Bab 19

1.8K 121 1
                                    

"Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh maka pegang lah erat-erat." [Quutul Qulub 2/17]

..........................

Tepat jam 03:40, aku bangun dari tidur. Rasanya sudah tak sabar diri ini untuk berbicara pada Allah. Dalam sujud terakhir aku tuangkan isi hati, dengan berlinangan air mata, mengucap rasa syukur yang amat besar pada-Nya.

Bahwa aku bahagia dengan nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan. Karena sudah dimudahkan segala urusanku di dunia. Tak lupa membaca alqur'an sampai sholat subuh datang.

Hingga langit sudah tampak menunjukan warna birunya dihiasi awan, di ramaikan oleh kicauan burung-burung kecil sekitar rumah. Aku bersiap-siap untuk melakukan kegiatan sehari-hari, yaitu bekerja. Di hadapan cermin, masih tahap memakaikan Khimar biru tosca, bibir ini nggak lepas mengukir senyum. Mengingat lamaran dari Vino dua hari lalu.

Apa lagi Vino sempat mengirimkan pesan manis untukku. Setelah dia kembali pulang.

By Vino.

Assalamualaikum. Calon bidadari surgaku, seseorang yang selalu ada dalam pikiranku.
Alhamdulilah apa yang selama ini kita lantunkan dalam doa, ditemani tangis haru, Insya Allah akan terjadi.

Allah maha besar, aku bersyukur akan menghabiskan hidup bersamamu. Maafkan aku bila nanti ngak bisa menjadi apa yang kamu inginkan, maafkan bila kekurangan aku nantinya akan menyulitkan langkahmu.

Terima kasih sudah memberi kesempatan ini, jujur aku begitu bahagia. Aku begitu merindukanmu, wahai zawjat almuhtamilin.

Satu lagi yang ingin aku sampaikan, kamu begitu cantik dengan khimar putih itu.

Sungguh, aku bahagia, dan tersipu malu dengan isi pesan dari Vino. Sampai gak sadar kalau malam itu sedang di perhatikan oleh Afrin dan Choty. Jadilah semalam suntuk aku jadi bahan ketawaan mereka.

Dua gadis itu kalau sudah ngumpul, sifat isengnya kambuh, nggak akan ada yang mau menghentikan sebelum teguran dari bunda. Hem, geleng-geleng kepala.

30 menit selesai ritual pagi, aku buru-buru keluar kamar untuk sarapan.
Hari ini hari terakhirku bekerja, karena mau ambil cuti dua minggu. Kata bunda sebelum menikah nanti aku harus sudah berada di rumah dan nggak boleh ke mana-mana.

Di meja makan, Afrin dan Choty sudah mulai melahap sarapan nasi goreng dengan nikmat. Sebelum duduk, adik bungsungku sudah kembali usil mulutnya.

"Ciee, cerah banget sih ukhty, secerah langit di timpa petir ketika mau hujan."

Aku mengernyit bingung, sedangkan Afrin cikikikan mendengar godaan Choty yang terlampau aneh.

"Saat petir menyambar itu langit dalam keadaan mendung, dapat ajaran dari mana sih."

Dia nyengir,"nggak ada, ide sendiri, Choty mah nggak suka plagiat kak," jawabnya tanpa beban.

"Harusnya, tadi kamu bilang gini, cerahnya secerah langit dipagi hari, kebetulan kan pagi ini cerah."

"Iya iya tau, yang mau menikah jum'at besok, udah tau perbedaan cerah dan mendung, biasanya kan wajah Kak Ayes mendung mulu tiap pagi."

Ledekan Choty berhasil membuatku salah tingkah. Ya, dia nggak salah, sejak perjodohan paksaan itu, aku selalu melewati pagi dengan wajah cemberut hingga pulang dari bekerja. Tapi aku terharu selama itu mereka memperhatikan tingahku.

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang