah bisa berdiri sendiri. Katanya, membiasakan diri. Meski masih ada rasa perih sesekali.

"Assalamualaikum."

"Walaikumusalam, sudah pulang? Ayo masuk," pintaku tanpa menghilangkan senyum.

Dia tersenyum riang dan perlahan menyeret kaki satunya diikuti kedua tongkat. Kami mengambil duduk di ujung kasur.

Hening, dan sedikit canggung. Beberapa kali kami saling temu pandang malu. Ini malam pertama untuk kami berdua dalam satu kamar. Duduk bersisian sedikit berdekatan.

"Udah sholat isya?" tanyanya.

"Sudah."

Kembali hening, sepertinya kami sama-sama bingung mau membahas apa malam ini.

"Yes, boleh minta tolong ambilin tas kecil itu?" Vino menunjuk tas ransel miliknya yang tersandar di bawah meja. Aku mangguk berjalan ke sana, meraih tas itu dan kuserahkan pada Vino. Dia mulai merogoh isi tas. Mengeluarkan beberapa amplop berbeda warna dari dalam.

"Itu apa?"

"Surat yang belum sempat kamu baca?"

Aku sedikit bingung dengan penjelasnya, kembali memandang Vino yang masih diam memandangku, untuk meminta sedikit penjelasan.

"Dua hari yang lalu, Harun datang menemuiku, dia mengembalikan surat yang dulu aku titipkan untuk kamu."

Ah, aku baru paham sekarang. Tapi ada sesuatu yang mengusik pikiranku mendengar Harun telah mengunjungi Vino diam-diam.

"Harun ngak berbuat aneh-aneh kan sama kamu?"

Dia tersenyum, dan mengeleng kepala,"Untuk apa dia berbuat aneh?" tanyanya, aku tersenyum kikuk,"dia sekalian pamit untuk pindah ke Jerman."

"Hah? Pindah?" kagetku, menatap maniak mata Vino lebih dalam. Mencari kebenaran ucapannya.

"Iya, dia titip salam buat kamu, dan mohon kata maaf juga."

"Waalaikumusalam," jawabku langsung, memandang diam beberapa surat dalam pelukan. Harun pergi secepat itu meninggalkan beberapa kata saja. Aku kira dia nggak akan tinggal diam dengan pernikahan kami. Sebelumnya aku dan dia sempat bertengkar hebat, dan juga belum sempat mengucap kata maaf jika benar dia telah pergi jauh.

"Kenapa?"

Suara Vino menyentakan aku dari lamunan,"Ah, nggak papa."

Dia tersenyum lagi, satu tangannya mengusap ujung kepalaku,"Suratnya besok aja dibaca ya."
Aku mengangguk dan tanpa ragu membalas senyumannya,"apa di kamar kamu tetap akan menutup kepala, Yesha?"

Lagi-lagi aku bingung dengan pertanyaan Vino. Mungkin dengan wajah polosku ini kembali mengundang tawa renyahnya. Dia menangkup wajahku dengan kedua tangannya yang hangat.

"Aku boleh melihat kamu tanpa hijab, istriku?"

Kenapa aku baru menyadari dengan arah pembicaran Vino. Astagfirullah. Aku tersenyum canggung didepannya.  Tiba-tiba aku merasakan aura panas muncul disekitar pipi.

Meanggukan kepala kecil,"Kalau suamiku yang meminta, aku akan membukanya."

Pertama mulai melepaskan bros kecil tertempel di sisi kiri, mencopot jarum di ujung kepala. Vino di posisinya nggak berhenti memperhatikan gerak-gerikku dengan senyumnya.

Masih malu, jantung terus terusan berdegup. Karena tidak biasa melepas kerudung di depan kaum adam kecuali ayah. Tapi, itu harus karena lelaki yang memintanya adalah suamiku sendiri.

Tidak butuh waktu lama, khimar hitam itu sudah lepas dari tubuhku. Sedikit merapikan rambut yang masih terikat.

"Masya Allah, istriku cantik sekali," pujinya lembut."Semakin jatuh cinta rasanya."

Aku jadi salah tingkah, tidak bisa berbuat banyak dengan pujian itu.

Vino masih saja memandang ku tanpa jeda. Menarik ujung rambutku lalu dihirupnya cukup lama. Tanpa kusadari dia berpindah mengecup ubun-ubunku membisikan sesuatu. Nggak begitu jelas tapi aku tahu itu sebuah doa.

Setelah selesai, ia meraih dua telapak tangan. Lalu menciumi kulit punggung itu berkali-kali. Sontak membuatku merinding sesaat. Aneh rasanya kulit bibir Vino yang terasa lembut menjejali setiap inci kulitku.

"Telapak tangan kamu kecil sekali, imut, lembut, bikin nyaman."

Rasa tak mampu membalas perkataannya karena masih belum bisa menyadari bahwa  aku telah bersuami. Cuma sebuah senyuman sebagai tanda keikhlasan atas perbuatannya.

"Sesuai janji yang udah aku ikrarkan di depan orang tua, keluarga, dan Allah subhanahu wa ta'alla, seluruh penjaga langit juga menjadi saksi, insya Allah aku mampu membahagiakan kamu, menjaga kamu segenap cinta, tolong ingatkan aku kalau suatu hari ada kesalahan yang nggak sengaja aku perbuat, membuat kamu bersedih apa lagi menangis, Yesha."

Menghela nafas cukup dalam, ungkapan Vino barusan membuat hatiku terasa berat, seolah air mata ini ingin kembali menunjukan wujudnya,"Insya Allah, Aa'. Tolong ingatkan aku juga, kalau suatu saat nanti aku gagal menjadi istri yang nggak memegang amanahnya."

Dia meanggukan kepala,"Aku boleh memeluk kamu istriku?"

Aku sungguh nggk mengerti, kenapa air mata ini turun begitu saja ketika Vino meminta hal itu. Dengan satu kali anggukan, dan dihiasi senyum bahagia. Aku membawa tubuh ke dekapan Vino.

Hangat, nyaman, Vino memeluk tubuhku erat. Seakan rindu yang bertahun-tahun lamanya kami tahan, kini benar-benar tercurahkan.

Dalam hati aku terus mengucapkan hamdalah dan takbir Allah sampai bibir ini lelah.

Alhamdullilah.

Allahhu Akbar.

Allah telah menyediakan satu kebahagian untuk hambanya, jika mereka mampu menghadapi ujian darinya dengan iklas.























Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang