Bab 31

1.1K 121 19
                                    

Setelah lelah berjalan tanpa tujuan, aku mengistirahatkan tubuh di kursi panjang milik warung sedang tertutup yang berhadapan langsung dengan sekolah dasar negeri.

Sambil memperhatikan ke balik pagar besi berwarna biru langit. Ramai oleh anak-anak berseragam merah putih tengah asih bermain dan berlari dengan bahagianya.

"Ompimpak alaiyu gambreng!"

Sesaat perhatianku teralihkan oleh keseruan di sana. Tersenyum sambil mengelus perutku yang terasa kram.

Membayangkan kelak anakku akan tumbuh seperti mereka. Bermain, ketawa, menghabiskan waktu tanpa sisa. Tapi, seketika memudar oleh bayangan wajah menyebalkan Arini.

Dadaku terasa tercubit, sakit!

Ah, apa iya, hanya sampai di sini kebahagianku bersama Vino?

Apa sampai di sana kesetiaan Vino?

Termenung, jauh dari dalam lubuk hati terdalam aku tentu nggak ikhlas. Setelah penantian segitu lamanya. Hancur oleh seorang perempuan yang hidupnya penuh dengan ambisi.

"Neng, becak Neng?"

Tersentak kaget pada bapak-bapak paruh baya. Yang entah kapan beliau berdiri persis di hadapanku.

Aku kembali termenung, harus pergi kemana setelah ini?

Tersadar kalau aku tak membawa apa-apa, bahkan tas yang berisi dompet dan Hp tertingal di atas mobil.

Astagfirullah 'alazim! Ceroboh sekali sih.

"Ayok Neng."

Aku sempat bingung, kembali ke rumah bu Nur atau ke bekasi?

Aku bimbang,"Stasiun atau terminal jauh nggak, Mang?"

"Jauh pisan, Neng. Kumaha lamun dijajapkeun kapayun we, di ditu aya jalan raya, Neng tiasa naek angkot atawa taksi." (Jauh banget, Neng. Gimana kalau dianter ke depan, di situ bisa naik angkot atau taksi)

Mencoba memeriksa kantong yang ada di sisi gamis. Berharap ada beberapa uang terselip di sana. Seketika kulitku menyentuh sesuatu, berusaha untuk mengeluarkannya. Ternyata ada dua lembar uang senilai 200 ribu sudah kering kerontang seperti terikut tercuci.

Alhamdulillah, lumayan buat ongkos.

"Kumaha Neng?" (Bagaimana, Neng?')

"Muhun, Mang." (Boleh, Pak)

"Mangga mangga, Neng."

Bapak itu bersemangat mempersilakan aku untuk menaiki becaknya.

Aku membiarkan tubuh ini di bawa oleh becak hingga sampai di jalan raya, tepatnya di halte yang cukup ramai oleh para calon penumpang.

Setelah membayar ongkos becak, aku kembali dilanda kebingungan. Ini baru pertama kali naik transfortasi di Bandung. Dan aku masih buta dengan arah tujuan.

Memilih berdiri di atas trotoar sambil berpikir sembari memperhatikan orang-orang yang naik turun dari angkutan umum itu. Rame dan berisik.

Ya Allah aku harus gimana?

Keyakinanku untuk kembali ke Bekasi cukup besar ketimbang kembali ke rumah bu Nur.

Berniat bertanya ke salah seorang di sana. Tetapi niat itu terhenti oleh teguran seseorang.

"Ayes?"
Aku menoleh kaget,"ngapain kamu di sini sendiri?"

Mataku membulat menatap pada pria tinggi di hadapanku. "Harun?"

Penantian Ayesha (Lanjut S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang