"Arti dari sebuah kehadiran akan lebih bermakna ketika kehilangan telah merenggutnya."
.
.
.
Masih terjaga ketika jarum jam melingkar di lengan kiri-ku menunjukan angka 2 dini hari. Setelah perseteruan siang itu diikuti dengan kejadian buruk yang di alami Ayesha.Dia terjerembab ke tanah setelah berlari hendak menolongku dan mengalami pendarahan cukup parah. Akibatnya janin yang baru saja tumbuh di rahimnya tidak terselamatkan.
Menyesal pun tak ada guna, mungkin seperti ini skenario yang telah ditentukan oleh Allah dalam kehidupan kami.
Menghela nafas dalam, aku memandang lesu wajah pucat Ayesha yang masih terbaring dengan selang infus menempel di lengan kecilnya.
Kasihan.
Mengingat bagaimana rasa sakit yang ia derita berjam-jam lamanya membuatku tak tega. Apa lagi mendengar tangisannya ketika janin yang ia kandung tak bisa bertahan di dalam sana. Tapi bersyukur Ayesha bisa tidur pulas sekarang.
Aku bangkit dari kursi meregangkan badan. Mungkin meminum sedikit minuman hangat bisa melegakan tenggorokan.
Aku melihat keadaan sekeliling. Choty yang tampak nyenyak tidur di sofa. Mungkin tidak apa kalau aku tinggal sebentar.
Berjalan keluar kamar dan mendapati lorong rumah sakit yang terlihat sepi, hanya beberapa orang berlalu lalang. Tapi sejenak pandanganku jatuh pada seorang pria memakai kemeja dongker kusut sedang tertidur pulas di atas kursi tunggu. Sebagian kepalanya dibiarkan bersandar begitu saja ke dinding.
"Harun, kenapa dia masih ada di sini."
Niat ke kantin kuurungkan. Mengambil posisi duduk berseberangan dengannya sehingga kami tampak berhadapan.
Tersenyum kecut setelah memandang pria menyebalkan itu. Dia cukup berantakan. Bukan, aku yang lebih berantakan dari dirinya. Tulang hidung patah, bibir pecah dan bagian wajah lainnya memar. Sedangkan dia hanya bekas memar tidak ada balutan plester. Ck!
Tapi tak bisa kupungkiri, karena bantuan darinya aku bisa membawa Ayesha dengan cepat ke rumah sakit ini.
Tak cukup menunggu 10 menit dia terbangun sendiri. Dan kini sedang menatapku dengan pandangan tak terbaca. Tanpa diduga Harun beralih duduk di sampingku setelah mengamati keadaan. Cukup lama kami saling diam dengan pikiran masing-masing. Sampai ia mulai mengeluarkan suara yang terdengar serak.
"Sorry, gue nggak nyangka bakal terjadi seperti ini."
Menoleh padanya berusaha menyembunyikan kekagetan. Tak disangka dia mengeluarkan kalimat itu. Aku kira Harun kembali mengundang keributan seperti tadi siang.
"Gue turut sedih atas kehilangan calon anak lo, membuat keadaan Yesha kacau seperti itu."Aku mengangguk pelan sebagai tanda penerimaan maaf-nya, "Gue menganggap itu musibah sebagai penguji iman, karena Allah nggak akan membebani melebihi kesanggupan hambanya."
Hening.
"Yesha juga sudah ikhlas," lanjutku. "Terima kasih atas bantuan lo, karena pertolongan lo kami jadi dimudahkan."
"Gue lakuin itu atas dasar sesama manusia."
Tersenyum tipis mendengar jawaban dingin darinya. Ya, meski begitu aku cukup tahu dan bersyukur kalau dia kuatir pada Ayesha. Setidaknya ada orang lain yang ingin melindungi Ayesha selain aku.
"Sekarang Gue menyerah mengenai Ayesha."
Ternyata Harun masih ingin membicarakan sesuatu. Aku menajamkan pendengaran meski tak memandangnya. "Dari dulu dia memang begitu menyukai lo dibanding gue, dari dulu Gue emang nggak bisa menangin hatinya dari lo, Vin. Kali ini Gue serius, Gue nyerah."
![](https://img.wattpad.com/cover/165638257-288-k23814.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Ayesha (Lanjut S2)
Любовные романыPart lengkap, untuk bagian dua tersedia di Innovel dan Dream** Bekasi, 5 Januari 2019 Untuk Miyas Alvino Assalamualaikum Apa kabarnya? aku berharap kamu dalam keadaan sehat dan selalu dilindungi oleh Allah, Aamiin. Sudah lama tidak berjumpa ya, maa...